Salsa bisa lihat malapetaka orang lain… dan ternyata, kemampuannya bikin negara ikut campur urusan cintanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Direkrut Negara
"Malam ini saya masih ada kerjaan sama Komandan Rendy," Komandan Rakha menyuruh Salsa Liani naik ke mobil.
Salsa tertegun. Ah, pantesan. Kukira dia kasihan lihat aku ngantuk. Ternyata aku cuma dianggap pengganggu.
Dia buru-buru naik mobil. Saat pintu tertutup, dia melihat beberapa polisi menatapnya dengan... prihatin?
"Anak sepintar itu, masa Komandan tega marahin?"
"Iya, padahal kinerjanya hebat banget."
"Standar Komandan Rakha ketinggian..."
Alis Salsa bertaut. Ada yang nggak beres. Tapi mobil keburu jalan.
Kabut laut menelan lampu jalan. Salsa langsung mengantuk. Napasnya mulai teratur.
Komandan Rakha melirik dari spion. Gadis itu tidur pulas sambil memeluk selimut. Dia terdiam, lalu tangannya menggeser lubang AC menjauh dari Salsa.
Suara navigasi terdengar. Mobil berhenti.
"Salsa Liani."
Panggilan dingin itu menusuk.
"Siap!" Salsa meloncat bangun. Mati aku!
Rakha menghela napas. Penakut banget. Tapi suaranya melembut, "Sudah sampai. Turun."
Suara yang melunak itu di telinga Salsa malah terdengar seperti ancaman sebelum meledak.
Dia buru-buru lompat turun. "Makasih, Komandan! Hati-hati, selamat malam, dah!"
Dia baru mau menutup pintu.
"Apa saya semenakutkan itu?"
Salsa kaku.
"Cuma saya tegur sedikit, kamu langsung menangis?"
Salsa langsung teringat aktingnya di depan Profesor Bayu.
Dia dengar!
"Bukan, Komandan! Tadi itu saya asal ngomong buat mengulur waktu!"
Salsa panik, membanting pintu mobil, dan kabur.
Wajahnya panas karena malu.
Tunggu. Operasi sebesar ini... komunikasinya pasti... Astaga. JADI SEMUA POLISI DENGAR?
Matilah aku! Mati gaya!
Keesokan siangnya, Polwan Lenny menjemput Salsa ke Markas Besar.
"Santai saja. Kamu itu pahlawan," hibur Polwan Lenny.
Di ruang interogasi, Polwan Lenny memasang alat pendeteksi kebohongan di tubuh Salsa.
Di depannya, Komandan Rendy Wibowo dan Komandan Rakha.
Aura Komandan Rendy berat. Komandan Rakha... yah, dia sukses bikin suhu ruangan anjlok.
Salsa tegang.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Dr. Reza Jayadi masuk. Dia tidak pakai jas dokter, tapi kaus latihan hitam yang menampakkan aura militernya.
"Komandan Rendy, Komandan Rakha." Dia memberi salam singkat, lalu menoleh ke Salsa. "Mata kamu gimana? Masih ada keluhan?"
"Nggak ada, Dok. Makasih." Kehadiran Dr. Reza membuat Salsa sedikit rileks. "Gimana, Dok? Pasiennya sudah ramai?"
Dr. Reza menggeleng lesu. "Jangan ditanya. Udah aku pajang boneka di meja, boro-boro orang dewasa, anak kecil aja nggak ada yang mau tes mata."
Salsa nyengir. Rakha menatap mereka datar. Aneh. Badan Dr. Reza kan lebih seram, kenapa dia tidak takut?
Komandan Rendy berdeham. "Saudari Salsa, tolong ceritakan semua kejadiannya."
Salsa menceritakan segalanya. Tentang firasat, penglihatan yang mundur, dan bagaimana dia melihat malapetaka.
Selama dia bicara, layar monitor tetap stabil. Dia tidak bohong.
"Itulah yang terjadi," tutup Salsa. "Saya takut dianggap monster atau orang gila."
Ruangan hening.
Semua orang syok.
Gadis ini... bisa melihat masa depan!
Komandan Rendy menatapnya, tangannya gemetar. Ini... ini kan aset berharga! Jimat keberuntungan!
