Nadin sangat mencintai Andrian. Seorang Dokter tampan yang memiliki sejuta pesona. Namun, ia juga tahu. Bahwa Andrian adalah seorang duda beranak satu.
— Adult 18+
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon auzuzah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 32
Andrian tersentak bangun saat suara gaduh dari luar. menyadarkan dirinya dari alam mimpi. Tangannya yang bertengger pada setir mobil, dengan lemas membuka pintu dengan gerakan yang malas. Matanya masih menyipit, menyesuaikan dengan cahaya matahari di siang bolong.
Plakk..
Baru saja pintu terbuka, pipinya sudah mendapatkan tamparan ringan dari sang ibu. “Mama apa-apan sih. ” Andrian menggeram tak suka, saat ibunya mengguncang-guncangkan pundak nya dengan semangat.
“Kamu yang apa-apaan Andrian. ”
“Udah dari pagi, kamu enggak keluar-keluar dari mobil. Mama kirain enggak ada orang di dalam mobil. ”
Mata Andrian langsung membulat, ia refleks memandang kanan kirinya, yang ternyata kosong. Tangannya mengepal sesuai nalurinya. Lalu ia pukul keningnya berkali-kali guna menyadarkan dirinya yang sedang berada di ambang kebingungan.
“Nadin?! ” langsung saja Andrian terlonjak panik. Kepal nya ia tengokan ke belakang dengan gerakan asal. Ia menyusuri seisi mobil dengan mata nya. Namun nihil, tak ada Nadin yang tadi ia sedang cium.
Riyanti mengerutkan keningnya bingung, ia sempat terdiam menyaksikan anaknya yang tampak ling-lung. Namun, menyadari ada suatu hal yang ganjal. Langsung saja Riyanti, meraih rahang tegas anak nya yang di tumbuhi bulu-bulu kasar. “Kamu kenapa Andrian?! engga ada Nadin disini, kamu sehat kan?? ” khawatir Riyanti menatap dalam Andrian.
Andrian meneguk ludahnya kasar, bibirnya terkatup rapat menyadari bahwa Nadin hanyalah ilusi semata. Riyanti lepaskan rengkuhannya pada rahang Andrian, saat anaknya itu tampak pucat.
“Andrian? kamu sehat kan nak?! ”
Andrian tak membalas ucapan Riyanti, matanya menatap lurus keadaan dengan nanar. “Ma, Nadin engga ada ma. ” Andrian menghembuskan nafasnya lelah, keningnya mendarat mulus pada setir mobil. Matanya terpejam, menahan pening yang melanda pikirannya.
Riyanti menatap iba sang anak, yang sudah seminggu ini sangatlah tidak bisa tenang. Penampilan Andrian saja yang biasanya rapih. Kini tampak sekali tak terurus. Cambang anaknya semakin nampak karena tak di cukur. Lalu rambut Andrian yang tampak acak-acakan, tak seperti biasanya yang selalu di tata rapih dengan pomade maskulin.
“Nadin pasti ketemu sayang... ” rayu Riyanti mengusap rambut anak nya dengan lembut. “Pak Jarwo baru aja, nemuin alamat Nadin.. ” lanjut Riyanti lembut.
Sontak wajah Andrian yang menunduk frustasi pada stir mobil. Kini terangkat, menatap penuh kearah sang ibu. “Alamat Nadin?! alamat Nadin ketemu?! ” ulang Andrian dengan binar mata yang susah sekali di artikan. Riyanti mengangguk haru, melihat anaknya yang sangat berantakan.
“Mama pikir kamu udah tau, makanya kamu engga keliatan batang hidungnya dari pagi. ” jelas Riyanti menggeleng-gelengkan wajah nya tak percaya. Andrian tersenyum culas, saat secercik harapan sedang berpihak padanya.
Ia mengingat kembali mimpinya, yang tak jauh berbeda dengan keadaannya sekarang. Di hari yang sama, di mimpinya Andrian mendapatkan alamat Nadin. Dan di hari yang sama juga, alamat Nadin memang di temukan.
Riyanti tersenyum hangat. Ia mundur beberapa langkah, lalu ia tutup kembali pintu mobil. Saat setelah ia mengusap rambut Andrian. Andrian menggenggam erat, ujung kertas yang diberikan ibunya barusan. Senyum bahagia terbit dari bibirnya. Walau belum sepenuhnya, kebahagiaan itu datang.
.....................
Andrian memarkirkan mobilnya di depan rumah makan. Maaf, kedai maksudnya. Matanya terbuka penuh semangat, saat kedai yang sudah ada di hadapannya. Sangat percis dengan apa yang ia lihat di alam mimpinya.
Yang berbeda hanyalah, Andrian memakirkan mobilnya pada tempat khusus. Bukan sembarangan tempat seperti apa yang ia lakukan di dalam mimpinya. Jantung Andrian berdegup begitu kencang saat langkah kakinya sudah melangkah masuk. Ke dalam pintu utama kedai, yang berbahan dasar kaca.
