NovelToon NovelToon
Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintamanis / Mafia / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.

Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.

Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Memukul Keras Benjamin

...•••...

"Akhhhhhhh..." Pekik Hayaning terdengar begitu kencang ketika sosok Valak tiba-tiba muncul di layar, membuatnya refleks mencengkeram lengan Ben dengan erat.

Ben melirik tangannya yang kini penuh jejak kuku. "Sepertinya tangan saya bakal penuh baret gara-gara kamu cakar sedari tadi," ujarnya santai.

Hayaning menoleh dengan wajah masih tegang, napasnya tersengal akibat keterkejutan. "Eh," gumamnya, baru sadar betapa eratnya genggamannya.

"Kenapa ngga bilang dari tadi sih? Sakit ngga?" tanyanya sambil buru-buru melepaskan cengkeramannya.

"Engga sakit, cuma tangan saya berasa kayak digigitin semut," sahut Ben, melirik lengannya yang sedikit memerah. "Kamu ini gimana sih? Niat ngajak saya nonton film horor, tapi malah kamu sendiri yang takut?"

Hayaning mendengus. "Itu refleks, tahu! Lagian, siapa juga yang takut? Aku cuma kaget."

Ben tertawa kecil, menyandarkan lengannya di sandaran sofa. "Oh ya? Kaget sampai loncat dan nyakar tangan saya?" godanya, sorot matanya penuh keisengan.

Hayaning mendengus, lalu meraih bantal di sampingnya dan memeluknya erat, seolah menjadikannya tameng. "Aku masih bisa nonton kok, tenang aja," ujarnya sok tegar.

Ben melirik sekilas ke arah layar, lalu kembali menatap Hayaning yang kini lebih fokus pada bantal daripada film yang diputar. Ia menggeleng pelan.

"Kalau kamu ngga kuat nontonnya, mending tidur aja," sindirnya santai.

Hayaning melotot, lalu tanpa pikir panjang, melempar bantal ke arah Ben. "Diam! Kamu ganggu konsentrasi aku!"

Ben menangkap bantal itu dengan mudah, lalu tiba-tiba mendekat, membuat Hayaning otomatis menahan napas. "Kalau kamu takut, tinggal bilang. Saya bisa kasih cara lain biar kamu lupa sama hantunya," bisiknya dengan nada menggoda.

Hayaning menelan ludah, jantungnya berdebar lebih cepat daripada jumpscare yang baru saja membuatnya menjerit. "Ben, jangan mulai," balasnya dengan suara setenang mungkin, meski matanya berusaha menghindari tatapan pria itu.

Ben hanya menyeringai kecil, lalu kembali menyandarkan tubuhnya dengan santai. "Saya dengan tangan terbuka siap menerima Nona jika ingin dipeluk."

"Ngga makasih," respon Haya cepat, bukan apa tapi ia tak mau berakhir seperti di ruang musik tadi sore.

"Oh, okey," jawab Ben dengan wajah tengilnya.

Dalam suasana kebersamaan itu, tetiba ponsel Ben berbunyi, ia segera memeriksa nya yang ternyata dari Sean.

Sepertinya ada sesuatu yang amat Penting, Sean sudah menghubunginya dengan yang kali ini sebanyak tiga kali.

Ben berusaha menahan emosinya saat Sean memberitahunya bahwa Bara, kakak tertua Hayaning, telah mendatangi rumahnya dengan membawa banyak bodyguard. Bara mencari adiknya dengan penuh amarah setelah mengetahui bahwa bodyguard pribadi Hayaning, Benjamin sendiri, adalah bagian dari keluarga Soedjono.

Ben tidak tahu pasti apa alasan di balik tindakan Bara, tetapi satu hal yang jelas—ia harus melindungi Hayaning dari keluarga toxic-nya itu, apa pun yang terjadi.

"Saya harus mengangkat telepon sebentar, apa kamu tidak apa-apa saya tinggal dulu?" Tanyanya dengan raut wajah yang serius.

