"semua orang memiliki hak untuk memiliki cita-cita,semua orang berhak memiliki mimpi, dan semua orang berhak untuk berusaha menggapainnya."
Arina, memiliki cita-cita dan mimpi tapi tidak untuk usaha menggapainya.
Tidak ada dukungan,tidak ada kepedulian,terlebih tidak ada kepercayaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Standar Arina
Pulang sekolah,seperti perintah Arkan tadi pagi,Arina diantar dengan mobil mewah milik keluarga Arkan.
Melihat awan mendung yang menggantung dan dia tidak membawa persiapan payung,menjadi pertimbangan Arina untuk menuruti perintah.
Mereka sudah berada di dalam mobil,duduk bersisian dengan jarak di tengah seperti biasa.Deg-degan yang Arkan rasakan jangan di tanya lagi,dia sudah seperti bunyi token listrik yang belum di isi.Bikin gelisah yang mendengar.Tentu saja dalam hal ini,hanya Arkan yang mendengar."Sial!,walaupun aku nggak mau perhatiin cewek ini tapi aku kepikiran sendiri,menyebalkan banget!".Hati Arkan makin berisik.
Arina teringat sesuatu,"Arkan,kamu bilang Evan tidak masuk kelas karena kakeknya meninggal.Rumahmu dan rumahnya dekat ya?,jadi kamu bisa tahu."
Arkan melirik sebentar saja,"Huh...terlebih lagi,dia lebih memikirkan Evan.Dari pada aku yang sudah hampir gila ini",hati Arkan memang sudah semakin kacau.
"Arkan,kamu dengar aku tidak?" Sedikit kesal,karena Arkan seperti acuh.
"Aku lihat di berita,"Akhirnya Arkan menjawab,tapi nadanya malas.Karna lelah dengan berisik di hatinya.
"Ehm...jadi semua orang bisa tahu ya,cuma aku yang nggak tahu.Kalau Ponsel ku tidak rusak,pasti aku juga bisa cepat tahu".
Nada bicara Arina sedih,wajahnya nampak murung.Ia menunduk pasrah,membuat empati Arkan menjadi-jadi."Ponselnya rusak,dia jadi sedih.Mana boleh apapun dan siapapun membuatnya sedih,Arina dia harus bahagia.Aku akan belikan dia ponsel baru,kurang ajar banget ponsel nya itu berani-beraninya buat Arina sedih. Aku saja tidak berani".Karna hatinya bicara begitu,membuat jari jemarinya mengepal,urat-urat di tangannya menegang.
Bersamaan dengan rahangnya yang mengeras.Tapi lagi-lagi Arina menoleh,wajah manis dan polos itu...mata yang sedikit sipit tapi seperti membulat,juga timpahan cahaya yang memantul dari kaca membuatnya seperti sebuah karya cipta yang sempurna.Arkan merasa,Arina sangat mempesona. Membuatnya jadi bingung harus bertingkah apa.
"Arina kamu ja..jangan, lihat-lihat aku!" Arkan refleks menutup matanya dengan kelima jemarinya.
Mendengar itu,Arina langsung memalingkan wajahnya. "Arkan ini kenapa sih,dari tadi pagi sikapnya aneh banget".
Sepanjang perjalanan,Arkan masih menutup matanya dengan jari. Sedang Arina,memutar sedikit tubuhnya hingga wajah yang tadi menghadap ke depan kini menghadap ke samping,membelakangi Arkan.
***
Dari siang,langit memang sudah mendung.Wajar saja malam ini hujan turun.Meski hanya gerimis kecil,tapi justru membuatnya lama untuk reda.Udara dingin semakin terperangkap,membuat siapa saja akrab dengan jaket dan selimut.
Arina di kamarnya,ia mengeluarkan lembaran-lembaran uang dengan warna yang bervariasi dari dompet biru muda yang sudut penutupnya sedikit mengelupas.
Uang kertas itu ia elus satu persatu,hingga tidak ada lipatan sama sekali.Dari gerakan itu dia tahu berapa jumlah tabunganya sekarang.
"Sudah ada Rp375.000, hem...masih kurang banyak sih.Tapi nggak apa-apa,aku masih bisa kumpulin lagi dari hasil kerja di rumah Mbak Sinta."
Ia genggam uang tadi,seolah itu adalah harta satu-satunya yang ia miliki.Matanya terpejam,meyakinkan diri bahwa suatu saat dia pasti bisa beli Ponsel baru.
Rupanya Bapak sudah berdiri di ambang pintu kamarnya.Suara batuk kecil Bapak,membuat Arina membuka mata dan menoleh."Kenapa Pak?"
Bapak tersenyum,tangannya merogoh saku celana hitam yang di pakainya.Lalu masuk mendekati Arina.
"Ini,Bapak ada uang segini buat kamu.Kamu simpen ya,buat tambah beli Ponsel kamu." Uang kertas berwarna merah,dua lembar Bapak taruh di tangan Arina.Membuat gadis itu terperanjat,matanya membulat memandangi dengan wajah takjub.
