Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehebohan
Melirik ke arah Emma yang kini duduk diam di sampingnya, setelah wanita itu meminta ikut.
"Em, kamu beneran hamil anaknya Reyhan?" tanya Reno dengan tiba-tiba.
"Tumben kamu nanya. Aku pikir dari kemarin kamu bodoh amat. Iya, aku emang hamil anaknya Reyhan. Mamamu sendiri yang bilang."
"Ya aku hanya ... penasaran. Tapi, kamu yakin itu anaknya Reyhan? Bukankah malam itu kita juga pernah melakukan—"
"Tidur bersama maksudmu? Ya. Kita melakukannya, Ren. Tapi ini bayinya Reyhan, bukan kamu."
"Seyakin itu?" Reno tersenyum sinis. "Atau ... itu cuma akal-akalan kamu bersama mamaku?"
Dengan sengaja Reno bertanya, padahal ia sudah mendengar semua pembicaraan Ny. Jonathan dengan Emma tentang kehamilan palsu.
"Ren, cukup. Aku minta ikut sama kamu itu karena di dalam rumah kalian ada Reyhan dengan Adelia. Rasanya ... kepalaku mendidih. Jadi, jangan cari masalah sekarang denganku, ok." Emma terlihat sangat kesal.
"Ok. Aku bakalan diam. Asalkan satu hal, Emma. Kalau memang kamu hamil, paksa dia untuk menikahimu kembali. Bukannya pernikahan kalian batal di Singapura? Keluargamu pasti tidak akan terima."
"Adelia bermain licik dengan wajah cengengnya itu, sampai pernikahanku batal. Tapi tidak lagi, Ren. Aku hanya perlu waktu. Walaupun sekarang Reyhan mengabaikan aku, tapi tidak untuk nanti."
"Aku akui keyakinanmu terlalu besar, Em. Ya ... semoga kamu mencapai semuanya."
"Lalu bagaimana denganmu? Tidak ingin Adelia kembali?"
"Entahlah, Emma. Aku belum kepikiran," Reno terdiam sambil mengalihkan pandangannya.
'Sifatmu tidak seindah wajahmu, Emma. Hampir saja aku terpikat dengan wanita yang tidak jauh beda sifat dengan Karin—mantan istriku. Tapi andaikan ... Adelia yang jadi istriku, pasti aku tidak perlu bercerai. Andaikan dulu aku tidak melukainya,' pikirnya sendiri.
---
Di sisi lain, Reyhan ingin berangkat kerja, tetapi Adelia juga ikut bersiap-siap.
Langkah Reyhan terhenti. "Loh, mau kerja juga? Del ... harusnya kamu istirahat dulu. Apalagi beberapa hari ini kamu lalui banyak hal. Pasti lelah, kan?"
"Tapi, aku baru masuk kerja. Masa iya ambil cuti?"
"Nggak apa-apa kan aku bosmu di sana, Del. Sudah sekarang mendingan kamu nyantai di rumah. Nanti malam aku janji, bawa kamu jalan-jalan sepuasnya."
"Beneran? Janji, ya?" Adelia terlihat girang.
"Janji. Dan kartu ini, buat kamu belanja sepuasnya. Selama aku kerja, kamu nggak bakalan bosan."
"Ok! Kamu hati-hati ya." Adelia tersenyum lebar saat Reyhan menjadi suami idaman pagi itu.
Reyhan mengangguk pelan. Meninggalkan Adelia tanpa lupa memberikan ciuman.
Suasana kantor Reyhan pagi itu terasa tegang. Para karyawan terheran saat seorang Emma dengan gaun merah menyala berjalan cepat di lorong. Wajahnya pucat namun sorot matanya menyala penuh emosi.
Ia berhenti di depan pintu ruangan Reyhan, lalu mendorongnya dengan keras hingga terbuka.
"Reyhan!" suara Emma menggema, membuat beberapa orang yang lewat melirik kaget.
Reyhan yang tengah duduk di balik meja kerjanya hanya mengangkat kepala sekilas. Sorot matanya tajam namun tak ada kemarahan di sana—hanya kelelahan.
"Emma? Kenapa tingkahmu begini?" tanyanya datar.
Emma melangkah masuk dengan gemetar. "Kamu bertanya begitu setelah semua yang terjadi antara kita? Kamu pikir aku bisa diam saja? Reyhan, aku hamil anakmu! Setelah kita pulang dari Singapura, kamu sadar mengabaikan aku?"
Reyhan terdiam sejenak. Tubuhnya menegang. Ia menatap Emma tajam, rahangnya mengeras. Ia bangkit bergegas menutup pintu ruangan.
"Kecilkan suaramu, Em. Sekantor bisa tahu rahasia kita," ucap pelan namun penuh tekanan.
"Biarkan mereka tahu kalau bosnya ini hanya bisa tidur seranjang dengan masa lalunya. Aku nggak main-main, Rey. Keluargaku sudah tahu, dan Papa sangat marah karena kamu membatalkan pernikahan kita secara sepihak di Singapura! Kamu pikir harga diri keluargaku bisa dibeli begitu saja?!" Emma mendekat, air matanya jatuh.
