Dunia Isani seakan runtuh saat Yumi, kakak tirinya, mengandung benih dari calon suaminya. Pernikahan bersama Dafa yang sudah di depan mata, hancur seketika.
"Aku bahagia," Yumi tersenyum seraya mengelus perutnya. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendam ibuku. Jika dulu ibumu merebut ayahku, sekarang, aku yang merebut calon suamimu."
Disaat Isani terpuruk, Yusuf, bosnya di kantor, datang dengan sebuah penawaran. "Menikahlah dengaku, San. Balas pengkhianatan mereka dengan elegan. Tersenyum dan tegakkan kepalamu, tunjukkan jika kamu baik-baik saja."
Meski sejatinya Isani tidak mencintai Yusuf, ia terima tawaran bos yang telah lama menyukainya tersebut. Ingin menunjukkan pada Yumi, jika kehilangan Dafa bukanlah akhir baginya, justru sebaliknya, ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Dafa.
Namun tanpa Isani ketahui, ternyata Yusuf tidak tulus, laki-laki tersebut juga menyimpan dendam padanya.
"Kamu akan merasakan neraka seperti yang ibuku rasakan Isani," Yusuf tersenyum miring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Di dapur, Isani membantu Bi Wati memasak untuk sarapan. Bukan membantu dalam arti sebenarnya, melainkan hanya membantu mengurangi kebosanan, alias ngajak ngobrol. Bi Wati memasak mashed potato dan daging panggang untuk menu pagi ini.
"Bi, nanti jadwal belanjakan? Aku pengen ikut, bosen di rumah." Bagaimana tak bosan, sudah 1 bulan Sani hanya di rumah, bersih-bersih, dan ngurus cucian. Ponsel tak ada, sungguh membosankan hidupnya. Punya uang banyak di rekening, sisa mahar, tapi tak bisa menggunakan. "Aku pengen beli HP," ia seperti anak kecil yang merengek. Bi Wati punya ponsel, tapi ponsel jadul yang tak bisa digunakan untuk sosial media, jadi tak bisa dia pinjam. "Bi, apa nanti aku kabur aja ya, keluar diam-diam."
"Jangan Nyonya, kalau ketahuan gawat."
"Aku gak bisa kayak gini terus, mau sampai kapan? Aku masih muda, masa iya sampai tua hanya di rumah, cosplay jadi pembantu." Ia sudah berusaha untuk berdamai dengan takdir, sebulan ini ia menjalani semua dengan ikhlas, menjadi pembantu gratisan. "Punya uang, punya suami, tapi kayak gak punya apa-apa. Menyedihkan," matanya berkaca-kaca. "Oh iya, lusa ada undangan 4 bulanan Yumi, apa aku kabur aja ya pas acara itu?" menyeka air mata, tersenyum, berasa punya harapan.
"Jangan!" Bi Wati mematikan kompor, menghadap Isani, menggenggam tangannya. "Kalau kabur, terus ketangkap, pasti hukumannya berat. Jangan Nyonya, Tuan sudah cukup baik akhir-akhir ini, tak pernah kasarin Nyonya, jangan cari masalah."
Sani menghela nafas berat. Sebenarnya bukan cari masalah, tapi mau sampai kapan seperti ini. Dia tak boleh diam saja, minimal, usaha dulu.
"Nyonya, kenapa sih, gak coba merayu Tuan, bikin dia jatuh cinta."
Sani menggeleng, "Buat apa, Bi," ia tersenyum kecut. "Dia sudah punya Irene."
"Jangan sebut namanya, dia itu menyebalkan sekali," Bi Wati meremat daster, membayangkan sedang meremat-remat Irene. Dia benci sekali dengan wanita itu. Sejak seminggu lalu, Irene tak lagi kerja di kantor, di rumah mulu, sok berkuasa, sok jadi nyonya besar. "Sebenarnya yang keturunan Erna siapa sih, kenapa dia yang mirip sekali kelakuannya seperti Erna," ucapnya bersungut-sungut.
"Bi, Erna itu mama aku loh," Isani tersenyum.
"Ah iya," Bi Wati cekikikan, tak seharusnya dia menjelekkan Erna di depan anaknya.
"Isani, Isani!" teriak Irene.
"Hadeh, baru diomongin, tuh Mak Lampir datang," Bi Wati geleng-geleng.
"Ini bukan hutan, gak usah teriak-teriak bisa gak?" omel Isani.
Puk
Sani menggeram pelan saat wajahnya dilempar sesuatu oleh Irene. Ia mengambil benda yang ternyata kemeja tersebut.
"Cepetan setrika, Mas Yusuf mau pakai!" titah Irene sambil berkacak pinggang.
"Kenapa gak kamu aja?"
"Ogah. Itu kerjaan kamu."
"Aku bukan pembantu."
"Udahlah Isani, jangan buang-buang waktu. Kemejanya mau segera di pakai Pak Yusuf."
"Pak Yusuf?" Sani mengernyit mendengar Irene memanggil Yusuf dengan sebutan pak.
"A, a, a.. Mas Yusuf maksudku," ralat Irene gugup. "Nanti anterin ke kamar," balik badan, berjalan cepat meninggalkan dapur.
