"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”
Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.
Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.
Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”
Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.
Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 MAKAN MALAM
Sore itu, langit menguning lembut seolah matahari sedang menarik napas terakhir sebelum tenggelam. Udara membawa aroma aspal yang hangat dan samar-samar wangi makanan dari kios yang dibuka di pinggir jalan. Di antara riuh orang-orang yang berjalan terburu-buru—beberapa pulang kerja, beberapa baru memulai aktivitas lain—Ava Estella berdiri seorang diri.
Tas besarnya, yang selalu dipenuhi alat tulis dan sketsa sebagai seorang desainer, menggantung di bahunya. Pundaknya terlihat sedikit letih setelah sesi fitting gaun pengantin bersama klien yang cukup menguras energi. Namun matanya tetap hidup, seolah menyimpan cahaya lembut setiap kali ia melihat sekeliling, menunggu seseorang yang sangat ia kenal.
Ia menahan rambutnya yang tertiup angin sambil memeriksa ponselnya. Tidak ada pesan baru. Tapi itu tidak membuatnya gelisah; ia tahu Martin selalu datang. Dan benar saja—sebuah mobil putih mendekat, melambat, lalu menepi tepat di hadapannya.
Pintu terbuka pelan. Seorang pria tinggi dengan setelan formal turun dari mobil. Rambut hitamnya sedikit berantakan oleh hembusan angin sore, namun justru membuatnya terlihat semakin hidup. Senyumannya—hangat, tenang, dan begitu akrab—mampu meruntuhkan sisa-sisa lelah yang Ava rasakan.
Ava langsung tersenyum lebar. Tangannya terangkat, seolah tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya.
“Kau pasti sudah menunggu lama, ya?” Martin menariknya ke dalam pelukan tanpa menunggu jawaban.
Ava menggeleng kecil di bahunya. “Aku baru keluar sepuluh menit yang lalu,” jawabnya lembut. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma parfum Martin yang familiar mengisi ruang di antara mereka. “Aku merindukanmu,” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Aku juga.” Martin menunduk, mencium puncak kepala Ava dengan gerakan yang begitu alami, seolah itu adalah tempat favoritnya untuk singgah.
Pelukan itu berlangsung lama—cukup lama untuk membuat orang-orang di sekitar melirik sambil tersenyum samar. Tapi Ava dan Martin seakan berada di ruang terpisah, dunia kecil yang hanya mereka tempati.
“Apa kau akan memelukku sampai pagi?” goda Martin, suaranya bercampur tawa ringan. Tangannya mengusap punggung Ava, gerakan lembut yang membuatnya semakin tenggelam dalam rasa nyaman.
“Hem.” Ava mengangguk kecil tanpa melepaskan pelukannya.
Martin tertawa pelan. “Kalau begitu, kau akan membuat mama menunggu.”
Ava langsung melepaskan diri, pipinya memerah. “Sebaiknya kita berangkat sekarang,” katanya dengan suara yang sedikit canggung tapi manis.
Martin mengangguk. Ia berjalan memutar dan membukakan pintu penumpang untuk Ava, gerakannya penuh kebiasaan dan perhatian. Begitu Ava duduk, ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu mengambil tempat di balik kemudi.
Mobil mulai melaju, mengikuti arus kendaraan lain yang bergerak menuju senja.
“Kenapa tiba-tiba mengundang makan malam bersama?” tanya Ava sambil memperbaiki posisi duduknya.
Martin menoleh sekilas, “Karena adikku baru kembali setelah menyelesaikan studinya di Singapura.”
Ava mengerutkan kening. “Adik sepupu?” tanyanya, mencoba mencocokkan informasi yang ia tahu. Karena setahunya adik kandung Martin hanya Esther, yang masih kuliah di dalam negeri.
“Bukan,” jawab Martin tenang. “Kakaknya Esther. Arash.”
Ava menoleh cepat, terkejut. “Jadi maksudmu… kalian tiga bersaudara?”
Martin menoleh sekilas, tersenyum. Ujung jarinya menyentuh hidung Ava dengan manja. “Pintar.”
Ia menekan pedal gas lebih dalam, dan mobil putih itu terus melaju bersama cahaya senja, membawa mereka menuju malam yang tampaknya akan penuh cerita baru.
