Kayla terkenal sebagai ratu gelud di sekolah-cewek tempramen, berani, dan udah langganan ruang BK. Axel? Ketua geng motor paling tengil sejagat raya, sok cool, tapi bolak-balik bikin ortunya dipanggil guru.
Masalahnya, Kayla dan Axel nggak pernah akur. Tiap ketemu, selalu ribut.
Sampai suatu hari... orang tua mereka-yang ternyata sahabatan-bikin keputusan gila: mereka harus menikah.
Kayla: "APA??! Gue mending tawuran sama satu sekolahan daripada nikah sama dia!!"
Axel: "Sama. Gue lebih milih mogok motor di tengah jalan daripada hidup seatap sama lo."
Tapi, pernikahan tetap berjalan.
Dan dari situlah, dimulainya perang baru-perang rumah tangga antara pengantin paling brutal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 32
Setelah satu jam berlalu, perlahan Kayla membuka matanya. Cahaya lampu kamar yang redup membuat pandangannya sedikit buram.
Di sampingnya, ia melihat segelas yogurt dingin dan sepiring buah-buahan yang sudah dikupas rapi.
“Revan…” gumamnya lirih, sambil menoleh kanan-kiri mencari sosok itu.
Namun yang terdengar hanya suara klik-klik dari game di ponsel Axel.
“Revan nggak ada, Neng… kan dia lagi di Jepang,” ucap Axel dengan nada tenang, bibirnya melengkung kecil.
Kayla berkedip, menatap yogurt dan buah itu. “Terus… ini siapa yang naro?” tanyanya manja, meski suaranya serak.
“Gue,” jawab Axel singkat, sambil melirik Kayla sekilas.
Kayla menggeleng pelan. “Kok lo tau? Yang suka gini cuma Revan. Ibu gue aja nggak pernah gini…” ucapnya, suaranya sedikit bergetar, seolah menahan sakit hati yang tiba-tiba muncul.
Axel tersenyum kecil, lalu menaruh ponselnya. “Tadi Revan telpon. Gue yang angkat. Dia bilang semua—kalo lo sakit harus gini, harus begitu.” Axel terkekeh pelan. “Katanya, lo tuh suka dimanja.”
Kayla mendengarkan, wajahnya menegang. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya air mata menetes jatuh di pipinya.
Ia mengusapnya cepat-cepat, namun tetap terlihat. “Kangen… Revan,” bisiknya manja, matanya memerah.
Refleks, Axel langsung mendekat. Tanpa berpikir panjang, ia meraih Kayla dalam pelukannya. Lengan kuatnya mengitari tubuh Kayla, menahannya erat seolah takut Kayla pecah kalau dilepas.
“Gue emang nggak kayak Revan, Kay…” ucapnya pelan, suaranya berat penuh emosi. “Tapi gue bisa jadi pengganti Revan. Izinin gue.” Tangannya mengusap punggung Kayla dengan lembut.
Kayla menggeleng, suaranya lirih. “Nggak ada yang bisa gantiin Revan. Nggak ada yang sama kayak dia.”
Axel menarik napas panjang, menahan gejolak di dadanya. “Iya, gue tau. Tapi… kasih gue kesempatan. Biar gue yang sayangin lo.”
Kayla menoleh, menatap wajah Axel yang begitu dekat. Air mata masih menempel di sudut matanya. “Jangan jahat…,” bisiknya manja, seperti permintaan terakhir seorang anak kecil yang rapuh.
Axel mengangguk mantap, bibirnya melengkung tipis. “Iya. Gue nggak akan jahat lagi.”
Seolah ingin membuktikan, Axel perlahan mengambil potongan buah dari piring. Dengan sabar, ia menyuapi Kayla satu demi satu, menunggu hingga gadis itu mulai tenang.
Tak lama, Bu Ami masuk membawa puding dingin. “Biar segar,” katanya sambil tersenyum. Axel kembali menyuapi Kayla dengan telaten, kali ini lebih sabar, lebih lembut.
Malamnya, Kayla sudah terlihat lebih baik. Ia turun ke bawah, bergabung dengan keluarga Axel.
“Kirain kamu hamil,” celetuk Bu Ami sambil terkekeh.
Kayla kaget, lalu tersenyum kaku. “Mau kuliah dulu, Bu,” jawabnya singkat.
“Padahal Ibu udah pengen banget gendong cucu,” sambung Bu Ami penuh canda.
Kayla hanya tersenyum. Namun dalam hati, ia bergumam getir, “Gue masih suci… udah ngomongin anak.”
Setelah obrolan ringan itu, Kayla dan Axel kembali naik ke kamar.
