Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 32
Mereka berdua menatap masakan Zia dengan mata berbinar. Aroma gurih ayam goreng bercampur wangi segar udang asam manis membuat perut mereka semakin lapar. Azka, yang biasanya bersikap datar dan cenderung cuek, hari ini entah kenapa hatinya seperti sedang berbunga-bunga.
“Zia, ambilin ayam goreng dong,” ucap Aksa sambil menunjuk ayam yang kulitnya tampak renyah menggiurkan.
“Nih, makan yang banyak,” jawab Zia sambil menaruh ayam itu di piring Aksa, lalu tanpa sadar mengelus rambut Aksa seperti kakak pada adiknya.
Azka yang melihat itu langsung mengeram pelan, wajahnya berubah masam. Berani-beraninya zia ngelus rambut Aksa dihadapan gue? batinnya. Sementara Aksa hanya terkekeh pelan, jelas-jelas sengaja membuat kakaknya kesal.
“Makasih,” ucap Aksa sambil tersenyum manis, seolah mempertegas provokasinya.
“Kak, kamu mau diambilin apa?” tanya Zia sambil melirik Azka dan tersenyum tipis.
“Terserah,” jawab Azka singkat, nada suaranya terdengar seperti sedang bad mood.
Zia mengerutkan kening. Kenapa lagi nih orang? Baru tadi kayaknya baik-baik aja. Tak mau memperpanjang suasana tegang, ia pun segera mengambil semua lauk—ayam goreng, udang asam manis, sayur kangkung—dan menaruhnya di piring Azka. Daripada dia marah, mending langsung amanin semuanya, pikirnya.
“Zia, suapin gue dong,” pinta Aksa tiba-tiba.
Zia meliriknya sambil mengangkat alis. “Kayak anak kecil… tapi nggak papa deh, takut gaji aku dipotong,” ucapnya setengah bercanda.
“kayaknya enak kalo makan disuapin Zia." balas Aksa santai.
“Sini piringnya,” perintah Zia sambil mengulurkan tangan. Aksa dengan cepat menyerahkan piringnya, wajahnya penuh kepuasan seperti anak kecil yang berhasil mendapatkan perhatian.
Aksa menikmati suapan pertama dari Zia, lalu tanpa malu-malu menatap miring ke arah abangnya. Senyum miring itu jelas-jelas sebuah provokasi. Azka yang menyadari maksud adiknya langsung mengepalkan tangan di bawah meja. Sial… batin Azka dengan mata yang menyala-nyala
“Zia, suapin gue juga dong,” ucap Azka tiba-tiba, nada suaranya lebih tegas daripada Aksa.
“Hah? Mana bisa aku suapin dua orang sekaligus,” jawab Zia sambil berkedip heran.
“Bang Azka kok ikut-ikutan sih?” ucap Aksa dengan nada menggoda, jelas ingin memanas-manasi suasana.
“Diem lo,” balas Azka cepat, menatap adiknya tajam.
“Udah, jangan pada ribut. Aku suapin aja satu-satu,” potong Zia, mencoba menjadi penengah.
Suasana meja makan pun berubah jadi sedikit riuh. Zia bergantian menyuapi mereka—satu suap untuk Aksa, satu suap untuk Azka. Tapi setiap kali tiba giliran Azka, Aksa akan berkomentar atau sengaja memperlambat prosesnya, membuat Azka semakin kesal.
“Zia, ayamnya buat gue yang gede ya,” kata Aksa sambil memiringkan kepala.
“Yaelah, gue juga mau yang gede,” protes Azka.
“Lo kan udah gede, makan yang kecil aja,” balas Aksa sambil terkekeh.
“lama-lama gue tendang juga Lo dari ruang makan,” sahut Azka, nadanya setengah serius.
“Diem! Makan yang tenang!” seru Zia, meskipun bibirnya menahan tawa melihat dua bersaudara itu bertingkah seperti anak kecil yang berebut mainan.
Setelah beberapa menit perdebatan kecil itu, akhirnya mereka makan dalam suasana yang sedikit lebih tenang. Aksa masih sempat menyenggol kaki Azka di bawah meja, membuat Azka menatapnya dengan tatapan “ awas aja Lo nanti gue bales”.
Zia hanya menggeleng, dalam hati merasa seperti sedang mengurus dua bocah laki-laki yang saling cemburu. Lucu juga sih, lihat Azka kayak gini… biasanya dia kan dingin banget.