Reyhan menunduk, pikirannya bercampur aduk. Ia teringat momen-momen saat mereka berdua—saat ia, yang dilanda kekosongan, akhirnya menyerah pada kelemahan dan kembali ke pelukan Emma.
"Aku nggak pernah berniat menyakitimu, Emma." Suara Reyhan serak. "Tapi saat itu … aku salah. Aku nggak bisa menyangkal bahwa apa yang terjadi antara kita bukan hanya kesalahanmu. Aku juga bagian dari itu."
"Kalau begitu, buktikan kalau kamu mau bertanggung jawab!" Emma menangis.
"Kamu masih mencintaiku kan, Rey? Aku tahu kamu masih punya perasaan, itu sebabnya kita kembali seranjang bersama. Kamu nggak bisa terus-terusan berpura-pura bahagia dengan perempuan itu—istri yang bahkan keluargamu sendiri nggak pernah terima!"
Reyhan mendongak dengan mata merah. "Emma, jangan bicara tentang Adelia. Aku memang masih punya kenangan indah bersamamu, tapi hatiku sekarang lebih banyak untuk dia. Dia istriku."
"Lalu aku ini apa, Reyhan? Pemuas nafsumu? Apa aku hanya mainan di ranjang mu?" Emma meraih lengan Reyhan dengan erat.
"Kalau kamu nggak mau menikahiku, aku akan bunuh diri sekarang juga! Biar saja kamu melihat darah dari calon bayi kita mengalir."
Ia mengambil pisau kecil dari dalam tasnya, mengarahkannya ke perut yang masih datar.
"Emma! Jangan bodoh!" Reyhan terkejut, tapi sebelum sempat meraih Emma, pintu ruangan kembali terbuka.
Ny. Jonathan masuk dengan wajah panik. "Reyhan! Apa yang terjadi di sini? Orang-orang berkumpul di depan ruanganmu. Kalian tidak malu?"
"Mama, jangan ikut campur!" bentak Reyhan, matanya masih terpaku pada Emma. "Turunkan pisau itu, Emma! Aku mohon. Ini gila."
"Aku nggak akan turunin kalau kamu nggak janji menikahiku! Aku nggak bisa kembali ke keluargaku dengan wajah ini. Semua orang sudah tahu kita akan menikah, bahkan seisi kantor ini, Rey!" tangis Emma pecah.
Ny. Jonathan mendekat cepat, mencoba merebut pisau itu dari tangan Emma. "Emma, jangan lakukan ini! Dengarkan Mama!"
"Lepaskan! Aku nggak punya apa-apa lagi kalau Reyhan nggak mau menikahiku!" Emma berteriak, tubuhnya gemetar hebat.
Tiba-tiba, Ny. Jonathan memegangi dadanya. Nafasnya memburu cepat. "A-aku ... napasku," katanya lirih sebelum tubuhnya limbung.
"Mama!" Reyhan berseru panik, menangkap tubuh ibunya sebelum jatuh ke lantai.
"Panggil ambulan sekarang!" teriak Reyhan kepada sekretaris yang berdiri kaku di depan pintu.
Beberapa jam kemudian
Di rumah sakit, Reyhan duduk di luar ruang ICU dengan wajah gelap. Emma duduk di kursi panjang dengan mata sembab, wajahnya penuh rasa bersalah.
Setelah beberapa saat, dokter keluar. "Kondisi ibunda Tuan Reyhan sudah stabil, tapi beliau tidak boleh mengalami stres lagi. Serangan panik seperti ini bisa berbahaya jika terulang."
Reyhan hanya mengangguk. Saat dokter pergi, Ny. Jonathan memanggilnya lirih dari ranjang.
"Rey," suara Ny. Jonathan serak dan pelan. "Mama mohon … jangan biarkan masalah ini sampai ke telinga Adelia. Dia wanita baik, tapi kalau dia tahu semua ini, hatinya pasti hancur."
Reyhan menatap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. "Mama … kenapa semua ini jadi serumit ini? Aku nggak bisa menghancurkan Adelia, tapi … aku juga nggak mungkin meninggalkan Emma dalam kondisi begini."
"Kalau kamu nggak bisa menikahi Emma … setidaknya jangan sampai masalah ini menghancurkan perusahaan kita. Mendiang papamu membangun semuanya untuk kita agar hidup seperti sekarang. Kamu jangan kotorkan semua itu." Ny. Jonathan menggenggam tangan Reyhan erat.
Reyhan menunduk dalam, kepalanya terasa berat seperti dihantam ribuan beban.
"Mama istirahat lagi sekarang. Nanti kita pikirkan itu."
Reyhan berjalan ke luar. Di lorong rumah sakit yang sepi, Emma berjalan mendekat, suaranya lembut namun penuh luka.
"Aku masih cinta sama kamu, Rey, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku rela jadi yang kedua asal bisa tetap bersamamu."
Reyhan menatap Emma lama, lalu berbisik dengan suara serak, "Jangan bilang begitu, Emma. Kamu tahu aku nggak bisa membagi hatiku, tapi aku juga nggak bisa sepenuhnya melepaskanmu."
Emma tersenyum getir, matanya berkaca-kaca. Reyhan hanya bisa menatap lantai, pikirannya semakin berkecamuk.
ak mampir ya ..