Suasana kamar begitu canggung. Kayla memainkan ponselnya, memutar video tanpa fokus. Axel duduk di sisi lain, bermain game, namun kalah terus karena pikirannya melayang.
Akhirnya Kayla meletakkan ponselnya dengan lelah, lalu berbaring membelakangi Axel. “Lo ke mana aja, Xel? Seminggu nggak ada kabar,” ucapnya tiba-tiba.
Axel terdiam. Ia mematikan game di ponselnya, menaruhnya di meja. “Ada.” Jawabnya singkat.
“Tumben nggak bawel,” sahut Kayla datar.
“Gue lagi merenung,” jawab Axel pelan.
Kayla mengernyit. Ia menoleh, lalu duduk menghadap Axel. “Merenung kenapa?” tanyanya, menatap lekat.
Axel menunduk sesaat, lalu mendekat perlahan. Jantung keduanya berdegup kencang. Axel menatap dalam mata Kayla, seakan mencari jawaban di sana.
Tanpa aba-aba, Axel menundukkan wajahnya dan menyentuh bibir Kayla dengan lembut.
Kayla kaget, matanya membesar sesaat. Namun perlahan, bibirnya merespons, membalas ciuman itu. Tangannya naik, meraih tengkuk Axel agar lelaki itu tidak buru-buru melepaskan.
Axel semakin menekan ciumannya, tangannya bergerak naik turun, merasakan getaran tubuh Kayla yang masih kaku. Ada perasaan asing yang mengalir, sebuah keyakinan… bahwa gadis ini memang belum pernah disentuh siapapun.
"Udah siap?” bisik Axel dengan suara rendah di telinga Kayla.
“Aku… takut, Xel,” jawab Kayla terengah, matanya berkaca-kaca.
“Pelan-pelan kok,” jawab Axel sambil tersenyum tipis, namun ada kilatan nakal di matanya.
Malam itu, mereka sama-sama belajar menghapus jarak yang selama ini mereka pertahankan.
Hingga akhirnya, rasa sakit bercampur dengan kelembutan, dan tubuh Kayla tanpa sadar meninggalkan jejak luka kecil di punggung Axel akibat kuku yang menancap menahan perih.
Setelah semuanya usai, kamar itu kembali sunyi. Kayla terkulai dalam pelukan Axel, napasnya masih berat. Axel menatap langit-langit kamar, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Keduanya terdiam lama. Sampai akhirnya, lelah membawa mereka tertidur, masih saling berpelukan erat malam itu.
Keesokan paginya, Kayla masih tenggelam di bawah selimut tebal. Tubuhnya lemas, kepala terasa berat, dan perasaan campur aduk membuatnya enggan membuka mata. Ia menggeliat pelan, wajahnya menempel bantal.
“Hmmm… kenapa juga ngelakuinnya di sini sih…” gumamnya uring-uringan, suaranya serak dan manja, tapi terdengar kesal.
Axel yang baru saja duduk di tepi ranjang, menoleh dengan heran. “Lah, kenapa?” tanyanya, dahi berkerut.
“Males bangun… malu sama mertua,” ucap Kayla sambil menyembunyikan wajahnya di bantal, suaranya terdengar seperti rengekan anak kecil.
Axel terkekeh kecil, menepuk punggungnya lembut. “Ya udah, jangan bangun dulu. Bilangnya kan lo sakit. Mereka juga taunya gitu.”
Kayla membuka sedikit matanya, lalu menghela napas panjang. “Ya udah deh…” katanya akhirnya, lalu kembali menenggelamkan diri. Ia tertidur lagi dengan posisi tengkurap, rambut panjangnya berantakan menutupi wajah.
Axel tersenyum samar melihatnya. Ia bangkit, mengambil handuk, lalu menuju kamar mandi.
Saat membuka baju, Axel mengernyit pelan. Ada rasa perih menjalar di punggungnya. “Akh…” desisnya, mencoba menoleh untuk melihat.
Ia meraba bagian punggung, tapi tak terjangkau. Akhirnya, ia berdiri di depan cermin kamar mandi.
Refleksi tubuhnya menampakkan goresan-goresan merah panjang. Axel terkekeh. “Buset… kayak kucing nyakar,” gumamnya sambil menyeringai, teringat wajah Kayla yang semalam menahan sakit dan tanpa sadar mencengkram tubuhnya.
Ada rasa bangga aneh sekaligus geli di dadanya.
Usai mandi, Axel turun ke ruang makan.
Aroma nasi hangat dan tumisan sayur menyambutnya. Ia duduk dengan santai, menyendok sarapan.
