‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05 : Mirip papan penggilas
Amran berjalan angkuh, sama sekali tidak terpengaruh oleh tatapan tajam Dahayu, begitu sampai tepat dihadapan sang istri kedua, ia mengambil sesuatu dari saku samping celananya, lalu meraih telapak tangan berkulit sedikit kasar. “Ini kartu kesehatan Ibuk. Gunakanlah saat kontrol ke rumah sakit!”
“Tak perlu, saya sanggup menanggung biaya kesehatan Ibuku!” tekannya, berusaha melepaskan genggaman tangan mereka, bukannya terlepas, Amran semakin mengeratkan cengkraman nya.
“Saya tak suka mendengar kata penolakan. Ambillah!” ucapnya tegas, menatap tanpa berkedip pada iris mempesona Dahayu.
“Siapa Anda? Berani sekali ingin mengatur hidup saya!” Dayu menyentakkan tangannya sampai terlepas, lalu mundur satu langkah, kartu kesehatan tadi pun terjatuh di lantai.
Amran tersenyum samar, seperti dugaannya. Wanita dihadapannya ini sangatlah keras kepala. “Bila kau enggan menerimanya, jangan salahkan saya jika menutup akses pengobatan ibumu. Takkan ada dokter yang bersedia memeriksa wanita kesayanganmu itu.”
Dahayu mengepalkan tangan di sisi tubuh, bertambah saja daftar orang yang berniat berbuat semena-mena kepadanya dan sang ibu. Sebisa mungkin menahan emosi agar tidak meledak, memilih diam walaupun hatinya meradang.
“Bagus. Saya suka wanita penurut.” Amran menepuk lembut pucuk kepala Dahayu. “Saya akan pergi selama tiga hari, kau boleh tinggal di sini atau kembali ke rumah perkebunan, semua terserah padamu. Namun, ingat satu hal! Gerak-gerik mu selalu dalam pantauan. Jadi, harap jaga sikap jangan sampai melewati batas yang saya tentukan!”
Melihat sang istri masih bergeming dengan bibir terkatup rapat, enggan menatapnya, ia kembali berucap. “Randu akan menjelaskan apa saja yang boleh dan terlarang untukmu.”
Setelahnya, Amran mengambil kartu tadi, lalu mencondongkan badan kedepan, memerangkap Dahayu yang mencoba melengkungkan punggung sampai telapak tangannya memegang erat sisi meja rias, agar tidak bersentuhan.
Senyum samar terukir dibibir tebal sang pria kala tidak mendapati raut gugup apalagi salah tingkah si wanita, malah ia disuguhi tatapan berani sekaligus menantang.
"Saya suka aroma mawar ini," bisiknya tepat di pusara telinga sang istri, nyaris menempelkan pipi mereka. Sengaja memperlambat gerakan, ingin menguji sampai mana pertahanan istri keduanya.
Namun, Dahayu masih tetap mempertahankan ekspresi datar, sedikitpun tidak merespon apalagi terintimidasi, ia menatap tanpa kedip netra hitam Amran.
Sosok tinggi tegap itu menyudahi aksinya, kembali berdiri tegak, tanpa kata berbalik badan dan keluar dari sana.
Dayahu mendengus, menatap pintu yang tertutup rapat, baru saja ia hendak melepaskan kalung mahar, daun pintu kembali disentak kuat.
“Baguslah kalau kau tahu diri. Wanita miskin seperti mu ini memang tak pantas mengenakan barang mewah, cocoknya menggunakan emas imitasi.” Masira berdecak, berjalan mendekati sang madu.
“Hei!” Ia sentak lengan Dahayu saat wanita itu tetap tenang, enggan menanggapi dirinya. “Kau tak tuli ‘kan?!”
Dahayu tidak jadi melepaskan kalungnya, ia memiringkan posisi badan agar berhadapan dengan wanita bermulut pedas dan emosian. “Bila hatimu terbakar api cemburu, seharusnya yang kau lakukan memadamkan nya, bukan malah terus menerus mencari perkara denganku! Coba dirimu bayangkan! Bagaimana jadinya kalau sampai aku terpancing lalu memilih menjadi wanita murahan sungguhan, sudah siapkah kau bersaing denganku?”
Netra Masira membulat sempurna, emosinya nyaris mencapai ubun-ubun, menelisik tubuh saingannya. “Cuih! Sosok layaknya gembel seperti ini, berlagak ingin menggoda suamiku, mimpi kau!”
