Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Lyora menegang. Refleks, tangannya terangkat menyentuh jepit rambut vintage kecil yang terpasang di rambutnya, bentuknya bunga merah mungil yang berkumpul bersama daun hitam tipis, tampak antik dan bukan dari era ini.
“E—ini… bukan apa-apa. Hanya jepit rambut.” gumamnya gugup.
Apollo menyipitkan mata, tatapannya mengunci detail kecil itu terlalu lama.
“Benarkah?”
Lyora mundur setengah langkah. “Aku… pergi dulu.”
Ia memutar tubuh, hendak melangkah pergi namun lengan Lyora ditahan. Apollo hanya menggenggamnya dengan satu tangan. Tidak terlihat paksa. Tapi Lyora tidak bisa bergerak memilih.
Apollo mendekat. Diam-diam mengendus rambut Lyora. Lyora menegang lebih keras, hampir tidak bisa menarik napas. Dia mencoba menarik pergelangan tangannya, namun genggaman Apollo justru mengerat.
“Kau mendapatkannya dari mana?” ulang Apollo. Kali ini lebih pelan, tapi lebih berbahaya.
“Penjual di pinggir jalan distrik Sanju.” jawab Lyora, sulit bersuara.
Apollo mengernyit. Perlahan ia melepaskan genggamannya. tapi kemudian mengambil jepit rambut itu dari rambutnya. Matanya menatap Lyora tanpa berkedip, seperti sedang merangkai sesuatu yang sangat tidak nyaman untuk diketahui.
Cut to scene.
Apollo dan Lyora kini berdiri di depan kios kecil tua yang menjual barang-barang antik.
Kendi-kendi porselen lapuk, perhiasan jade retak, botol parfum kaca kuno, sampai aksesoris rambut era lama. Semuanya tertata rapi, seolah waktu di sini berhenti.“Aku baru tahu ada kios begini.” ucap Apollo, datar.
“Tapi… di mana penjualnya?” Lyora memandang sekeliling.
GLODÁK!!
“Uhuk—uhuk!”
Tiba-tiba terdengar suara batuk parah dari arah tumpukan kendi. Seorang kakek tua muncul dari balik barang-barang itu, kendi- kendinya berjatuhan dan hampir pecah, tapi ia malah tertawa kikuk ketika menatap Apollo.
“…absurd.” gumam Apollo datar.
Lyora menyikut lengannya pelan. gerakan kecil, tapi jelas, seolah berkata: jaga sikap.
Apollo hanya mendengus, malas membuang energi untuk menanggapi segala absurditas pagi itu. Sementara si kakek berjalan mendekat, senyumnya terkekeh kecil.
“Ah, kau nona yang kemarin membeli jepit itu, bukan?” tanyanya riang.
Lyora mengangguk pelan. “Iya. Dan ini suamiku. Dia penasaran kenapa jepit yang kubeli mengeluarkan aroma citrus klasik.”
Si kakek mengangguk-angguk seolah itu hal paling normal di dunia.
“Oh… benar benar. Itu rahasianya parfum ini.” ujarnya enteng, menunjuk sebuah botol kecil perak matte dengan motif ukiran naga kuno. Tidak ada label modern. Tidak ada cap pabrik.
“Gratis parfum satu semprot, setiap pembelian jepit rambut.” lanjutnya santai. Apollo menatap botol itu lama, detiknya seolah melambat. Dingin. Terlalu familiar. Ia tahu aroma ini. Ia tahu dari mana asal era parfum seperti itu.
“Jadi—” si kakek mencondongkan tubuh sedikit ke Lyora, senyum ramah mencuat, “kau mau beli lagi?”
Lyora memandang Apollo sesaat. Tatapan Apollo tidak menjawab, tapi tatapan itu jelas: tidak percaya. Tidak nyaman. Sesuatu tidak beres.
Dan Lyora hanya tersenyum kecil pada kakek itu, bingung harus menjawab apa.Mereka melangkah masuk lebih dalam.
Ternyata toko itu jauh lebih luas dari yang terlihat dari depan. Seperti labirin barang antik… dipenuhi aksesoris, jepit rambut oriental, gelang batu, parfum jadul semua seperti artefak yang disimpan dari era yang tidak mau mati.
Apollo kini berdiri di hadapan deretan jepit rambut.Ia menatap benda-benda itu dengan sorot dingin yang sedikit sarkas.
“Jadi kau membeli benda konyol itu di sini?”
Lyora berjalan mendekat dari belakang. “Bukan konyol. Benda klasik punya nilai sentimental tersendiri.”
