‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18 : Tak semua bisa dibeli dengan uang
Bu Warni mengaduk-aduk isi plastik – matanya berbinar saat menemukan permen yang dia sukai.
“Dik, Wisnu! Pacarmu.” Permen kaki diangkat tinggi-tinggi, barisan gigi masih rapinya terlihat kala tersenyum sumringah. “Wisnu ini!”
“Iya, Buk. Mas Wisnu suka bawain permen kesukaan ibuk, begitu kan maksudnya?” Ia ambil permen dari jepitan jari ibunya, lalu dibuka bungkusnya – yang langsung dimasukkan ke dalam mulut oleh bu Warni.
“Dia gini ‘kan?” Jemarinya menelusup disela jemari sang putri, seolah tengah menggenggam tangan sang kekasih.
“Mampus!” spontan Nelli berseru.
Seketika suasana di dalam mobil berubah mencekam. Mulut Bondan terkatup, padahal dia berniat menggoda Nelli hingga gadis itu meradang.
Randu sangat fokus menyetir, matanya melotot menatap jalanan, seolah takut menabrak barisan Semut tengah menyebrang.
Amran kembali duduk tegak, dia melihat apa yang sedang ingin disampaikan ibu mertuanya, tiba-tiba rautnya yang tadi hangat berubah membeku.
“Kapan pacar Adik, main lagi?” bu Warni seolah ingin menabuh genderang perang.
“Emut saja tu permen! Nanti tangkainya menyangkut di tenggorokan kalau Ibuk berkicau terus!” Nelli memukul pelan lengan bu Warni.
“Adik?!” layaknya anak kecil yang memiliki keingintahuan tinggi, enggan berhenti sebelum pertanyaannya di jawab. Bu Warni mengguncang paha putrinya.
“Ayu belum tahu, Buk. Mas Wisnu tidak ada bilang. Mungkin takkan lagi main ke rumah kita, dia sibuk bekerja.” Dahayu menggeser lembut tangan ibunya.
Wanita yang sedang sakit mental itu mengangguk-angguk, seolah paham, tapi sedetik kemudian kembali melontarkan pernyataan asal yang berhasil menurunkan suhu dalam mobil.
“Biar bisa menikah dengan Adik, ya?”
Alih-alih menjawab pertanyaan ibunya, Dahayu menatap sengit sisi wajah sang sahabat yang sengaja memandang pemandangan diluar, seolah sedang menikmati menatap keindahan danau Toba.
“Teruslah kau cekoki Ibuk dengan pemahaman dewasa yang berakhir buat kita kewalahan menjawabnya.”
“Nelli!” Dahayu menggeram, mencubit pelan pinggang sahabatnya.
“Jangan ganggu, Yu! Aku sedang mencari kembarannya duda Bondan. Kemana pulak perginya para kawanan Lembu, biasa mereka makan rumput di bawah pohon sawit tua itu!” Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk jendela.
Bondan yang biasanya akan selalu menyambar kala diajak debat, kini pura-pura tidur. ‘Habislah awak, nenek Warni ini memang tak bisa dijaga ucapannya. Padahal sudah di sogok jajan puluhan ribu, tetap saja bahas si Wisnu! Azab kali lah!’
“Adik jawab!” Paha putrinya dia pukul-pukul pelan.
“Iya, Buk.”
Bu Warni langsung antusias, matanya berbinar cerah, permen kaki dikeluarkan dari mulut. “Nanti ada ning nang ning gong ya, Dik?”
Yang dimaksud bu Warni adalah; musik temu manten. Dia sering melihat acara pertemuan kedua mempelai pengantin yang menggunakan adat Jawa.
“Iya, Buk.”
Tanggapan pasrah Dahayu, berhasil menambah panas hati seseorang.
Sisa perjalanan diisi oleh kebisuan. Masing-masing sibuk dengan pemikirannya sendiri – hanya terdengar jari bu Warni yang mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil.
.
.
Mobil mewah dan cuma ada satu yang memiliki di wilayah perkebunan itu – memasuki halaman parkir khusus berada disamping bangunan rumah sakit.
Randu mematikan mesin, dia bingung harus bagaimana, sementara suasana masih secanggung tadi.
“Keluarlah lebih dulu!” titah Amran, nada suaranya terdengar rendah, tidak ingin dibantah.
"Baik-baik! Ayo Dek! Kita periksa kandungan, siapa tahu sudah ada telur kecebong Abang yang berhasil melewati samudera menuju rahim mu itu!” Tangannya menarik rambut di gerai.
