Saquel dari Novel "Janda untuk om Duda"
Semenjak mamanya menikah dengan tuan muda Danendra, perlahan kehidupan Bella mulai berubah. Dari Bella yang tidak memiliki ayah, dia menemukan Alvaro, sosok ayah sambungnya yang menyayangi dirinya selayaknya anak kandungnya sendiri.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, sebuah insiden membuat semua berbalik membencinya. Bahkan mama kandungnya ikut mengabaikan dan mengucilkan Bella, seolah keberadaannya tidak pernah berarti.
Di tengah rasa sepi yang mendalam takdir mempertemukan kembali dengan Rifky Prasetya , dokter muda sekaligus teman masa kecil Bella yang diam-diam masih menyimpan rasa sayang untuknya. Bersama Rifky, Bella merasakan arti dicintai dan di lindungi.
Namun, apakah cinta masa lalu mampu menyembuhkan luka keluarga yang begitu dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Suasana di kediaman Danendra tampak ramai, di penuhi suara tawa keluarga yang sedang berkumpul. Kedua orang tua Shaka yang sudah kembali pun ikut meramaikan suasana. Mereka sedang membahas acara ulang tahun Naka yang sebentar lagi akan di selenggarakan sebentar lagi, hanya saja Naka tidak setuju.
“Pa, aku sudah dewasa, tidak perlu dirayakan lagi,” protes Naka.
Oma Julia, yang duduk di samping suaminya, tersenyum lembut sambil menggelengkan kepala. “Tidak bisa, Naka. Oma sudah menyewa tempat khusus untuk ulang tahunmu. Ini bukan sekadar perayaan, tapi momen untuk kita semua berkumpul dan mengingat betapa berartinya kamu bagi keluarga.”
Naka menghela napas, tubuhnya sedikit melemas. Mau seberapa kuat pun dia menolak dia tidak akan menang melawan omanya.
"Baiklah," putus Naka akhirnya.
Suasana di ruangan mewah itu mendadak pecah oleh tawa kecil dari beberapa orang yang duduk mengelilingi meja. Namun, tawa itu segera terhenti saat suara Maureen, gadis remaja berambut ikal yang sejak tadi diam, tiba-tiba memecah keheningan.
"Apakah kak Bella juga diundang? Kalau iya, aku tidak mau ikut," tanya Maureen sambil mengerucutkan bibirnya manja.
Arumi, wanita paruh baya yang selalu memanjakan putrinya itu, menoleh, lalu mengusap lembut rambut Maureen penuh sayang "Tidak sayang, mama takut dia akan merusak acaranya" jawab Arumi, yang masih membenci Bella, dia ingin putrinya itu hadir di acara ulang tahun putra sambungnya.
Kairen yang mendengar jawaban mamanya, menatap tajam ke arah mereka berdua. Wajahnya yang biasanya tenang kini memerah, dadanya berdebar kencang. Dengan suara yang bergetar tapi dipaksakan tegas, ia angkat bicara, "Kenapa tidak di undang? Dia kakakku, anak kandungmu sendiri ma. Kamu yang melahirkan dia kedunia ini"
Kairen berdiri dengan gerakan tiba-tiba, tangan terkepal di samping tubuhnya, matanya menatap penuh perlawanan. Keraguan dan kemarahan bercampur dalam dirinya, seolah ia menjadi benteng terakhir yang harus membela kakaknya dari pengucilan yang tidak adil.
Sementara Arumi masih tersenyum, tapi ada kilatan dingin di balik tatapannya yang lembut itu. Maureen menggenggam tangan ibunya erat-erat, menunggu bagaimana keputusan akan diambil selanjutnya.
Alvaro segera berdiri, wajahnya memerah penuh kemarahan. “Diam kamu, Kairen! Tidak seharusnya kamu bicara seperti itu pada mamamu!” bentaknya dengan suara kasar, tangannya mengepal di samping tubuh seolah menahan gelombang emosi yang ingin meledak.
Kairen malah membalas dengan nada menantang, “Kenapa? yang aku katakan benar" ucap Kairen.
Oma Julia melangkah maju, bibirnya menyunggingkan senyum sinis. “Dia hanya anak pembawa sial, Oma takut dia akan mencelakai kita semua. Sejak kecelakaan itu, hidup kita hancur. Kalau saja dia tidak ada dia, mungkin semuanya akan baik-baik saja.”
Mata Kairen membelalak, tapi bukan karena takut. Ia mengangkat dagunya dengan tegas, menunjuk ke arah Mureen yang berdiri terpaku, wajahnya pucat pasi. “Bukan kak Bella yang pembawa sial! Tapi dia…” suaranya bergetar, menahan amarah dan kesedihan yang membuncah. “Kecelakaan itu bukan hanya kesalahan kak Bella, tapi juga karena kecerobohan Mureen, dan juga kelalaian mama sendiri yang tidak bisa menjaga anak-anaknya”
Mureen menunduk, bibirnya bergetar menahan tangis, dia memeluk mamanya dan terisak lirih.