Hayaning mengangguk pelan, "iya, ngga papa."

Ben segera melangkah pergi, memilih balkon sebagai tempat untuk menerima panggilan dari Sean.

Hujan yang semula deras kini mulai mereda, menyisakan udara dingin yang menusuk kulit di malam itu.

Ponsel menempel di telinganya, sementara matanya menatap lurus ke arah pekarangan yang basah.

"Ada apa, Mas?" tanyanya tanpa basa-basi.

Di seberang sana, suara Sean terdengar serius. "Bagaimana situasinya?"

Ben menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon, satu tangannya terselip di saku celana. "Aman. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini." Jawabnya dengan penuh ketenangan.

"Mas punya firasat buruk soal kakak tertuanya, Bara. Dia pasti masih kalang kabut mencari keberadaan Hayaning." Helaan napas panjang terdengar dari seberang.

"Mas tahu kamu ingin menjaganya, tapi Mas benar-benar ngga nyangka situasi ini bisa jadi serumit ini. Dan setelah kamu jelaskan tempo hari, Mas ngga kaget lagi kalau kamu sendiri ya malah terlibat dalam masalah yang seharusnya ngga kamu sentuh." Ada nada kesal dari bicaranya Sean, ia sangat tahu bagaimana sifat tak mau diatur dan semau-nya adiknya itu.

Ben tak langsung menjawab. Ia mengeluarkan sebatang rokok dari tempatnya, menyalakannya dengan gerakan tenang, lalu menyesapnya perlahan. Asap putih mengepul, membiarkan jeda menggantung di antara percakapan mereka.

"Aku hanya ingin melindunginya. Dia sudah terlalu keras menghadapi ini sendirian. Aku kasihan padanya."

Sean terkekeh pelan, nada tawanya penuh sarkasme. "Kasihan? Really, little boy? Kalau begitu, kamu ngga melakukan sesuatu yang bodoh, kan?" Sean juga sangat tahu sisi buruk adiknya ini, hanya saja ia juga tahu betul bahwa Ben selalu profesional dengan pekerjaannya, tetapi kali ini ia merasa was-was.

Ben mengerutkan kening. "Maksud Mas?"

"Menyentuhnya, stupid."

Ben mengembuskan asap rokok sebelum menjawab dengan santai, "Yeah. I touch her."

"APA?!" Suara Sean meninggi, terdengar frustasi. "Sialan, kamu sudah gila?! Ben, oh astaga!"

"Dia menginginkannya, Mas," jawab Ben, tetap tenang.

"You stupid!" Sean terdengar nyaris putus asa ketika adiknya kembali berulah. "Kalau begitu, status kalian sekarang apa?"

Ben tersenyum miring, menikmati kepanikan kakaknya. "Nona dan bodyguard, apa lagi?"

"Fuck you, saya akan mendatangi rumahmu!" Sean hampir berteriak keras jika ia tidak segera sadar sedang berada di kamarnya, Lara pasti terkejut dalam tidurnya jika mendengarnya berteriak.

Ben hanya terkekeh, membiarkan panggilan itu berakhir begitu saja. Ia tahu betul, Sean bukan tipe yang bisa diam setelah mendengar sesuatu yang membuatnya murka. Dan sekarang, dia baru saja melemparkan bom yang akan segera meledak di hadapannya.

Mengembuskan napas panjang, Ben mematikan rokoknya di asbak kecil di meja balkon.

"Oh aku menunggumu Mas," gumamnya pelan, mengusap wajah dengan tangannya.

Ia melirik ke dalam rumah, ke arah ruang tengah, tempat Hayaning berada. Namun, alih-alih masih terjaga dan menonton film seperti sebelumnya, perempuan itu ternyata sudah tertidur.

