Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Surat dari Masa Lalu
Laura menggeleng. Dia kembali menenggelamkan wajah pada kedua telapak tangan. Jika ketenangan yang dia inginkan ketika pergi ke Bali, sejujurnya untuk saat ini bukan hal itu yang didapat.
Ya, Laura tetap tidak merasa tenang dan aman di sana. Seperti ada lubang besar di hatinya. Kosong, tetapi Mikaila tidak tahu apa yang hilang.
"Baiklah, kamu istirahat dulu. Kita bicara lagi besok saat Pak Nathan pulang." Wulan akhirnya memutuskan untuk kelur dari sana.
Wulan melangkah mendekati pintu dan mulai pergi dari sana. Ketika pintu kamar sudah tertutup rapat, Laura kembali menoleh ke arah Leon. Dia tersenyum tipis.
Mengangkat lengan dan didaratkan pada puncak kepala sang putra. Ada rasa sakit di sana. Terlebih ketika mendengar igauan yang keluar dari bibir Leon.
"Papa Jo, ayo kejar Leon ...."
Suara itu terdengar lemah, pelan, tetapi bisa terdengar dengan oleh Laura. Mata Laura mendadak berkabut. Dia terisak karena merasa bersalah kepada putranya.
"Apa aku salah telah menjauhkan Leon dari ayah kandungnya?" gumam Laura.
Perempuan tersebut pada akhirnya naik ke atas ranjang. Dia memeluk tubuh mungil Leon dan terus mendaratkan ciuman ke puncak kepala sang putra. Laura menangis dalam diam.
"Maafkan Mama, Leon. Mama sudah egois sama kamu. Tapi, Mama tidak memiliki pilihan lain." Laura semakin menguatkan pelukannya kepada Kaiser.
Perempuan tersebut akhirnya terlelap dengan wajah yang banjir dengan air mata. Laura berharap besok saat membuka mata, semuanya akan baik-baik saja. Perempuan tersebut membiarkan malam memeluk dan menemaninya hingga hari berganti.
***
Sekarang Laura, Wulan, dan Nathan duduk di meja makan. Leon ada di ruang bermain bersama Ghea dan Ghina usai makan. Nathan menatap tajam sang adik yang kini menunduk sambil memainkan kuku-kukunya.
"Kamu nggak anggap aku ini masmu?" Suara Nathan terdengar begitu dingin dan mengintimidasi.
"Bukannya begitu, Mas. Aku ...."
Belum sempat Laura melanjurkan ucapannya, Nathan kini menyodorkan sebuah amplop merah muda ke depan Laura. Pupil matanya melebar seketika. Dia mengalihkan tatapan kepada Nathan.
"Mas ... kenapa ini bisa ada sama kamu?"
"Mendiang ibu yang menyimpannya. Ibu tidak pernah membukanya bahkan kami, tapi surat itu sudah terbuka ketika ditemukan. Sejauh ini aku juga hanya menyimpannya. Tak pernah memberikannya juga kepada Jordan yang hampir setiap hari datang merengek untuk menanyakan keberadaanmu." Nathan menyandarkan punggung pada kepala kursi.
Laura mengambil alih amplop itu. Menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Diusapnya permukaan kertas tersebut dengan hati yang hancur.
Rasa bersalah Laura kepada Leon semakin dalam. Ada sedikit cahaya yang masuk ke dalam pikirannya detik itu juga. Laura menyadari kalau sepertinya ada yang salah dengan kepingan masa lalunya.
"Aku tidak mau menampung seorang pelarian. Selesaikan masalahmu, Lau. Aku memberi kamu waktu satu bulan." Nathan mengacungkan telunjuk di depan wajahnya sendiri.
Laura mendongak, menatap sang kakak, kemudian mengangguk. Laura bergerak dan mulai melangkah masuk ke kamarnya. Perempuan tersebut menutup pintu, lantas menempelkan punggungnya pada benda tersebut.
Laura memeluk amplop tersebut dengan tubuh bergetar. Tangisnya pecah seketika. Dia memukuli dadanya yang terasa sesak.
Laura perlahan membuka amplop itu dalam kondisi menangis. Kertasnya mulai menguning. Bekas tetes air mata yang mengaburkan dan beberapa huruf masih ada di sana.
"Aku harus mulai dari mana untuk memperbaiki semuanya?"
Surat yang Laura tulis tujuh tahun lalu itu ternyata tak pernah sampai ke tangan Jordan. Laura ingat betul telah meminta salah satu sopir pribadinya untuk mengantarnya kepada Jordan. Namun nyatanya, hal itu tak pernah terjadi.