Dahayu mundur sampai bokongnya bersentuhan dengan meja rias, menatap Masira dari ujung rambut sampai kaki. “Bila dibandingkan dengan mu, tentu tubuh ku lebih berisi. Ukuran dada kita pun jauh berbeda – dapat ku tebak bila size bra mu hanya 32 B sedangkan milikku 34 C. Bokong mu pun seperti papan penggilas baju, lurus tanpa lekukan. Kau lihat ini!”
Dayu merubah posisi menjadi setengah badan menghadap cermin, lalu menepuk bokongnya sendiri. “Dapat kau dengar bukan? Bila bunyinya bernada, sudah tentu empuk sampai tanganku membal, bukan seperti suara memukul batu.”
Kemudian ia kembali menghadap Masira yang wajahnya memerah menahan amarah. “Dengan perbedaan terpampang nyata seperti itu, bukan tak mungkin kan … bila suami kita tergoda?”
“Dasar sinting!” Masira kehabisan kata-kata, ia menghentakkan kakinya, lalu berbalik berjalan cepat keluar kamar.
Tanpa mereka ketahui, bila perdebatan sengit itu di dengar dan dilihat Amran melalui cctv tersembunyi yang sengaja di pasang pada kamar tamu.
Sedangkan Bondan dan Randu, kebagian menjadi pendengar pertengkaran tanpa bisa menonton layar laptop sang tuan, saling menampilkan ekspresi berbeda.
"Apa pulak tadi itu? Sampai-sampai kutang pun ikut dihadirkan, dah macam saksi persidangan saja." Bondan menggelengkan kepala, berkata begitu lirih, takut sang tuan yang duduk di kursi kebesarannya mendengar.
“Tak ku sangka bila Nyonya kedua berlidah tajam. Tak sabar lah aku mau nengok mereka adu otot. Ayok kita taruhan! Siapa yang menang? Aku pegang nyonya Dahayu,” sambungnya, sikunya sedikit menyenggol lengan Randu. Mereka berdiri berjarak dari meja kerja.
“Bah! Payah kali kau lah. Sesekali coba dirimu perlihatkan ekspresi lain, jangan macam boneka santet terus!” Mulutnya terus menggerutu ketika mendapati wajah datar temannya, Randu.
"Randu."
"Ya, Tuan." Ia maju mendekati meja atasannya.
"Apa si tua bangka itu sudah memasukkan berkas perceraiannya?" Amran menutup laptop.
"Belum, Tuan," jawabnya seraya menunduk.
Rahang Amran mengetat, suaranya begitu dingin nan rendah. "Dasar sampah!"
***
"Pak, sebetulnya Dayu sudah menikah belum sih?" tanya Fiya, anak tiri Bandi.
"Entahlah, tapi pihak Pak Bondan sudah meminta surat kuasa peralihan wali nikah, apa mungkin Dahayu telah resmi dipersunting olehnya ya?" ia balik bertanya.
"Aneh kali ya Pak, walaupun kita enggan datang, bukan berarti tak ingin mengetahui tentang perkawinan itu," sungut Fiya, mereka sedang duduk di ruang tamu.
"Halla, tak usah mencari tahu! Buang-buang waktu dan menambah beban pikiran saja! Yang terpenting, kita telah mendapatkan ruko di pajak dan setiap bulannya takkan lagi direcoki Dayu beserta ibuk gila nya itu." Ijem meletakkan sepiring pisang goreng di atas meja.
"Mamak benar. Malas kali ku tengoknya, apalagi melihat wajah sombong Dayu, pengen rasanya ku ludahi. Sedikitpun ia tak ada hormatnya, padahal aku lebih tua darinya," gerutu Fiya.
"Sudahlah!" Bandi berkata acuh tak acuh, ia sedang mengunyah pisang goreng.
"Bang, kapan kau mau memasukkan berkas perceraian ke pengadilan agama?" Ijem bertanya seraya menyeruput kopinya.
"Pikir nanti lah, sebetulnya aku enggan menceraikan Warni. Kita jadi kehilangan tambahan jatah sembako dan kegunaan kartu kesehatan khusus untuknya. Sayang sekali rasanya, uang tunjangan per bulannya harus terlepas dari genggaman," mimiknya terlihat begitu kesal, tapi ancaman sang anak kandung tak bisa dianggap remeh. Ia paham betul bila Dahayu sangat keras kepala.
"Bagaimana kalau kita manipulasi, Pak?" Fiya menegakkan punggung, menatap antusias sang ayah tiri.
"Caranya ...?"
.
.
Bersambung.