Ben menghela napas pelan, menahan senyum saat melihat wajah Hayaning yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. Bantal yang tadi ia gunakan untuk menutupi wajahnya kini berada di pangkuannya, sementara tubuhnya sedikit menyender ke samping, terlihat tidak nyaman.

Perlahan, Ben melangkah mendekat. Ia berjongkok di hadapan Hayaning, memperhatikan raut wajahnya yang terlelap.

"Saya memang bajiingan, tapi sungguh saya ingin menjaga kamu," gumamnya pelan, jari-jemarinya secara refleks ingin menyentuh helaian rambut Hayaning, tapi ia menahan diri.

Ben mengangkat tubuh Hayaning dengan hati-hati, memastikan agar perempuan itu tidak terbangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa ringan dalam gendongannya, napasnya teratur, seakan benar-benar merasa aman dalam lelapnya.

Perlahan, ia melangkah menuju kamar. Begitu sampai, Ben dengan lembut membaringkannya di atas tempat tidur, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuh perempuan itu.

Ben berdiri sejenak di tepi ranjang, menatap wajah Hayaning yang ayu rupawan.

Dengan napas yang sedikit lebih berat, akhirnya ia melangkah mundur. Ben keluar dari kamar, menutup pintunya pelan.

Ia melangkah menuju bar di lantai utama, membiarkan pikirannya sedikit mengembara.

Tangannya terulur, mengambil sebotol vodka dan menuangkannya ke dalam gelas. Tanpa banyak pikir, ia meneguk cairan tajam itu, membiarkan sensasi dinginnya mengalir ke tenggorokannya.

Lama menunggu di sana sambil menikmati setiap tegukan, akhirnya suara mesin mobil terdengar, menghentikan sejenak lamunannya. Mobil itu tiba, dan Ben tahu siapa yang datang.

Sean sudah datang.

Ben tersenyum kecil, sudut bibirnya terangkat tipis. Ya, dia harus menyiapkan diri. Karena sebentar lagi, Sean pasti akan mengamuknya.

Ben mengambil sikap berdiri. Sedikit pening, namun ia tetap melangkah menuju pintu utama untuk membukakan jalan kakaknya masuk kedalam rumahnya.

BUGH!

Begitu pintu dibuka dalam beberapa detik setelah mata mereka saling memandang, Sean memukul wajah adiknya hingga Ben terhuyung satu langkah kebelakang.

"Fuck you Ben!"

Ben mengusap sudut bibirnya yang terasa perih akibat pukulan itu, sementara Sean masih menatapnya dengan tatapan membara. Ia bisa merasakan rasa logam di mulutnya—sedikit darah mengalir dari luka kecil akibat pukalan Sean yang tak tertahan.

Ben menyeringai tipis, bukannya marah, ia justru tampak menikmati reaksi kakaknya. "Itu sambutan yang cukup hangat, Mas," ucapnya santai, meski ada sedikit sarkasme di ujung suaranya.

Sean menggeram, tangannya mengepal kuat seolah menahan keinginan untuk menghajar Ben lebih keras lagi. "Apa yang kamu pikirkan, hah?! Kamu gila?!"

Ben mengangkat bahu, matanya tetap tenang meski tubuhnya masih sedikit goyah akibat efek vodka yang sebelumnya ia tenggak. "Kita melakukannya karena saling ingin, dimana salahnya Mas?"

Sean mendekat, mencengkeram kerah baju Ben dengan kasar. "Kamu sudah membawa diri kamu terlalu jauh ke dalam masalah orang lain tapi sekarang kamu malah menambah masalah baru, sialan!"

Ben menatap kakaknya tanpa gentar. "Aku tahu."

Sean mendecak, melepaskan cengkeramannya dengan kasar. "Shit, Ben. Kamu benar-benar cari masalah."

Ben hanya terkekeh, lalu melangkah mundur sedikit, memberi ruang bagi Sean untuk masuk. "Kalau Mas mau ceramah, lebih baik di dalam."

Sean mendengus kesal, tetapi tetap melangkah masuk, menutup pintu dengan kasar di belakangnya.