Ia mengambil satu jepit rambut merah dengan detail oriental halus dan menyerah kan nya kepada Apollo.Apollo hanya mendengus ringan. “Sekarang apa?”
Lyora menatapnya, lembut… “Aku dengar, untuk masuk ke jiwa yang keras sepertimu… aku harus menjadi jiwa yang lembut.”
Apollo terdiam sepersekian detik. Tidak berkata. Tidak menatapnya langsung.
Dia tidak menerima jepit merah yang disodorkan Lyora.
Sebaliknya, ia meraih satu jepit lain di depan nya, motif kupu-kupu ungu dengan detail kristal bening yang tajam namun elegan.
Ia melangkah ke belakang Lyora, perlahan.
Tanpa berkata apa-apa… dia menyematkan jepit kupu-kupu itu ke rambut Lyora sendiri.
Dekat sekali. Nafasnya terasa.
“Aku tidak suka warna merah.” ujar Apollo akhirnya, pelan namun tegas. Kupu kupu ungu itu memantulkan sedikit cahaya lampu kuno di toko itu, lebih mencolok.
Tanpa berucap lagi, Apollo berbalik dan melangkah pergi lebih dulu, meninggalkan aroma dingin keputusan yang sudah selesai baginya.
Lyora hanya tersenyum tipis, menatap punggung pria itu yang menjauh di antara rak-rak kuno seolah itu adalah respon paling khas Apollo: keras… tapi tetap memilihkan sesuatu untuknya.
Si kakek itu tiba-tiba muncul lagi dari balik tumpukan barang antik . kali ini menenteng sebuah lentera besi tua dengan kaca kusam kehijauan. Tinggi pria itu bahkan hanya sampai dada Apollo, tapi ekspresi wajahnya seperti seseorang yang sudah hidup di lima masa berbeda dan tetap bisa menertawakan manusia modern.
“Saya juga jual yang ini.” ujarnya santai, memajang lentera itu di depan Lyora seolah benda itu baru saja dipetik dari dimensi lain.
Lyora melirik lentera itu sebentar lalu melirik Apollo yang terus berjalan di depan tanpa menoleh sama sekali. Senyumnya makin lebar pelan.
Karena dari semua orang di ruangan ini… hanya Apollo yang tidak pernah menyadari betapa sering takdir memaksa mereka bertabrakan di antara barang-barang yang menyimpan jejak masa lalu yang tidak pernah benar-benar mati.
Perjalanan pulang.
Lampu-lampu kota memantul di kaca mobil yang bergerak pelan melewati jalanan basah malam. Apollo menyandar di kursinya sambil menutup mata sebentar, mencoba menenang kan pikirannya dari ribuan noise bisnis yang tidak pernah berhenti menggerus hidupnya.
Tanpa ia sadari, Lyora mencondongkan tubuh sedikit, mengambil sesuatu dari tas kecilnya.
Sebuah gantungan mini lentera dari toko si kakek absurd itu.
Ukurannya tidak besar .diameter hanya sekitar 8 cm. Tapi lentera itu menyala lembut dari permukaannya yang metalik. Satu berwarna ungu violet tua seperti malam yang memakan cahaya. Satu lagi bernuansa oranye hangat seperti matahari yang tenggelam dengan semburat senja.
Lyora menggenggam keduanya di telapak tangan, lalu mengangkatnya perlahan ke arah Apollo.“Dua lentera kecil,” ucapnya pelan. Suaranya hampir larut dalam suara mesin.
“Satu untukku… dan satu untukmu.”
Apollo membuka mata. Dia hanya menatap benda kecil itu tanpa merespon selama beberapa detik. Lentera itu memantulkan cahaya samar di iris mata Apollo yang gelap seolah menyimpan sejarah lain di balik warna logamnya.
“Lyora… kau selalu membawakan hal-hal kecil yang tidak bisa aku kategorikan,” gumam Apollo datar.
Lyora tersenyum kecil.“Aku tidak perlu kau kategorikan. Aku hanya ingin kau membawa nya.”
Apollo mendengus tipis, nyaris tidak terdengar. Tapi tidak menolak. Ia menerima lentera orange itu di tangan besar dinginnya. Lyora memandangi lentera ungu miliknya.
“Seperti ini…” lanjut Lyora pelan, “kalau suatu saat… kita berjalan dalam tempat yang terlalu gelap… setidaknya salah satu dari kita tahu jalan pulang.”
Apollo diam. Tidak ada komentar tajam. Tidak ada sindiran dingin. Hanya satu tatapan pendek ke luar jendela.Entah karena cahaya lentera kecil itu, atau karena Lyora… senyap di antara mereka malam itu terasa sedikit… lebih manusiawi.
eh ko gue apal ya 😭