Namun di sisi lain, Azka yang sedang mengunyah perlahan melirik Zia. Kalau bukan karena dia… nggak mungkin gue mau kayak gini. Nyuruh disuapin, rebutan makanan sama adik, itu semua konyol… tapi entah kenapa, gue nggak keberatan.
Aksa meneguk air minumnya, lalu bersandar santai di kursi. “Enak banget makanannya. Kalau tiap hari kayak gini, gue bisa betah di rumah terus.”
“Yaudah, nanti aku masakin tiap hari,” jawab Zia sambil membereskan piring kosong di hadapannya.
Azka melirik cepat ke arah Zia, lalu berkata dengan nada yang hampir tak terdengar, “Gue juga mau.”
“Hah?” Zia menoleh.
“Nggak, makanannya enak,” jawab Azka cepat, menutupi maksud aslinya.
Aksa tersenyum miring, menyadari perubahan kecil di ekspresi kakaknya. Tapi ia memilih tidak berkomentar, meski dalam hati ia sudah menyiapkan rencana untuk menggoda Azka lagi di kesempatan berikutnya.
Makan malam pun berakhir dengan perut kenyang dan hati yang… entah kenapa, terasa hangat.
_____
Zia baru saja membuka pintu kamarnya, niat hati mau rebahan setelah seharian repot di dapur dan mengurus dua kakak-beradik yang tingkahnya seperti anak SD. Namun belum sempat dia melangkah masuk, dua tangan tiba-tiba menahan bahunya dari sisi kanan dan kiri.
Refleks, Zia menoleh ke belakang—dan langsung mendapati Azka dan Aksa berdiri di sana, saling menatap tajam seperti dua singa yang berebut wilayah.
“Zia, temenin gue tidur yuk. Gue nggak bisa tidur,” ucap Aksa cepat, memotong ketegangan.
“Zia sama gue,” sahut Azka tanpa basa-basi, nadanya datar tapi tegas.
“Gue yang duluan, Bang!” Aksa langsung memprotes, wajahnya jelas menantang.
“Apa sih kalian, tiba-tiba datang terus berantem?” Zia menatap keduanya dengan bingung.
“Lo harus tidur sama gue,” ucap mereka berdua… bersamaan.
Zia memijat pelipisnya. “Kalian kan udah biasa tidur sendiri-sendiri.”
“Tapi hari ini gue nggak bisa tidur,” jawab Azka.
“Iya, gue juga,” sambung Aksa.
Zia menghela napas panjang. “Kan kalian tadi habis bangun tidur, jadi belum ngantuk.”
“Udah sana, pergi ke kamar masing-masing. Aku mau tidur,” ucap Zia sambil menguap lebar.
Aksa tiba-tiba menyipitkan mata dan berkata dengan nada mengancam pura-pura, “lo harus nurut Zia atau gaji lo kita potong… dan gue ngadu ke Oma kalau Zia nggak kerja dengan baik.”
Zia mendecak. “Ckkk… iya deh. Tapi masa tidur bertiga?”
“Bang Azka yang ngalah deh,” kata Aksa cepat, seperti sudah menyiapkan strategi.
“Enak aja,” balas Azka langsung.
“Udah, udah, jangan berantem. Berhubung ranjang Kak Azka sama Aksa gede, kalian pilih aja mau di kamar Kak Azka atau Aksa. Aku sih ikut aja,” kata Zia, mencoba menjadi penengah.
“Di kamar gue aja,” sahut Aksa.
“Gue,” potong Azka di waktu yang sama.
Zia akhirnya menggaruk kepalanya sendiri, frustasi. “Ribet banget sih… udah, kalian kertas-gunting-batu aja deh.”
Mereka pun berdiri saling berhadapan, mengangkat tangan, dan… "kertas, gunting, batu."
Azka mengeluarkan gunting, sementara Aksa mengeluarkan kertas.
“Yes! Gue menang,” ucap Azka sambil tersenyum tipis, tatapannya penuh kemenangan.
Aksa hanya mendengus, tapi tak banyak protes. “Yaudah, ayo cepetan sebelum gue berubah pikiran,” katanya sambil berjalan malas.
Akhirnya, Zia, Aksa, dan Azka pun menuju kamar Azka.