Malam turun perlahan di kediaman keluarga Alder, membawa kehangatan yang merayap dari setiap sudut rumah besar itu. Lampu-lampu kristal di langit-langit memancarkan cahaya kuning lembut, menciptakan bayangan yang tenang di dinding-dinding berwarna krem. Aroma hidangan memenuhi ruangan—perpaduan gurih daging panggang, sup hangat, dan makanan ringan yang tertata rapi. Malam ini tidak terasa seperti makan malam biasa, melainkan seperti persiapan untuk sebuah perayaan kecil yang ditunggu-tunggu.
Esther berjalan mendekati meja makan dengan langkah ringan. Rambut sebahunya bergerak mengikuti langkahnya, poni tipisnya jatuh menutupi sebagian dahinya. Ia memperhatikan hidangan satu per satu sambil berkeliling, membuat para pelayan yang hendak lewat harus menghentikan langkah agar tidak menabrak gadis itu.
"Esther, jangan menghalangi pelayan bekerja!" tegur Margaret, sang ibu, yang berjalan ke arahnya dengan langkah anggun namun tegas. Rambutnya disanggul rapi, mempertegas wibawa seorang nyonya rumah.
"Mama kenapa marah-marah? Esther kan cuma melihat," balasnya sambil cemberut kecil.
"Tapi kau berdiri tepat di jalur mereka, Nak," tambah Agam Alder, ayahnya, dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas.
Esther mendengus, memutar matanya sebelum memutuskan mundur dan berjalan menuju pintu utama. Ia membuka pintu besar itu dan berdiri di ambang, menatap halaman yang diterangi lampu taman. Udara malam terasa hangat, tapi ada sedikit kegelisahan dalam tatapannya.
"Kenapa mereka belum tiba…?" gumamnya, mengetuk-ngetukkan ujung jari ke kusen pintu.
Tak lama, sorot lampu mobil muncul di kejauhan, memecah kegelapan halaman. Esther langsung berlari turun dari teras, menghampiri mobil putih yang baru saja berhenti. Begitu pintu terbuka, ia tidak menunggu.
"Kak Avaaa!" teriaknya sebelum memeluk Ava dengan antusias. "Esther kangen Kakak!"
Ava tertawa kecil, membalas pelukan itu. "Sayangnya aku tidak merasakan hal yang sama," godanya pelan.
Esther langsung melepaskan pelukan dengan wajah cemberut. "Kak Ava jahat. Sama kayak mama dan papa."
Martin menghampiri mereka, senyumnya mengembang melihat dua wanita itu. “Ada apa ini? Mama dan papa kenapa lagi?”
Esther segera mengadukan kejadian barusan, lengkap dengan nada manja dan gerakan tangan dramatis. Martin menghela napas begitu Esther selesai.
“Kau sudah dewasa, Esther. Bersikaplah seperti itu.”
“Martin… jangan begitu. Dia hanya kesal,” bela Ava sambil menepuk kepala Esther lembut.
Esther langsung menjulurkan lidah ke arah kakaknya. Dan Martin hanya bisa menggeleng. “Kau selalu membelanya,” keluh Martin.
“Itu karena Kak Ava sayang Esther. Nggak kayak kakak!” balas Esther ketus.
“Sudahlah, ayo masuk,” ajak Martin sambil mengusap dahinya.
Mereka masuk bersama. Begitu Ava melewati ambang pintu, Margaret langsung menghampirinya, memeluk dan mencium kedua pipi calon menantunya itu.
“Bagaimana kabarmu, sayang? Sudah lama sekali kau tidak berkunjung,” ucap Margaret hangat.
“Ava baik, Bibi, Belakangan ini sedang banyak pesanan, jadi Ava jarang bisa mampir,” jawab Ava lembut.
“Kau benar-benar wanita sibuk,” sahut Margaret sambil menepuk bahunya bangga.
Suara berat terdengar dari belakang. “Ava… lama tidak bertemu.” Agam berjalan mendekat dan memeluk singkat Ava.
Ava tersenyum sopan. “Bagaimana kabar Anda, Tuan?”
Agam menatapnya tajam namun tidak keras. “Kau akan menjadi anakku. Kenapa masih memanggil ‘Tuan’? Panggil papa seperti Martin dan Esther.”
Ava menoleh ke Martin. Setelah mendapat anggukan kecil, ia menarik napas dan tersenyum. “Baiklah… mama, papa.”
Margaret tersenyum puas. “Begitu lebih baik.”
“Dimana Arash?” tanya Martin sambil melihat kearah tangga.