Sean duduk di sofa, sementara Ben berjalan santai menuju bar, menuangkan lagi vodka ke dalam gelasnya.

"Mas mau minum?" tawarnya, menoleh sekilas ke arah Sean.

Sean menatapnya tajam. "Kamu pikir Mas ke sini buat minum-minum?"

Ben hanya mengangkat bahu sebelum meneguk vodka di tangannya. "Siapa tahu bisa bantu meredakan emosi Mas."

Sean menghela napas panjang, mencoba mengendalikan amarahnya. "Sejak kapan kalian melakukannya?" Tanyanya.

Ben menggoyangkan gelasnya perlahan, "ketika kami datang kerumah ini."

"Kalau begitu, apakah kamu punya perasaan padanya? Kamu mencintainya?"

Ben memasang raut wajah menolak. "Sudah berapa kali aku katakan, aku ngga punya perasaan seperti itu Mas."

Tapi Sean dapat menangkap ada yang berbeda dari adiknya, pasalnya ia tak mungkin sebegitu nya ikut terlibat dalam masalah orang lain. Ben selalu profesional, namun kali ini tidak, dan sangat melanggar batasnya.

"Oh ya? Kamu bisa menjamin kata-katamu ini Ben?"

"Tentu saja, aku selalu menepati setiap kata-kata ku."

Sean menyipitkan mata, menatap Ben penuh selidik. Ia tidak bodoh. Adiknya ini mungkin bisa berbohong pada orang lain, tapi tidak padanya.

"Kamu yakin?" Suara Sean merendah, penuh tekanan. "Jangan sampai nanti kamu sendiri yang menelan kata-katamu."

Ben terkekeh kecil, meneguk sisa vodka di gelasnya sebelum menaruhnya di meja dengan santai. "Mas, aku tidak pernah terlibat perasaan dalam pekerjaan. Dan Hayaning bukan pengecualian."

Sean masih belum percaya sepenuhnya. Ia bersandar di sofa, menyilangkan tangan di dada. "Kalau begitu, Kenapa kamu repot-repot melindunginya sebegitu nya, Ben?"

Ben menghela napas, melirik ke arah luar jendela. "Aku sudah katakan, karena dia membutuhkan perlindungan, Mas. Keluarganya brengsek, dia hidup dalam tekanan. Aku hanya memastikan dia baik-baik saja."

"Dan kamu pikir itu bukan perasaan yang tumbuh dalam hatimu?" Sean menekankan kata-katanya.

Ben mendecak, mengusap wajahnya dengan satu tangan. "Mas terlalu membesar-besarkan ini."

"Tidak, Ben." Sean mencondongkan tubuh ke depan, menatap adiknya tajam. "Kamu terlalu meremehkan apa yang kamu rasakan."

"Aku hanya membantunya Mas, ngga lebih dari itu." Jawabnya percaya diri, lalu ia mengalihkan pandangannya.

"Percaya atau tidak, itu urusan Mas. Karena Mas yang memperkerjakan kamu untuk menjadi bodyguard pribadi anaknya pa Brata." Sean menatap Ben lebih lama sebelum akhirnya mengembuskan napas keras. "Kamu benar-benar keras kepala."

Ben menyeringai. "Sama juga kayak kamu kan, Mas?"

Sean mendengus, tetapi tidak membalas. Ia tahu, percuma berdebat dengan Ben saat ini. Tapi satu hal yang jelas, ia bisa melihat celah kecil dalam sikap adiknya—sesuatu yang Ben sendiri belum sadari.

Dan itu, cepat atau lambat, akan menjadi masalah besar bagi dirinya sendiri.

1
JustReading
Sama sekali tidak mengecewakan. Sebelumnya aku berpikir bakal biasa saja, ternyata sangat bagus!
Nadeshiko Gamez
Mantap thor, terus berkarya ya!
Ludmila Zonis
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!