Begitu masuk, Zia langsung melirik ranjang besar itu. Memang muat untuk bertiga, tapi tetap saja, ide ini terdengar aneh baginya. Aneh banget sih… ni dua cowok masa gue disuruh tidur bareng?
Azka masuk duluan dan langsung merebahkan diri di sisi kiri ranjang. “Gue di sini.”
“gue di kanan,” sahut Aksa, menempati sisi satunya lagi.
“Terus gue di mana?” tanya Zia sambil menunjuk bagian tengah ranjang.
“Ya tengah lah,” jawab keduanya bersamaan.
Zia memutar bola matanya. “Yaelah, kayak sandwich aja.”
Tanpa banyak pilihan, Zia pun naik ke ranjang dan berbaring di tengah. Tapi baru saja ia menarik selimut, Azka dan Aksa mulai lagi dengan gangguan-gangguan kecil.
Aksa, dengan santai, meletakkan lengannya di atas perut Zia. “Nyaman gini…”
Azka langsung menepis lengan itu. “Jangan ganggu dia.”
“Lah, lo juga ganggu, Bang,” balas Aksa sambil mendorong pelan bahu kakaknya.
“Gue cuma jagain,” kata Azka, nadanya dingin tapi jelas penuh klaim.
Zia menarik napas panjang, mencoba menahan diri. “Kalian ini niat tidur nggak sih?”
“niat kok.... ini udah baring diranjang." jawab Aksa polos.
“Ya, sama,” sahut Azka.
Akhirnya, Zia memilih untuk memejamkan mata dan pura-pura tidak peduli. Tapi ia bisa merasakan bagaimana kedua sisi tubuhnya terasa hangat—dan jujur saja, sedikit sempit—karena masing-masing dari mereka diam-diam mendekat.
Lama-lama, suasana hening. Hanya terdengar napas mereka yang mulai melambat. Zia hampir terlelap ketika tiba-tiba terdengar bisikan pelan dari sisi kirinya.
“Zia…” suara Azka, nyaris seperti gumaman.
“Hm?” Zia bergumam malas, masih setengah tidur.
“Mimpiin gue ya,” ucap Azka santai.
Belum sempat Zia merespons, dari sisi kanan terdengar Aksa yang ikut-ikutan, “Kalau mimpi, mimpiin gue duluan.”
Zia membuka matanya perlahan, lalu menatap langit-langit kamar. Astaga… tidur sama dua orang ini sama aja kayak ikut lomba tarik tambang gak ada yang mau kalah
Meski kesal, ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa… hangat.
Dan malam itu, entah bagaimana, mereka akhirnya tertidur dalam formasi “sandwich” yang aneh—dengan Zia di tengah, Aksa di kanan, dan Azka di kiri. Dan yang paling mengejutkan, untuk pertama kalinya, mereka semua tidur nyenyak tanpa ada yang bangun sampai pagi.
...★...
...Wah, nggak kerasa ya kita udah sampai di akhir bab ini. Gimana menurut kalian? Alurnya bikin kalian senyum-senyum sendiri atau malah gemes sama tingkah tokohnya? Aku jujur pas nulis bagian ini lumayan senyum-senyum sendiri sambil ngebayangin ekspresi mereka....
...Aku pengen tahu pendapat kalian, soalnya tiap komentar dan masukan dari kalian itu bener-bener berharga buat aku. Menurut kalian, karakter favorit di bab ini siapa? Dan kalau kalian ada ide momen lucu atau dramatis buat bab berikutnya, boleh banget tulis di kolom komentar. Siapa tahu ide kalian bisa aku masukin ke cerita. ✨...
...Oh iya, ngomong-ngomong… kalian suka K-Pop nggak sih? Aku akhir-akhir ini lagi sering dengerin playlist K-Pop sambil nulis. Lagu favorit kalian apa? Kalau aku sih lagi sering muter lagu style dari hearts2hearts sama surf dari Nct wish Rasanya bikin semangat nulisnya dobel!...
...Jadi, sebelum kita lanjut ke bab selanjutnya, share pendapat kalian tentang bab ini dan kasih tahu juga lagu favorit kalian. Siapa tahu nanti kita bisa bahas sambil K-Pop bareng....
...★...
...list lagu favorit aku...
...surf...
...style...
...the chase...
...new jeans...
...supershy...
...hot sauce babymonster...
...yellow treasure...
...bad desire enhypen...
...dan yang lainnya soalnya aku mulfan...