“Setelah ikut papamu ke kantor tadi siang, dia belum kembali,” jelas Margaret. “Mama sudah mengingatkan soal makan malam ini, tapi kau tahu sendiri adikmu… dia sedikit berbeda.”
“Apa kita akan berdiri di sini selamanya? Esther lapar,” rengek gadis itu.
Agam tertawa ringan. “Baiklah, kita tunggu di meja makan.”
Mereka berjalan bersama ke ruang makan. Suasananya hangat—penuh percakapan ringan dan tawa kecil. Tidak ada kecanggungan; keluarga Alder menerima Ava seperti darah daging sendiri, dan Ava pun merasakan rumah itu sebagai rumahnya.
Namun satu jam berlalu. Hidangan mulai kehilangan panasnya. Tak ada tanda-tanda kedatangan pria bernama Arash.
“Esther, coba telepon kakakmu, tanya dimana dia.” ucap Agam.
Esther memeluk dirinya sendiri. “Tidak mau. Nanti aku diterkam hidup-hidup.”
Martin tertawa kecil. “Ya sudah, biar aku yang telepon.”
Panggilan diangkat. Suara Arash terdengar singkat, padat, dingin: ia akan pulang larut. Tanpa pilihan lain, mereka akhirnya makan tanpa kehadirannya.
Setelah makan malam selesai dan percakapan mulai mereda, Ava berdiri dari kursinya dengan sopan. Margaret, dengan wajah keibuan yang selalu tampak hangat, sempat menahan lengannya.
“Jika kau lelah, menginaplah di sini malam ini,” ucapnya lembut.
Ava tersenyum kecil—senyum yang selalu ia berikan saat ingin menolak tanpa menyakiti siapa pun. “Terima kasih banyak, Ma. Tapi maaf Ava harus pulang karena masih banyak gaun yang menunggu untuk diselesaikan.”
Margaret mengangguk, meski raut kecewa terlihat samar.
Saat mobil melaju perlahan keluar halaman rumah besar itu, lampu-lampu taman memantul halus di kaca jendela. Udara malam terasa hangat, membawa aroma dedaunan basah setelah angin sore. Dari teras, Esther melambai-lambai dengan kedua tangannya, pipinya mengembung sedih seperti anak kecil yang enggan perpisahan. Ava membalas dengan senyum manis, meski hatinya ikut tersentuh melihat tingkah adik Martin yang begitu polos.
Baru beberapa meter dari gerbang, ketika suasana hampir kembali tenang, suara raungan mesin memecahkan udara. Sebuah motor sport melaju dari arah berlawanan, lampu depannya menembus gelap seperti garis putih yang berpendar tajam.
Ava refleks menoleh. Suara itu… terlalu keras untuk diabaikan.
“Kita selesai makan malam dan pulang, dia baru saja muncul,” gumam Martin, nadanya terdengar setengah pasrah.
“Itu... Arash?” tanya Ava, memperhatikan siluet pengendara yang melintas cepat—jaket gelap, helm full-face, dan cara duduk yang tampak sangat percaya diri, hampir arogan.
Martin mengangguk. “Dia seperti itu. Meskipun Pintar, cekatan, dan bisa diandalkan kalau mau… tapi dia keras kepala dan emosian.”
Ava mengangguk pelan. “Mungkin wajar. Masih muda.”
Martin menyandarkan punggungnya sejenak, matanya masih mengikuti motor di kaca spion. “Dua puluh empat bukan usia muda untuk pria, Ava. Pada umur itu, seharusnya dia sudah siap menghadapi apa pun—terutama soal pekerjaan .”
“Dua puluh empat…” Ava mengerutkan dahi. “Tapi bukannya dia baru lulus kuliah?”
“Bukan S1,” jawab Martin. “Dia baru selesai S2.”
“Oh…” Ava terdiam. Ada campuran takjub dan bingung yang perlahan mengisi matanya. Arash, adik ipar yang bahkan belum pernah ia temui, tampak jauh lebih kompleks dari yang ia bayangkan.
Mobil kembali melaju stabil, meninggalkan suara motor yang semakin menghilang di kejauhan. Malam itu perlahan merangkul mereka, dengan lampu kota yang berpendar lembut di kejauhan—seolah menjadi penutup tenang dari pertemuan keluarga yang hangat.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
📌 Happy reading Gengs🤗 jangan lupa like dan komen yaaa❤️