Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.
Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?
Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
Pagi hari meeting dimulai tepat jam sepuluh dengan semua anggota inti Studio Garasi berkumpul di lantai dua. Meja panjang yang biasanya penuh dengan sketsa dan frame animasi kini dipenuhi dengan tumpukan proposal, kontrak draft, dan dokumen bisnis yang membuat ruangan terasa lebih formal dari biasanya.
Kael berdiri di depan dengan papan tulis besar yang sudah ia siapkan sejak subuh, menuliskan kategori utama dari semua tawaran yang masuk dengan spidol biru yang aromanya menyengat.
"Oke guys, ini adalah momen penting untuk masa depan studio. Kita harus evaluasi semua tawaran ini dengan kepala dingin dan perspektif jangka panjang. Gue udah kategorikan jadi lima grup besar: serial TV, film layar lebar, kolaborasi internasional, proyek pemerintah, dan iklan komersial," jelasnya sambil menunjuk ke setiap kategori yang tertulis rapi di papan.
Rendra duduk di samping dengan laptop terbuka, siap mencatat keputusan dan hal-hal penting yang akan muncul dari diskusi ini.
"Gue udah buat tabel yang bandingkan semua tawaran berdasarkan kompensasi finansial, kontrol kreatif yang kita dapat, komitmen waktu, dan keselarasan dengan nilai studio. Ini akan bantu kita lihat gambaran besar dengan lebih objektif," tambahnya sambil memutar laptop supaya semua orang bisa lihat tabel yang lengkap dengan warna-warna berbeda untuk prioritas yang berbeda.
"Mulai dari serial TV dulu. Ada tiga tawaran besar yang masuk," ucap Kael sambil mengambil proposal pertama dengan logo stasiun TV yang familiar.
"RCTI nawarin kontrak dua tahun untuk produksi serial animasi mingguan tiga puluh menit dengan tema petualangan anak. Budget per episode lumayan gede, tapi mereka minta persetujuan kreatif di setiap tahap produksi. Ini bisa jadi masalah kalau visi mereka bertentangan dengan visi kita."
Dimas menggeleng dengan ekspresi yang skeptis.
"Gue kurang suka dengan klausul persetujuan kreatif yang terlalu ketat. Pengalaman kita dengan SCTV udah bagus karena mereka kasih kita kebebasan. Kalau RCTI mau kontrol terlalu banyak, takutnya kita jadi cuma pelaksana dari ide mereka bukan kreator yang punya suara sendiri."
"Setuju dengan Dimas. Kita harus hati-hati dengan tawaran yang kedengeran bagus di permukaan tapi sebenernya bisa bikin kita kehilangan identitas kreatif," timpal Rani sambil membaca proposal dengan teliti, jarinya menelusuri setiap klausul yang mencurigakan.
"Tawaran kedua dari Indosiar. Mereka mau serial edukatif untuk anak-anak dengan fokus ke nilai-nilai moral dan budaya lokal. Durasi lebih pendek lima belas menit per episode tapi frekuensi dua kali seminggu. Kontrol kreatif lebih fleksibel tapi anggaran nya setengah dari tawaran RCTI," lanjut Kael sambil meletakkan proposal Indosiar di meja untuk dibandingkan.
"Anggaran lebih kecil tapi kebebasan kreatif lebih besar. Pilihan yang menarik. Kalau kita bisa kelola sumber daya dengan efisien, ini bisa jadi situasi yang saling menguntungkan," komentar Rendra dengan analisis yang pragmatis, matanya sudah menghitung proyeksi margin keuntungan di tabel.
Budi yang dari tadi diam akhirnya bersuara dengan nada yang penuh pertimbangan.
"Gue rasa keselarasan dengan nilai kita lebih penting dari anggaran yang gede kalau anggaran yang gede datang dengan ikatan yang bikin kita gak nyaman. Tawaran Indosiar kedengeran lebih selaras dengan filosofi studio kita yang utamakan substansi daripada tontonan."