“Akh! Ampun Nelli, ampun Sayang!”
Bondan berteriak kala rambut kaku seperti sapu ijuk miliknya, dijambak kuat oleh Nelli.
Nelli mengibaskan tangan, helaian rambut tercabut hingga akarnya ikut berguguran. Kemudian dia keluar, memutari mobil dan membuka pintu dimana bu Warni duduk.
“Ayo keluar dulu, Buk! Itu ada penjual balon, mau beli nggak?”
Tanpa ditanya dua kali, bu Warni langsung keluar. Plastik jajanannya diberikan ke Dahayu.
Bondan pun keluar dengan cara memajukan bangku yang tadi diduduki oleh bu Warni. Randu sudah lebih dulu melangkah menjauhi mobil.
Tinggallah Dahayu dan juga Amran. Pria itu membuka seat belt – lalu kaki jenjangnya melewati bagian tengah mobil dan kemudian dia duduk tepat di samping wanita yang enggan menatap dirinya.
“Apa tak ada yang ingin kau katakan, Dahayu?” tanyanya menatap sisi wajah sang istri.
“Tak ada.”
“Siapa Wisnu bagimu?” pada akhirnya dia tidak dapat menahan pertanyaan yang sudah bercokol di hatinya selama beberapa hari ini.
“Apa hak mu bertanya seperti itu, Tuan Amran?” ia meniru bagaimana Bondan dan juga Randu – memanggil pria disampingnya ini.
“Saya suamimu, kalau kau lupa!”
“Hanya suami sementara bukan?” tantangnya, menatap berani netra hitam yang wajahnya terlihat tidak ramah.
“Jangan mengalihkan pertanyaan! Siapa Wisnu bagimu?!” ulangnya menekankan setiap kata.
“Kalau saya enggan memberi tahu, Anda mau apa?”
“Kau istri saya! Istri Amran Tabariq! Tanpa dipinta, diperingatkan – seharusnya dirimu paham akan batasan berinteraksi dengan seorang pria,” napasnya terdengar kasar.
“Anda berbicara tentang batasan? Lantas ini apa? Bukankah jelas tertulis kalau saya tidak boleh mencampuri urusan pribadi Anda. Saat di luar sana – wajib berpura-pura tak mengenalmu dan nyonya Masira. Tugas saya cuma mengandung, melahirkan, lalu pergi jauh. Jadi tolong kerjasamanya, Tuan! Jangan berperilaku seakan-akan Anda adalah seorang suami sungguhan, aslinya pernikahan kita cuma kedok agar terhindar dari perzinahan!” Dayu tetap gentar, sedikitpun netranya tidak bergetar.
Amran kehilangan kata-kata. Jelas dia kalah telak bila membawa tentang isi surat perjanjian yang dibuat oleh istri pertamanya dengan Bandi. Sialnya Dahayu membaca kertas bertinta hitam itu, yang sengaja diletakkan oleh Masira di atas meja rias, sebelum akad nikah dilaksanakan.
“Tetap saja selama kau masih berstatus seorang istri, wajib mematuhi peraturan! Saya lah sang kepala keluarga. Imam mu, Dahayu!” ia keukeh ingin menaklukkan wanita keras kepala ini.
“Jangan mempersulit diri sendiri, Tuan! Apa yang Anda inginkan adalah hal terlucu yang pernah saya dengar. Ingin dipatuhi, dihormati, diperlakukan bak suami asli, tapi diri sendiri saja tak tahu apa itu konsep poligami. Ayolah, mari sama-sama sadar diri – bisa jadi benihmu sudah ada disini, maka selesai sudah tugasmu dalam membuahi. Jadi, seharusnya Anda pun tak perlu melakukan pendekatan sejauh ini, atau apa sudah rasa disini?” Tangan di atas perut berpindah ke atas dadanya sendiri.
“Satu hal yang perlu Anda tahu, Tuan! Saya tidak berminat menjadi istri sungguhan! Terlebih bila harus berbagi dan bersaing demi memperebutkan sejumput perhatian. Bila telah tumbuh secuil rasa dihati mu, matikan lah! Jangan serakah jadi seorang pria, mungkin Anda memang berharta – bisa dengan mudah membeli harga diri seorang wanita. Namun, ada satu hal yang tak bisa Anda beli yakni, Cinta saya.”
Dayu membuka pintu mobil, kakinya menjejak paving blok, tanpa menutup pintu – dia berjalan tenang dengan dagu terangkat.
"Sialan!"
Bugh!
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