Suasana nya sangat sepi dan juga sunyi, ia mengelilingi sudut-sudut ruangan dengan matanya. Desain interior dibuat sangat hijau dan juga antik, banyak perabotan yang tampak mengkilat di sekitarnya. Andrian langkahkan, kakinya menuju kasir yang berada di samping, beberapa jarak meter darinya.
“Selamat siang tuan. Ada yang bisa saya bantu? ” tanya kasir wanita itu dengan senyum di bibirnya. Andrian langsung menganggukan kepalanya.
“Saya mencari perempuan bernama Nadin. ” jawah Andrian tegas. Kasir itu menyeringitkan keningnya heran.
“Nadin? siapa ya ? ”
Andrian tampak tak puas dengan balasan dari kasir itu. Ia tampak berpikir sejenak, hingga akalnya meminta agar Andrian menunjukkan foto Nadin kepada sang kasir. Ia langsung saja, mengambil ponselnya dari saku. Lalu ia scroll galeri, yang hanya terdapati foto jepretan asal dari anaknya, Azka.
Andrian menghembuskan nafas lega, saat ada foto Nadin. Yang ia ambil saat setelah pertemuan Nadin dengan keluarganya. Andrian layangkan tangannya, menunjukkan foto yang terdapat pada galerinya. Mata Andrian memincing saat, sang kasir tampak tersenyum.
“Ohh Ramadhani. Inimah pacarnya mas Radit tuan. ”
Kasir itu tampak dengan semangat menjawab nya. “Hah?! ” sentak Andrian terkejut. Namun, nampaknya kasir itu tak menydari wajah Andrian yang sudah merah padam menahan amarah.
“Iya tuan, desas desus nya sih, mereka berdua pacaran. Orang deket banget, kalo layanin tamu aja mas Radit suka bantuin Ramadhani. Terus enggak jarang juga, mereka kalo makan siang itu selalu bareng. ”
Andrian mengepalkan kedua tangannya. Ponselnya ia cengkram saar kasir itu dengan semangat, menceritakan kebiasaan baru Nadin di kedai itu barusan. Andrian mengatupkan bibirnya rapat, bersamaan dengan rahangnya yang mengeras.
“Naahh! Itu mas Radit sama Ramadhani. ”
Sontak kedua orang yang merasa terpanggil, langsung saja menoleh. Posisi mereka menatap Andrian yang memunggungi. Andrian langsung saja memutar tubuhnya dengan cepat, nafasnya tercekat saat perempuan yang muncul dalam mimpinya tadi. Benar-benar ada dalam penglihatannya sekarang.
“Nadin. ”
Ujar Andrian dengan nafas beratnya. Andrian melangkah mendekat, namun Nadin semakin memundurkan posisinya. Radit yang berada di samping Nadin, hanya memfokuskan dirinya dengan situasi yang sangat tegang.
Nadin gelagapan, tubuhnya bergetar dengan kedua tangan yang meremas ujung rok selututnya. “Nadin.. ” seru Andrian melemah. Saat melihat ketidak berdayaan Nadin, lewat matanya.
Nadin langsung membalikkan tubuh nya tanpa instruksi. Kakinya melangkah cepat, meninggalkan Andrian yang berusaha menggapai tubuhnya.
Nadin berlari.
Nadin meninggalkan kedai dengan seribu langkah kakinya yang berlari cepat. Andrian terus saja mengejar Nadin, yang berusaha menghindar darinya. Bibir Nadin bergetar menahan isakan. Saat pria yang sudah menyakiti nya berkali-kali, kini menampakkan wajahnya lagi.
“Engga!! Nadin, enggak mau...” Nadin menggeleng-gelengkan wajahnya enggan. Ia menggigit bibirnya saat isakan itu mulai terdengar. Tubuhnya meremang, saat langkah kakinya semakin melemas.
Tubuh Nadin meluruh jatuh, punggungnya bergetar dengan wajah memerah takut. Bulir- bulir kristal sudah turun menggenang tanpa persiapan apapun. Nadin menundukkan kepalanya dalam, saat merasakan tubuhnya yang terduduk lemas. Di dekap erat oleh pria yang sangat menakutkan untuknya, sekarang.
“Jangan dokter hiks. ”
“Nadin engga m-mauu... ”
Nadin meronta dengan tubuhnya yang lemas. Andrian mendekap erat Nadin, saat perempuan itu enggan untuk menatapnya. Andrian ikut terduduk di belakang Nadin, mengapit kedua sisi kaki gadis itu dengan penuh rasa bersalah yang membuncah. Mata Andrian tanpa sadar sudah berkaca-kaca. Dadanya merasa sesak. Melihat perempuan yang sangat ia cintai tampak sangat takut melihatnya. Bagaikan melihat monster yang sangat perempuan itu takuti.