Nasib Si Kayya Yang Miskin

Sore itu, Bu Rahayu sedang menyiram tanaman. Mbak Sita sedang pergi berbelanja. Sebuah mobil putih berhenti di depan halamannya.

Bu Rahayu meletakkan alat penyiramnya dan mencuci tangan. Dia menatap ragu ragu ke arah mobil itu.

Saat pintu mobil terbuka, sesosok pria muncul. Bu Rahayu tertegun sejenak memandangnya. Jantungnya berdebar kencang.

"Permisi, apa benar ini rumahnya Kayya."

Saat pria itu menanyakan putrinya, perasaan tak nyaman itu kembali menyeruak. Bu Rahayu mencoba bersikap tenang.

"Ada apa, ya, Mas?"

Erlangga tersenyum. Dia merapikan kemejanya dan berjalan mendekati bu Rahayu.

"Saya Erlangga, temannya Nicky dan Kayya."

"Oh, ya. Silahkan masuk, Mas." Bu Rahayu langsung mempersilahkan Erlangga masuk. Bu Rahayu sedikit gugup, karena dia merasa nama dan sosok ini tidak asing di kehidupannya. Bu Rahayu mengundangnya masuk untuk mencari tahu maksud dan tujuannya datang ke sini.

"Ada apa, ya, Mas? Kebetulan hari ini Kayya dan nak Nicky sedang dalam perjalanan bisnis, kemungkinan pulangnya belum pasti."

"Oh, ga apa-apa, Bu. Saya hanya mampir dan kepengen tahu aja, gimana Kayya. Soalnya Nicky itu dulunya anti perempuan, tetapi setelah mengenal Kayya dia banyak berubah."

Bu Rahayu terlihat bingung. Dia pikir Erlangga kesini karena ada hubungan dengan keluarganya, Saat mencerna lagi ucapan Erlangga, bu Rahayu agak bingung dengan maksud anti perempuan, tetapi apa hubungannya ini dengan putrinya?

"Maksudnya gimana, ya, Mas. Kok saya ga paham. Apakah dulu mas Nicky ga suka perempuan, begitu?" Bu Rahayu mencoba untuk mengikuti topik yang dibicarakan Erlangga, tetapi Erlangga justru seperti orang bingung.

Erlangga menggaruk pelipisnya. Sepertinya ini diluar prediksi. Seharusnya dia tadi membahas Kayya bukan malah fokus ke Nicky.

"Ah, lupakan saja, Bu. Anggap saya tidak pernah menyebut masalah ini."

Bu Rahayu tertawa. Dia merasa Erlangga tidak seburuk dugaannya dan dia baru teringat belum membuatkan minuman untuk tamunya. Dia pun undur diri untuk membuatkan Erlangga minum.

Erlangga menatap punggung bu Rahayu. Senyumnya perlahan memudar. Dia menghela napas. Sepertinya dia terlalu gegabah datang kemari. Dia sampai bingung mencari topik yang pas agar bisa tahu hubungannya dengan Kayya dan bu Rahayu.

Erlangga tidak menaruh dendam pada Bu Rahayu dan Kayya, karena itu bukanlah kesalahan mereka. Erlangga yakin, jika ada yang harus di salahkan, itu pasti ayahnya. Bagaimana bisa pria berkeluarga menipu wanita polos yang tidak memiliki orang tua. Itu benar-benar menjijikkan.

Bu Rahayu keluar dari dapur membawa satu teko minumam dingin dan gelas. Dia meletakkannya di meja dan mempersilahkan Erlangga untuk minum.

"Makasih, Bu. Maaf kedatangan saya merepotkan."

"Ga apa-apa, Nak. Ibu juga kesepian di sini. Mbak Sita yang biasa menemani saya, dia sedang pergi ke pasar."

Merasa ada kesempatan, Erlangga pun tidak mensia-siakannya. Dia akhirnya bertanya, "Jadi ibu tinggal sama siapa saja di rumah ini? Kalau ga salah dulu ini rumah Jovan, kan?"

"Saya tinggal bertiga sama Kayya dan mbak Sita. Mbak Sita ini awalnya pelayan di rumah Nak Nicky, tetapi karena Kayya sering diajak pergi jauh, jadi mbak Sita diminta untuk menemani saya. Betul, Nak. Ini rumah pak Jovan. Saya pindah ke sini juga baru satu bulanan, soalnya rumah saya di kampung kumuh kebakaran."

