Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .
Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.
Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.
Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 29 Aku Adalah Bukti yang Masih Bertahan
Langit sore itu kelabu. Bukan karena hujan, tapi karena rasa yang tak lagi bisa ditahan. Aira berdiri di depan cermin kecil di dalam Rumah Cahaya Aira tempat yang kini menjadi pelindung bagi jiwa-jiwa yang pernah patah, termasuk dirinya.
Matanya sembab, bukan karena kelemahan, tapi karena keberanian yang akhirnya ia lepaskan.
Suara notifikasi ponsel :
"Kak Aira... aku butuh bantuanmu .
Aku juga ingin lepas, seperti kakak.. "
DM dari akun tak dikenal
Aira menatap pesan itu lama. Beberapa waktu lalu, ia tak percaya bisa menjadi seseorang yang dicari untuk dimintai pertolongan.
Ia membalas singkat,
“Aku di sini. Kamu nggak sendiri.”
Beberapa hari setelah konfrontasi dengan keluarga Gibran, Aira menerima surat dari pengadilan. akhirnya sidang lanjutan kembali di buka minggu depan.
Gibran telah ditetapkan sebagai tersangka.
Namun kedamaian tak benar-benar datang.
Malam itu, seseorang mengetuk pintu Rumah Cahaya Aira dengan keras. Para penghuni terkejut, dan Aira berjalan cepat ke arah pintu utama.
Suara di balik pintu berteriak:
“Kau pikir bisa hancurkan anakku semudah itu?! Kau perempuan murahan, dasar pencari simpati!”
Itu suara ibu Gibran.
Aira berdiri tenang di ambang pintu. Napasnya naik turun, traumanya sempat muncul lagi. tapi kini ia tak sendiri. Salah satu penghuni rumah, Mira, ikut berdiri di sampingnya.
“Bu, tempat ini bukan untuk ancaman. Kalau ibu tak ingin kami laporkan, silakan pergi.”
Ibu Gibran mengumpat dan akhirnya mundur, tapi Aira sudah merekam semuanya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu rumah yang
telah menyelamatkan banyak perempuan termasuk dirinya.
Keesokan harinya, Aira hadir sebagai pembicara dalam forum perempuan penyintas. Di sana, ia bertemu Nadya,
“Aku pikir kita nggak akan pernah bisa selamat, Kak. Tapi kamu buktiin sendiri, ternyata kita bisa. Terima kasih karena kamu bertahan.”
Aira menahan tangis. Tangannya menggenggam tangan Nadya erat.
“Aku bertahan bukan karena kuat, tapi karena aku nggak mau mati dalam diam.”
Aira berbicara di depan publik :
“Saya bukan sekadar penyintas. Saya saksi hidup bagaimana hukum dan masyarakat kadang buta terhadap luka perempuan. Tapi hari ini, saya berdiri bukan untuk balas dendam. Saya berdiri untuk mereka yang belum bisa bicara.”
Komentar mengalir di media sosial lokal .
Banyak yang membela, banyak juga yang mencibir. Tapi Aira tak lagi peduli. Ia tahu, keberaniannya hari itu bukan hanya untuk dirinya. tapi untuk setiap perempuan yang pernah dipaksa diam.
Malam itu, Aira duduk sendirian di ruang depan Rumah Cahaya. Ia membuka buku harian, menulis:
“Luka tidak akan pernah hilang. Tapi keberanian untuk menghadapinya adalah cahaya yang tak pernah padam.”
Tak lama, notifikasi email masuk:
[Email masuk: Sidang Gibran dipercepat. Jadwal baru: besok pukul 09.00 WIB.]
Jantung Aira berdetak kencang.
Saat proses hukum Gibran . Aira harus menghadapi trauma lewat sidang, saksi, dan konfrontasi langsung.
karena Aira lagi-lagi tau kalau ini bukan sekadar tentang hukum, tapi tentang keberanian menghadapi masa lalu dalam bentuk yang paling menakutkan.
Tapi belum sempat ia menenangkan diri, suara ketukan terdengar dari arah pintu utama.
Tok… tok… tok.
Aira mendekat perlahan. Tidak ada suara. Tapi saat mengintip dari jendela kaca samping, tubuhnya menegang.
Seseorang berdiri di balik bayangan pagar. Wajahnya tertutup masker dan hoodie gelap. Tapi yang lebih mengejutkan—ada kilatan benda tajam di genggamannya.
tubuhnya menegang.
Seseorang berdiri di balik bayangan pagar. Wajahnya tertutup masker dan hoodie gelap. Tapi yang lebih mengejutkan.
ada kilatan benda tajam.
Siapa yang datang malam-malam ke Rumah Cahaya Aira?
Apakah itu Gibran yang kabur…
atau seseorang yang dikirim Gibran untuk membungkam Aira sebelum sidang lanjutan dimulai kembali besok?