"Bapak,banyak banget!" Suara Arina sedikit melengking,sontak Bapak menaruh jari telunjuk di bibirnya.Isyarat untuk Arina supaya memelankan suara.
Bapak duduk di pinggir ranjang,sambil tersenyum hangat."Bapak dapat rezeki tadi,cafe di tempat Bapak kerja bangunan lihat Bapak main gitar,terus setiap jam istirahat dan sebelum pulang,Bapak main gitar dulu di cafe itu.Nah Bapak dapat bayaran segitu,lumayan bisa di kumpulin buat beli Ponsel kamu."
Arina menghambur, memeluk Bapak dengan erat."Bapak,makasih ya.Arina nggak nyangka Bapak bisa dapat uang lebih buat Arina beli Ponsel".
Bapak mencium pelan puncak kepala putrinya, mengelus punggungnya dengan sayang. "Bapak,harusnya yang minta maaf sama kamu.Bapak cuma bisa menghasilkan uang nya sedikit.Sampe kamu harus kerja bantu-bantu di rumah Sinta. Sebenarnya,Bapak nggak suka dan sedih tapi mau bagaimana lagi.Bapak juga belum bisa penuhi kebutuhan kamu."
"Tapi Bapak tetap jadi Pahlawannya Arina kok Pak.
Bapak selalu ngertiin Arina,Arina bangga punya orang tua seperti Bapak".
"Arina,Bapak terimakasih kamu sudah mengerti keadaan Bapak.Bahkan selalu mengalah sama Mas mu."
"Pengorbanan Bapak buat Arina juga besar Pak,jadi Arina harus ngerti kalau keinginan Arina tidak harus di turuti semua.Bapak tetap memikirkan keluarga, walaupun Arina tahu Bapak pasti capek,kerja seharian kadang juga harus ke kebun singkong juga.
Teman-teman Arina nggak punya orang tua seperti Bapak,jadi Arina bangga punya Bapak".
Arina teringat bagaimana keluarga Vivian,Papanya yang kaya tapi punya Sinta,sebagai istri simpanannya.
Sering bertengkar dengan istri sah,di depan Vivian yang membuat mental anaknya jadi terganggu.
Berbeda dengan Bapak,Ia pria sederhana tapi kesabarannya melebihi apapun.Tidak pernah bicara bernada tinggi,meski kadang omelan Mamak terdengar menyakiti.
Bagi Arina,sikap Bapak yang begitu menjadi sebuah standar untuknya nanti ketika akan menikah.Ia mau calon suami yang setia,sabar,mau berkorban seperti Bapak.
***
Di rumah Arkan,
"Ya..Allah Arkan, kenapa siku kamu?"Almira,Mamanya Arkan menatap cemas pada siku anaknya.
"Jatuh Ma,tadi pas pertandingan Basket.Tapi,sudah di obatin kok"
"Coba,sini Mama lihat" Tangan Mama terulur,hendak memeriksa perban yang menempel di siku anaknya.
Arkan membiarkan saja,Mamanya begitu.Baginya,kecemasan Mama adalah bentuk kasih sayang seorang Ibu pada anaknya,dan Arkan sangat menghargai itu.
"Ini perbannya harus di ganti yang bersih,biar nggak kena kuman."
Mendengar itu Arkan langsung menarik tangannya, melompat menghindari Mama.Membuat Mama bingung dengan sikapnya.
"Kalau nggak di ganti, nanti kamu bisa infeksi " Almira merasa aneh dengan sikap anaknya kali ini,biasanya Arkan selalu menurut jika lukanya di obati.Tapi kali ini Arkan seperti menghindari.
"Jangan Ma,ini...perban yang di pasang Arina". Setengah kikuk,Arkan menutup mulutnya.Ia sadar sudah menyebut nama Arina di depan Mamanya.
Membuat Almira tersenyum,ia mulai faham arah bicara Arkan.Sekejap saja, ruangan itu seolah berhenti.
Suara jam dinding terdengar jelas.Mamanya memandang anaknya lama, lalu menunduk, menahan tawa yang hampir muncul.
“Oh…” suaranya datar, tapi nada ujungnya lembut, “Arina ya?”
Arkan refleks menatap Mama,lalu mengangguk malu.
Mamanya tak menjawab, hanya menghela napas pelan.Lalu tangannya terulur, menepuk bahu Arkan dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Sudah mulai ya, masa-masa itu.”
“Masa apa sih, Ma?” Arkan mengerutkan kening.
Mamanya hanya tersenyum tipis, matanya teduh, seolah baru melihat sesuatu yang lama dinantinya.
“Nggak apa-apa. Nikmati aja.”
Arkan makin bingung. “Nikmati apa, Ma?”
*
*
*
~Kalian tim Arkan apa tim Evan guys?
~Salam hangat dari Penulis🤍
Tak ada kata lagi terucap👍🙏