Kairen menarik napas dalam-dalam, menahan air matanya yang hampir tumpah. “Kalian semua terlalu cepat menyalahkan kak Bella. Sebenarnya, yang harus kalian lihat adalah kenyataan yang pahit, bukan hanya mencari kambing hitam.”
"Keluarga ini juga tidak hancur setelah kejadian itu. Kalian masih bisa tertawa, masih bisa makan enak, tempat tinggal yang layak, dan kehidupan mewah lainnya"
Arumi yang sejak tadi diam, menunduk dalam-dalam, wajahnya penuh penyesalan dan kelelahan. Tak ada kata yang bisa menghapus luka yang sudah terlanjur membekas di hati setiap orang di ruangan itu. Hanya keheningan yang mengisi ruang, seolah semua menunggu sesuatu yang tak kunjung datang: sebuah pengakuan atau mungkin sebuah pengampunan.
Kairen menatap tajam ke arah keluarganya satu persatu, matanya yang berkaca-kaca berusaha menahan amarah dan kecewa yang menggunung di dada. “Sekarang aku tanya, andai bukan kak Bella yang berada di posisi itu, mungkin aku, kak Naka, atau kak Shaka. Akankah kalian juga akan membencinya? Akankah kalian juga akan mengucilkannya sama seperti kalian mengucilkan kak Bella?” suaranya bergetar, tapi penuh dengan kesungguhan yang sulit diabaikan.
Opa Jason menghela napas panjang, bahunya turun perlahan seolah menanggung beban dunia. Wajahnya terlihat lelah, namun sorot matanya tetap lembut dan penuh keteguhan. “Kairen, pada dasarnya semua manusia pasti punya kesalahan. Sebesar apapun masalah yang kalian lakukan, kami sebagai keluarga pasti akan memaafkan kalian, akan membela kalian dari kejamnya dunia, meski nyawa kami jadi taruhannya,” jawab opa Jason dengan suara yang mantap.
Kairen tertawa lepas, suaranya yang cerah berbalut sinisme memenuhi ruangan itu. Mata semua orang yang ada di sana tertuju padanya dengan ekspresi campur aduk, bingung, marah, dan sedikit terpana. Ia berdiri tegak, bahunya santai, seolah tawa itu adalah senjata sekaligus tameng dari semua ketegangan yang terjadi.
"Jadi hanya karena kak Bella bukan keturunan kalian, makanya kalian tidak bisa memaafkannya?" ucap Kairen dengan nada penuh sindiran, sambil menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya menampilkan campuran kecewa dan jijik, seolah hatinya muak dengan sikap keluarganya yang begitu sempit dan egois.
"Kalian hanya kumpulan orang-orang munafik yang menjijikan," lanjut Kairen dengan suara yang mulai meninggi, mata tajamnya menembus satu per satu orang-orang yang duduk di hadapannya. Ia melangkah mundur perlahan, seolah menjauh dari kebohongan dan kepalsuan yang selama ini tunjukkan kepadanya.
Tanpa menunggu balasan, Kairen berbalik dan pergi meninggalkan ruangan itu dengan langkah pasti. Suara pintu yang tertutup menandai kepergiannya, meninggalkan keheningan yang menggantung berat dan tatapan penuh pertanyaan dari keluarganya yang kini tersisa, terdiam dalam kebingungan dan rasa bersalah yang belum tentu mereka sadari.
Arumi hendak melangkah menyusul Kairen, tetapi gerakannya tertahan oleh Maureen yang sejak tadi memeluk tubuhnya.
"Maafkan Maureen ma, karena kecerobohan Maureen semuanya jadi seperti ini" ucap Maureen sambil menangis.
"Itu semua bukan salahmu Maureen, Bella saja yang bodoh, tidak bisa berfikir" sahut Audy orang tua Shaka. "Kamu tidak usah dengarkan ucapan Kaireen, dia sudah di cuci otak sama kakak tirimu itu" lanjutnya.
"Benar Maureen, semua yang terjadi bukan salahmu, semua iti salah anak pembawa sial itu" ucap Oma Julia.
Arumi menghela nafas dalam, dia merasa sakit mendengar semua hinaan yang di lontarkan kepada putrinya, tetapi dia tidak bisa apa-apa. Dia tidak bisa membela putrinya di hadapan mereka semua.
"Sudah sayang, jangan sedih. Kaireen tidak benar-benar menyalahkan mu, saat ini dia sedan emosi" ucap Alvaro mencoba menenangkan putrinya.
up lagi thor