Sani membawa kemeja Yusuf ke tempat setrika. Menyetrika dengan hati-hati karena ia tahu, itu kemeja mahal. Ia juga tahu, Irene hanya sedang mengerjainya, karena tak mungkin, Yusuf kekurangan kemeja putih, hingga ia harus menyetrika dulu. Di almari Yusuf, ada banyak sekali kemeja, dan warna putih yang paling banyak.
"Nyonya," Bi Wati yang baru masuk tempat setrika, menutup pintu, lalu menghampiri Sani. "Saya hampir lupa, mau cerita sesuatu," matanya menatap ke arah pintu, takut tiba-tiba Irene muncul. Meski sudah ditutup, masih bisa dibuka dari luar karena tak ada kuncinya.
"Ada apa?" Sani tetap fokus menyetrika.
"Kemarin, saya melihat Irene teleponan mesra."
"Lha emang kenapa, toh di rumah mereka juga selalu terlihat mesra." Sani sudah muak melihat Yusuf dan Irene bermesraan di depannya. Kelakuan mereka kentara sekali di lebih-lebihkan, dibuat-buat untuk membuatnya cemburu.
"Masalahnya, ini tidak dengan Tuan Yusuf."
"Darimana Bibi tahu?" Sani menghentikan aktifitasnya sejenak, menatap Bi Wati.
"Irene, memanggil laki-laki itu dengan sebutan 'beb'. Selama ini, dia manggil Tuan dengan sebutan sayang atau mas."
Sani mengernyit, memikirkan ucapan Bi Wati. Beberapa hari yang lalu, ia juga sempat memergoki Irene sedang VC dengan seseorang. Ia tak melihat siapa laki-laki tersebut, namun dari suaranya, jelas bukan Yusuf. Dan satu lagi, Irene terlihat panik saat melihatnya, ekspresinya seperti orang yang sedang tertangkap basah.
"Apa Bibi cerita aja ya ke Tuan Yusuf?" tanya Bi Wati.
"Jangan dulu Bi," cegah Isani. "Kita gak punya bukti, bisa-bisa, kita malah dituduh memfitnah istri tercintanya itu. Biarlah, kalau emang Irene selingkuh, biar tahu rasa tuh King of drama." Melanjutkan menyetrika hingga selesai, lalu membawanya ke kamar Yusuf.
Tok tok tok
Sani mengetuk pintu kamar Yusuf meksi posisinya terbuka sedikit. Dari celah tersebut, ia bisa melihat Irene duduk di meja rias, tampak sibuk dengan ponselnya.
"Masuk!" titah Irene. Ia berdiri, menghampiri Sani yang ada di dekat pintu.
Puk
Irene syok saat Sani melempar kemeja yang baru disetrika, ke wajahnya.
"Tadi kamu ngasihnya kayak gitu, jadi aku balikinnya kayak gitu juga."
Irene yang kesal, ingin mengadu pada Yusuf, tapi yang ada, ia makin kesal melihat pria itu menahan tawa.
Sani keluar begitu saja, kembali ke dapur. Ia melihat Bi Wati sudah berganti pakaian, wanita itu mau ke pasar untuk belanja kebutuhan selama seminggu.
"Ikut," rengek Sani, memegang lengan Bi Wati.
"Coba bilang pada Tuan."
Sani membuang nafas kasar. "Pasti gak dibolehin." Ia mengambil makanan, duduk di meja dapur, menikmati sarapannya. Memikirkan saran Bi Wati, untuk minta izin pada Yusuf. Sampai akhirnya, ia putuskan untuk.
"Aku mau ikut Bi Wati ke pasar," Sani meminta izin pada Yusuf yang baru tiba di meja makan bersama Irene.
"Gak boleh," sahut Yusuf tanpa menoleh sedikit pun.
"Aku gak akan kabur."
"Sekali enggak, tetap enggak."
Sani menghela nafas panjang, lalu kembali ke dapur.
"Gimana?" tanya Bi Wati.
Sani menggeleng. Ia menyalakan keran, mencuci peralatan masak yang kotor. Saat sedang cuci piring, tiba-tiba di kagetnya oleh Irene yang berlari lewat di belakangnya, lalu masuk ke kamar mandi.
Hoek, hoek hoek
"Apa dia hamil?" Bi Wati menjawil lengan Sani.
Sani menggeleng, "Gak tahu Bi."
"Bibi udah beberapa kali liat dia muntah-muntah."
"Bisa jadi," Sani tersenyum kecut. Ia makin yakin lusa saat acara Yumi, mau kabur dari Yusuf. Ia tak mau seperti ini terus, lagipula Irene sudah hamil, apalagi yang bisa dia harapkan. Bukan tidak mungkin, ia akan jadi babysitter gratisan lagi seperti dulu. Enggak, dia gak mau jatuh ke lubang yang sama dua kali.
"Bibi berangkat dulu, sepertinya Pak Jamal sudah datang," pamit Bi Wati. Wanita itu lalu berjalan meninggalkan dapur.
"Bi!" teriak Isani saat Bi Wati melewati meja makan. "Jangan lupa titipan aku ya, sianida."
Huk huk huk
Yusuf yang sedang makan, langsung keselek mendengar titipan Sani.
papa yg egois kmu fatur,kalau sampai memanfaatkn kekayaan mantumu...
anda saja yg gk sadar.
manis bibirnya Isani apa bibirnya Irene Suf?😆😆😆