“Kayla mana?” tanya ibunya, Bu Ami, sambil menuang teh hangat.
“Masih tidur. Katanya masih pusing,” jawab Axel cepat, berbohong dengan wajah tenang.
“Oh gitu? Ajak ke dokter, Xel. Jangan disepelein,” ucap Bu Ami, nada suaranya khawatir.
Axel menggeleng sambil mengunyah. “Kata Kayla nggak usah, Mah. Katanya biasa.”
Bu Ami menghela napas. “Ouh ya sudah… tapi jangan didiemin, ya.”
Axel hanya mengangguk, melanjutkan makannya. Dalam hati, ia menyimpan senyum kecil.
Siang harinya, Kayla akhirnya bangun. Setelah mandi, ia turun dengan wajah segar tapi masih pucat. Ia tersenyum tipis, lalu pamit.
“Mau ke rumah dulu, Bu…” ucapnya sambil meraih tas.
“Hah? Kangen rumah ya?” Bu Ami terkekeh, melihat menantu mudanya yang tampak bergegas.
Kayla mengangguk sambil berjalan keluar. “Iya, Bu…” jawabnya singkat.
Udara siang terasa terik saat Kayla berjalan melewati gang kecil. Ia singgah sebentar di sebuah warung, dan di sana, ia bertemu Romi yang sedang duduk santai sambil merokok.
“Hay, Mi! Lagi apa?” sapa Kayla ceria, tersenyum manis.
Romi mengangkat wajah, matanya berbinar melihat Kayla. “Nongkrong, Kay. Dari kapan balik?” tanyanya sambil mengetuk abu rokok.
“Semalem,” jawab Kayla ringan.
Romi menyipitkan mata, tersenyum nakal. “Tambah cantik lo sekarang.”
Kayla terkekeh, mengibaskan tangannya seolah menepis pujian itu. “Bisa aja lo, Mi…” katanya, bibirnya melengkung manis.
Ia kemudian melambaikan tangan. “Gue ke rumah dulu ya. Kangen banget sama kamar gue.”
“Bye…” sahut Romi, tatapannya mengikuti langkah Kayla hingga menghilang di tikungan.
Saat masuk rumah, Kayla langsung menuju kamarnya. Aroma khas kamar lama membuatnya tersenyum getir. Ia menjatuhkan diri ke ranjang, memeluk bantal, lalu membuka lemari kecil.
Dari dalam, ia mengeluarkan tumpukan buku dan album foto lama. Setiap lembar berisi potret dirinya bersama Revan—tertawa, bermain, hingga momen-momen kecil yang dulu terasa biasa, kini terasa begitu berharga.
“Kangen kamu, Van…” bisiknya lirih, memeluk album foto itu erat seolah memeluk orangnya langsung.
Matanya berkaca-kaca saat ingatannya melayang ke masa SMP.
Waktu itu, kelas tiga SMP. Kayla tiba-tiba jatuh pusing hebat di sekolah, vertigonya kambuh.
Semua orang panik, tapi yang paling cepat bertindak adalah Revan. Ia menggendong Kayla di depan teman-temannya tanpa peduli tatapan orang lain, wajahnya pucat panik.
Sesampainya di rumah, Revan membaringkannya di kasur, lalu berlari ke kamar mandi. Ia kembali dengan handuk basah, mengompres kening Kayla dengan gerakan gugup.
“Jangan bikin gue takut, Kay…” ucapnya waktu itu, matanya nyaris berkaca.
Orang tua Kayla saat itu sedang ada acara di luar kota, jadi Kayla benar-benar dititipkan pada Revan.
Saat Kayla bangun, tubuhnya lemah, perutnya mual. Ia muntah-muntah, membuat Revan makin panik.
“Nggak apa-apa… gue di sini…” bisiknya berulang kali, membelai rambut Kayla yang basah keringat.
Beberapa saat kemudian, Kayla menggumam ingin minum yang asam-asam, ingin buah segar, seolah ngidam. Revan awalnya bingung dan takut Kayla kenapa-kenapa.
Tapi seiring waktu, ia mulai mengerti. Itu memang kebiasaan Kayla saat penyakitnya kambuh.
Kenangan itu membuat dada Kayla sesak. Ia menutup mata, membayangkan kembali senyum Revan, tatapannya yang selalu tulus. Air matanya menetes, jatuh ke album foto.
“Axel nggak akan pernah ngerti… karena cuma Revan yang selalu ada.”
Bersambung...
Kasih author semangat dong caranya
#vote
#komen
#like
Makasih udah baca cerita ku 🥰🥰
jangan sentuhan