"Tawaran ketiga dari TVRI. Mereka mau perpanjang kontrak kita yang sekarang dengan menambah slot baru di jam tayang utama dan naikin kompensasi dua kali lipat. Mereka juga nawarin fasilitas produksi yang lebih baik kalau kita mau produksi di studio mereka. Hubungan kita dengan Bu Ratna udah mapan dan bagus, jadi ini adalah opsi yang paling aman dengan risiko paling rendah," jelas Kael sambil menaruh proposal TVRI di tengah sebagai titik acuan untuk perbandingan.
"TVRI itu zona nyaman kita. Udah terbukti berhasil dan Bu Ratna sangat mendukung. Tapi apakah kita mau tetap di zona nyaman atau kita mau ambil risiko untuk tumbuh lebih cepat dengan mitra baru?" tanya Rani dengan pertanyaan yang membuat semua orang terdiam untuk berpikir dengan serius.
Kael menghela napas panjang sambil bersandar di meja dengan kedua tangan.
"Ini dilema klasik antara stabilitas dan pertumbuhan. Gue gak ada jawaban yang mutlak benar. Tapi gue rasa kita bisa negosiasi dengan TVRI untuk tetap jaga hubungan sambil juga ambil salah satu tawaran lain yang gak bentrok dengan jadwal TVRI. Mereka masuk akal dan gue yakin Bu Ratna akan mengerti kalau kita perlu diversifikasi."
"Oke, kesepakatan sementara: kita prioritaskan perpanjang dengan TVRI karena fondasi yang solid, sambil jajaki Indosiar untuk slot tambahan yang gak tumpang tindih. RCTI kita tunda dulu sampai kita bisa negosiasi syarat yang lebih menguntungkan untuk kontrol kreatif. Setuju?" tanya Dimas sambil menatap ke sekeliling untuk cek persetujuan dari semua orang.
Anggukan kompak dari semua orang membuat Rendra langsung mencatat keputusan ini di laptop dengan cekatan.
"Lanjut ke film layar lebar. Ini yang paling seru tapi juga paling menuntut," ucap Kael sambil mengambil proposal tebal dengan logo rumah produksi yang lumayan terkenal di Indonesia.
"Miles Productions nawarin kontrak untuk adaptasi legenda Sangkuriang ke format film animasi sembilan puluh menit dengan anggaran produksi yang, jujur, bikin gue hampir jatuh dari kursi waktu pertama kali baca. Mereka mau rilis di bioskop-bioskop besar dengan kampanye pemasaran yang proper."
"Berapa anggarannya?" tanya Agus dengan penasaran yang tidak bisa disembunyikan, matanya membulat dengan antisipasi.
"Lima ratus juta rupiah untuk produksi, belum termasuk pemasaran dan distribusi yang mereka tanggung sendiri. Ini sepuluh kali lipat dari anggaran 'Sang Penjaga' yang cuma lima puluh juta," jawab Kael dengan nada yang masih tidak percaya meskipun sudah membaca angka itu berkali-kali.
Ruangan meledak dengan kegembiraan yang tidak bisa ditahan.
"Gila! Dengan anggaran segitu kita bisa rekrut animator tambahan, beli peralatan yang proper, dan gak perlu khawatir tentang mengorbankan kualitas karena keterbatasan sumber daya!" seru Sari dengan antusiasme yang membuat semua orang ikut tersenyum.
"Tunggu dulu. Ada tangkapannya pasti. Gak ada yang kasih anggaran segitu tanpa mengharapkan hasil yang signifikan atau mau kontrol yang besar," sergah Rani dengan skeptisisme yang sehat, mengingatkan semua orang untuk tidak terlalu cepat terbawa euforia.
"Bener. Tangkapannya adalah jadwal. Mereka mau film selesai dalam delapan bulan untuk kejar jendela rilis yang ideal di akhir tahun depan. Itu sangat ketat untuk film sembilan puluh menit dengan kualitas yang kita komit untuk pertahankan. Dan mereka juga minta persetujuan final untuk naskah, desain karakter, dan keputusan kreatif besar," jelas Kael sambil menunjuk ke klausul-klausul yang bermasalah di kontrak.
"Delapan bulan untuk film sembilan puluh menit? Itu hampir mustahil kalau kita mau pertahankan standar kualitas kita. 'Sang Penjaga' yang cuma dua puluh menit butuh lima bulan dengan tim kecil. Untuk film empat setengah kali lebih panjang, bahkan dengan tim yang lebih besar, kita butuh setidaknya setahun atau lebih," hitung Dimas dengan cepat, kepalanya menggeleng dengan keraguan yang jelas.