Dia langsung tersenyum ramah. "Kami sudah selesai. Kamu mau tanya sesuatu?"
"Apa... yang akan kalian lakukan pada saya? Apa saya akan dibedah?"
"Hahaha!" Komandan Rendy tertawa. "Kamu kira kami ini penjahat di film? Kamu sudah bantu kami!"
"Dengar, di dunia ini ada orang-orang berbakat."
"Pernah dengar 'Tim Garuda'?"
"Isinya orang-orang jenius. Ada yang ingatannya super, ada ahli supranatural, ada sniper jitu."
"Tapi, orang yang bisa memprediksi malapetaka sepertimu... belum ada."
"Kamu satu-satunya."
Komandan Rendy menatapnya serius. "Jadi, apa kamu bersedia bekerja sama dengan kami, pihak kepolisian?"
Salsa baru mau menjawab.
BRAK!
Dr. Reza Jayadi masuk lagi. Tadi dia keluar sebentar untuk menelepon.
"Saya rasa, kemampuan Nona Salsa lebih cocok untuk kami di militer!"
"Penglihatan 5.3! Sayang kalau tidak jadi sniper!"
Salsa melongo. Lho, Pak Dokter? Masih kepikiran?
Dr. Reza, di kandang polisi, mulai membajak aset.
"Gabung tim khusus kami. Makan, tinggal, ditanggung! Jenjang karier cepat! Dan lagi... cowok ganteng di tim kami banyak! Semua tinggi 180 cm, fisik prima!"
Wajah Rakha makin kelam.
Komandan Rendy meledak. "Enak aja! Susahnya jadi tentara nggak kamu sebutin!"
Dia beralih ke Salsa. "Salsa, jangan dengar bualan dia! Gabung kami, gaji pokok 10 juta, BPJS, plus bonus. Kasus kemarin aja bonusmu 300 juta!"
"Kamu bisa pulang tiap hari, bebas!"
"Kami juga ada cowok ganteng!" Komandan Rendy menunjuk Rakha. "Lihat, di sebelah saya!"
Wajah Rakha sudah sehitam panci.
Polwan Lenny menepuk jidat. Pak, jangan pakai dia... nanti orangnya kabur!
"Dia itu cuma pensiunan dokter militer!" seru Komandan Rendy, urat lehernya menonjol. "Kamu percaya saya, Komandan Utama, atau percaya dia?"
Dr. Reza memerah. "Rendy! Licik kamu!"
Dia menatap Salsa. "Nona Salsa, saya serius! Kemampuanmu ini punya nilai strategis tinggi!"
Komandan Rendy: "Halah, lebay! Di tempatmu isinya cuma latihan! Mending di sini, tiap hari ada kasus besar!"
Keduanya adu mulut seperti di pasar.
Lalu mereka serempak menoleh ke Salsa. "Nona Salsa, pilih mana?"
Salsa pusing.
"Dokter Reza, maaf. Saya rasa... saya lebih cocok kerja sama dengan kepolisian."
Komandan Rendy langsung bersandar lega. Dia tersenyum menang pada Dr. Reza. "Reza, soal sniper, di sini juga bisa kami latih. Sana, balik jadi dokter mata."
Dr. Reza menghela napas kecewa, tapi tetap tulus. "Nona Salsa, pintu kami selalu terbuka. Kalau tidak betah, hubungi saya."
Setelah Dr. Reza diusir secara halus, Komandan Rendy kembali duduk.
"Baik, Nona Salsa. Mulai sekarang, Komandan Rakha jadi penghubung khususmu."
Tiba-tiba, Polwan Lenny membisikkan sesuatu. Komandan Rendy mengangguk. "Oh, iya."
Dia menatap Salsa. "Kamu merasa Rakha terlalu galak?"
Salsa diam, yang dianggap sebagai 'iya'.
"Gini aja," kata Komandan Rendy. "Kamu anggota Tim Garuda pertama, jadi kamu Ketua Tim."
"Kamu boleh panggil dia 'Rakha'!"
Para polisi di ruangan melongo.
Gila. Komandan Rakha ditumbalkan jadi asisten?