"Turut bersedih, ya, Bu. O, jadi begitu. Lalu suami ibu? Maaf, ya, Bu kalau saya kepo."

"Suami saya sudah ga ada, Mas," ucap bu Rahayu. Wajahnya begitu tenang, sama sekali tidak menunjukkan kesedihan. "Ga apa-apa, Mas. Apanya yang perlu dikepoin? Hidup saya sama Kayya ya cuma begini begini saja."

Saat Bu Rahayu mengatakan suaminya tidak ada, alis Erlangga berkerut. Ekspresinya berubah, hanya saja dalam hitungan detik, wajahnya kembali tampak normal.

Setelah berbasa basi sesaat, Erlangga akhirnya pulang. Bu Rahayu menatap Erlangga cukup lama sampai dia masuk ke dalam mobil. Begitu mobil Erlangga menghilang, Bu Rahayu bersandar di kursi teras seperti kehilangan tenaga.

Mbak Sita yang melihat Bu Rahayu duduk lemas, seketika menaruh belanjaannya dan mendekatinya. "Bu, ibu kenapa?"

"Saya ga apa-apa, Mbak."

"Mau saya antar ke rumah sakit? Saya khawatir ibu ga enak badan," kata mbak Sita.

"Ga apa-apa, Mbak. Saya baik-baik saja."

***

Nicky dan Kayya sudah masuk ke dalam pesawat Emirates. Nicky memutuskan tidak mengambil penerbangan maskapai yang memerlukan transit ke negara lain, karena khawatir Kayya akan merasa tidak nyaman.

Duduk di kursi kelas bisnis, Nicky selalu memastikan Kayya duduk dengan nyaman. Dia benar-benar bos yang sangat baik.

"Perjalanannya mungkin memakan waktu delapan jam lebih. Kalau kamu pusing atau merasa tidak nyaman, kamu bilang saja pada saya."

Kayya tertawa sambil menatap atasannya. "Kak Nicky, saya merasa tidak enak, bukan karena pesawatnya, tapi karena Kak Nicky justru sejak tadi sibuk mengurus saya. Saya merasa bersalah. Di sini kan asistennya saya, bukan kakak."

Nicky terpana melihat tawa Kayya. Dia lalu mengusap puncak kepala Kayya dengan gemas. "Kamu sekarang berani, ya?"

"Saya takut, tapi kata kak Nick aku harus melawan ketakutanku."

Suasana diantara mereka menjadi lebih santai. Dua jam pertama penerbangan semua tampak baik baik saja, tetapi kemudian terjadi turbulensi dan Kayya seketika langsung memucat.

"Tidak apa-apa. Pesawat ini baru saja menembus awan," ujar Nicky sembari terus mengamati Kayya. Kayya mengangguk. Setelah pesawat kembali tenang, Kayya mengangkat wajahnya.

"Kak aku mau ke toilet."

"Perlu aku antar?"

"Tidak."

Setelah masa masa itu, Kayya menghabiskan waktunya dengan tidur. Setelah turun dari pesawat Kayya mengalami jetlag. Meski begitu dia enggan merepotkan Nicky. Kayya mengikuti Nicky menuju mobil sewaannya.

"Nanti setibanya di hotel kamu langsung istirahat saja, acara pertemuannya besok pukul sembilan pagi," kata Nicky sambil membantu Kayya naik ke dalam mobil.

Setibanya di Hotel, Kayya benar-benar tertidur. Bahkan dia melewatkan waktu makan malamnya dan membuat Nicky khawatir. Dia meminta kunci cadangan pada petugas hotel dan membuka kamar Kayya.

Saat masuk di kamar Kayya, Nicky melihat gadis itu meringkuk di atas ranjang. AC di kamarnya bahkan tidak dinyalakan. Nicky dengan hati hati berjalan mendekat.

Wajah Kayya terlihat pucat dan dahinya berkeringat. Dia sepertinya sedang mimpi buruk.

Nicky pun akhirnya menguncang bahu Kayya, "Kay, Kayya!"

Kayya perlahan membuka matanya. Dia melihat wajah cemas Nicky dan tersenyum. Dia merasa ini semua adalah mimpi. Kayya tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Jangan cemas. Aku baik-baik saja. Kenapa kakak begitu baik padaku? Jangan terlalu baik padaku, Kak. Aku takut terlalu menyukaimu hingga lupa diri."

Kayya kembali terpejam, tetapi Nicky justru mematung mendengar ucapan Kayya.