"Plus, persetujuan final dari mereka untuk keputusan kreatif besar bisa jadi hambatan kalau visi kita berbeda. Kita bisa terjebak di siklus revisi yang gak ada habisnya dan malah gak kejar tenggat yang udah ketat itu," tambah Budi dengan kekhawatiran yang valid berdasarkan pengalaman kerja dengan klien yang menuntut di masa lalu.
Kael mengangguk dengan setuju sambil menatap proposal dengan ekspresi yang bingung.
"Gue paham kekhawatiran kalian dan gue punya kekhawatiran yang sama. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan untuk masuk ke pasar bioskop yang selama ini hampir mustahil untuk animator Indonesia. Kalau film ini sukses, itu bisa buka pintu untuk proyek-proyek layar lebar lain di masa depan."
"Bagaimana kalau kita ajukan balik dengan jadwal yang lebih realistis, katakanlah dua belas bulan, dan negosiasi untuk persetujuan kreatif yang lebih seimbang? Mereka setuju arah besar tapi kita punya keputusan final dalam detail eksekusi? Layak dicoba sebelum kita sepenuhnya lewatkan kesempatan yang bisa mengubah permainan ini," usul Rendra dengan kompromi yang masuk akal.
"Gue suka pendekatan itu. Kita negosiasi dengan posisi kuat sekarang karena kita punya daya tawar dari kemenangan di Singapura. Mereka butuh kita sama banyaknya dengan kita mungkin butuh mereka," timpal Rani dengan pemikiran strategis yang membuat Kael tersenyum dengan bangga.
"Oke, tugas untuk Rendra: lu atur pertemuan dengan Miles Productions untuk negosiasi syarat. Kita minta minimal dua belas bulan jadwal dan kontrol kreatif yang lebih seimbang. Kalau mereka bisa fleksibel dengan syarat ini, kita pertimbangkan serius. Kalau mereka gak mau berubah, kita lewati dan fokus ke kesempatan lain yang lebih berkelanjutan," putus Kael dengan keputusan yang tegas tapi tetap buka ruang untuk kemungkinan.
Meeting berlanjut dengan evaluasi tawaran kolaborasi internasional dari studio di Korea dan Jepang, proyek edukasi dari Departemen Pendidikan, dan beberapa tawaran iklan dari merek besar.
Setiap tawaran didiskusikan dengan detail.
Pro dan kontra ditimbang dengan hati-hati.
Keputusan dibuat secara kolektif dengan voting kalau ada perbedaan pendapat.
Jam dua siang, setelah empat jam pertemuan yang intensif, mereka akhirnya punya kejelasan tentang arah yang mau diambil untuk enam bulan ke depan.
Perpanjang kontrak TVRI, jajaki kemitraan dengan Indosiar, negosiasi dengan Miles Productions untuk film layar lebar, ambil satu proyek iklan untuk stabilitas arus kas, dan tolak semua tawaran lain yang gak selaras atau akan memberatkan kapasitas tim.
"Pertemuan yang produktif. Gue bangga dengan bagaimana kita pendekati pengambilan keputusan ini dengan matang dan kolaboratif. Ini adalah bukti bahwa studio kita udah matang dari operasi yang seadanya di garasi jadi organisasi yang profesional dengan tata kelola yang proper," ucap Kael sambil menutup meeting dengan apresiasi yang tulus untuk semua orang yang berkontribusi dengan masukan yang bijak.
"Tapi jangan lupa, meskipun kita udah lebih profesional, kita tetap harus jaga jiwa dan budaya yang membuat Studio Garasi spesial. Jangan sampai dalam mengejar pertumbuhan, kita kehilangan kehangatan dan rasa keluarga yang udah kita bangun dari awal," ingatkan Rani dengan kekhawatiran yang penting dan valid.
"Tentu saja. Itu adalah hal yang tidak bisa ditawar. Budaya adalah fondasi yang gak boleh dikorbankan terlepas seberapa besar kita tumbuh," tegas Kael sambil menatap semua orang dengan keseriusan yang membuat pesan itu terasa berat dan bermakna.