"Kita panggil dia 'Bos Salsa'," lanjut Komandan Rendy.
Dia menatap Rakha. "Rakha, dengar perintah 'Bos Salsa'. Jangan galak sama atasan! Mengerti?"
Komandan Rakha, dengan wajah kaku, menjawab, "Mengerti."
Komandan Rendy tersenyum puas. "Nah, Bos Salsa. Silakan tanda tangan kontraknya."
Salsa menandatangani kontrak.
Gaji puluhan juta, jaminan hari tua, rumah dinas.
Mimpiku jadi kenyataan!
Para polisi antusias menyalaminya.
"...Selamat bekerja sama, Bos Salsa." Suara Komandan Rakha kaku.
Salsa tersenyum jahil. "Komandan Rakha, mohon bimbingannya."
Rakha menatapnya. "Bisa menyuruh-nyuruh saya, kelihatannya senang sekali?"
Salsa kaget. Sensitif banget!
Dia berdeham. "Bukan menyuruh, Komandan. Ini 'koordinasi wajar' antara atasan dan bawahan."
Rakha berdecih. "Hidungmu kembang kempis itu."
Dia berbalik pergi.
Salsa menatap punggungnya. Yes! Kali ini aku menang!
Malamnya di apartemen, Salsa membuat rencana.
Pekerjaan ini berisiko.
Aku harus bisa bela diri. Dan... aku nggak bisa berenang! Gawat!
Bela diri...
Salsa teringat. Kakaknya, Surya Linardi, punya teman pelatih.
Dia membuka chat. Pesan terakhir 10 hari yang lalu.
Hubungan mereka mendingin. Kakaknya yang dulu hangat, sekarang jadi dingin.
Apa dia baru puber kedua?
Salsa khawatir. Kakaknya tunanetra dan tinggal sendiri di Jakarta.
Dia menekan tombol video call.
Panggilan langsung terhubung.
Suara Surya Linardi tegang. "Salsa? Kenapa? Ada masalah?"
Salsa bingung. "Nggak. Aku mau kasih kabar gembira."
Dia jadi curiga. "Justru Kakak yang kenapa? Kok nggak pernah hubungi keluarga?"
Kamera Surya masih gelap.
"Aku nggak apa-apa. Cuma sibuk."
"Kak, buka kameranya. Kangen."
Setelah didesak, wajah Surya Linardi akhirnya muncul. Latar belakangnya gelap.
Dia pakai kaus lengan panjang berkerah tinggi.
Aneh, padahal lagi musim panas.
Salsa menatap mata kakaknya yang sipit dan kosong karena buta.
Tiba-tiba... penglihatannya kabur.
Firasat!
Kakakku akan celaka!
Bayangan menyerbu otaknya.
Kakaknya memegang ponsel. Suara dari ponsel:
"...Selamat! Karya Anda 'Surat di pagi berkabut' menang juara pertama! Hadiah sepuluh juta rupiah..."
Salsa kaget. Ini kan kabar baik?
Adegan berganti. Ruang rapat mewah. Kakaknya berhadapan dengan... idola pop, Angkasa Wiguna!
Mereka negosiasi. Tiba-tiba Angkasa bicara. "Kalian lanjut aja. Gue cabut dulu."
Raut wajah Kakaknya langsung berubah. Dia membatalkan kontrak dan pergi.
Adegan berikutnya. Kakaknya viral di Toktok. Lagunya disukai jutaan orang.
Tapi...taklama.
Dia dihadang kerumunan orang di bawah kosnya.
"PLAGIAT!"
"TUKANG JIPLAK LAGU ANGKASA!"
"MATI AJA LO!"
Mereka melemparinya dengan cat dan merebut tongkatnya.
Kakaknya lari naik tangga, panik.
Tapi di lantai atas, pagar pengamannya tidak ada—lantai itu sedang direnovasi.
Surya Linardi yang tidak bisa melihat, panik... dan terjatuh dari lantai lima.
Tewas di tempat.
Di sampingnya, tercecer tiga boneka 'We Bare Bears' dari kantong plastik...
Boneka yang pernah diinginkan Salsa.
hebaaaaaatt Salsa 👍👍👍
lanjutt thor💪
ganbatteee😍