Laura menatap tulisannya sendiri itu. Dibacanya dalam hati yang penuh rasa sesak. Bibirnya gemetar beberapa kali.
"Jordan, jika surat ini sampai padamu, artinya aku sudah tidak lagi berada di dekatmu. Maaf karena memilih pergi, bukan karena aku membencimu, tapi karena aku harus melindungi sesuatu yang jauh lebih berharga dari kebahagiaan kita—anak kita ...."
Tangan Laura gemetar. Kepalanya menunduk dalam, seolah rasa bersalah yang bertahun-tahun dia kubur dalam-dalam kembali mencuat, menghantam dengan keras. Air mata tumpah tanpa henti. Akan tetapi, belum sempat Laura menyelesaikan isi surat itu, suara dari ruang tengah menggema.
“Leooon!” Teriakan Ghea terdengar panik.
Laura sontak terlonjak dan melempar amplop ke atas ranjang. Dia membuka pintu kamar dengan tergesa, langkah-langkahnya terhuyung-huyung saat menuju ruang tengah.
Leon tergeletak di lantai dengan tubuh lemas dan wajah pucat. Mata kecilnya terbuka sedikit, seolah mencoba bermain-main seperti biasa. Namun kali ini, napasnya tersengal nyata.
"Aku pingsan beneran kali ini, Ma," bisiknya lirih dengan senyum yang menyayat.
Panik langsung menyeruak di seisi rumah. Nathan berlari mengambil kunci mobil, sementara Wulan segera menggendong tubuh Kaiser. Laura gemetar, matanya tidak bisa berhenti menatap wajah sang anak.
"Sayang ... jangan tidur ya ... Leon kuat, Leon harus kuat!" Laura menangis keras, menggenggam tangan anaknya erat.
---
Sore hari itu rumah sakit kembali menjadi saksi ketakutan terdalam Laura. Leon masih dalam penanganan intensif. Dokter mengatakan kondisi fisiknya semakin memburuk.
Infeksi dalam paru-parunya belum sepenuhnya mereda, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah kondisi psikisnya. Anak itu tertekan.
"Mbak, Leon sering menyebut nama papanya," ujar salah satu perawat yang mengantar Laura ke ruang observasi.
Laura hanya mengangguk lemah. Duduk di bangku tunggu dengan mata bengkak, napasnya tak karuan. Di layar televisi rumah sakit yang tergantung di sudut ruang tunggu, mendadak muncul sebuah siaran langsung konferensi pers. Seorang wanita muda berjaket denim berdiri di hadapan kamera dengan wajah penuh tekanan.
"I-ivy?" gumam Laura kaget.
Wulan yang duduk di samping Laura langsung ikut menoleh. Ivy terlihat menunduk sebelum akhirnya bicara dengan suara yang sedikit bergetar.
"Saya ingin meminta maaf kepada publik, dan khususnya kepada Laura .... Aku menyebarkan foto skandal itu, benar. Tapi semua itu bukan sepenuhnya keinginanku," ujar Ivy lirih.
"Semua itu ... atas permintaan Leysha."
Sontak ruangan tunggu bergemuruh. Para pasien dan keluarga lain berbisik, beberapa menyebut nama Leysha dengan nada tak percaya. Laura terdiam, matanya terpaku pada layar.
Ivy melanjutkan, "Saat itu aku ditekan, dijanjikan proyek besar dan jabatan di perusahaan, juga sejumlah uang besar, asalkan aku mau mencoreng nama Laura. Semua kebohongan itu ... sekarang menghantui aku setiap malam."
Ivy mengeluarkan tisu, menyeka air matanya.
"Dan untuk Jordan, maaf karena aku menyakiti orang yang sangat kamu cintai. Aku tak berhak."
Siaran berakhir.
Laura tak bisa berkata apa-apa. Jantungnya terasa berat, namun ada rasa lega yang mengalir pelan. Kebenaran mulai muncul ke permukaan, bahkan jika harus disertai luka-luka baru.
Wulan meraih tangannya. “Lau, kamu lihat? Kebenaran pelan-pelan terungkap. Mungkin ini jalanmu buat kembali.”
Laura mengangguk, tetapi pikirannya tak bisa lepas dari suara igauan Leon semalam.
"Papa Jo, ayo kejar Leon ...." Kata-kata itu menghantam seperti palu godam.