Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.32
Perjalanan kurang lebih dua jam, Melinda tiba di rumah. Ia langsung disambut tatapan tajam Axel yang membuatnya salah tingkah.
“Sayang,” ucap Melinda manja, lalu mencium dan memeluk suaminya yang sedang kesal.
“Dari mana? Jangan bilang abis nyari brondong, ya!” tuduh Axel.
Melinda melotot dan mencubit gemas perut suaminya. “Jangan asal ngomong!”
“Bagaimana keadaan Neil sekarang?” tanya Melinda sambil mengalihkan pembicaraan, baru sadar setelah menyalakan ponsel di Jakarta.
“Hari ini dia pulang,” jawab Axel singkat lalu pergi meninggalkannya. Melinda menghela napas, menyerahkan tas cucian pada pelayan.
“Sayang, jangan marah. Lagian kamu yang minta aku temani ketemu menantu, kamu sibuk terus. Makanya aku yang ambil alih,” celetuk Melinda mengikuti Axel ke ruang kerjanya. Axel terdiam, baru ingat Melinda meminta dia bertemu Zahira, tapi pekerjaan menumpuk dan Nathan entah kemana.
Axel menghela napas, menatap Melinda yang duduk cemberut di sofa.
“Maaf, aku salah. Kamu benar, pekerjaanku beberapa minggu ini sangat banyak,” ucap Axel jujur.
“Kemana Nathan?” tanya Melinda.
“Entahlah, asisten pun tak tahu dia di mana,” jawab Axel.
“Pasti jatuh cinta, dia,” gumam Melinda. “Sudahlah, mungkin sebentar lagi kita punya menantu baru.”
Melinda berdiri, sebelum Axel bicara ia pamit untuk istirahat.
“Menantu?” gumam Axel, memikirkan ucapan Melinda. Ia segera menghubungi Fahri untuk mencari Nathan.
*****
Jam makan siang tiba. Dokter sudah memeriksa Neil dan mengizinkannya pulang setelah administrasi selesai. Resep obat juga sudah diberikan.
“Biar gue yang bayar,” ujar David mengulurkan tangan ke arah Ana yang memegang kartu, Ana membalas dengan tatapan tajam.
“Dih, gue kira lo yang bayar,” cibir Ana, untung Axel sudah memberikan uang.
“Ogah gue,” sahut David, sementara Ana dan Aiyla sibuk membereskan barang Neil. Neil memilih jalan-jalan di sekitar rumah sakit karena bosan melihat adiknya.
Saat menyusuri lorong, Neil melewati kamar Livia dan melihat pintunya terbuka. Wajah Livia yang murung terlihat dari dalam.
Neil masuk ke ruang rawat. Livia terkejut.
“Neil,” sapanya lirih sambil tersenyum, tapi Neil tak membalas.
“Kamu ngapain di sini? Mau jenguk aku?” tanya Livia dengan senyum manis.
“Jangan terlalu pede, Livia. Aku di sini bukan karena kamu. Aku di sini karena anakku!” jawab Neil.
“Anak?” gumam Livia.
Neil menatap sinis, “Dia bukan anakku, kan? Aku tahu tentang kamu, Miller, dan anak itu.”
“Dia bukan anakku! Dia anakmu dengan Miller, iya kan?” tanya Neil menantang.
“Neil, aku bisa jelaskan,” kata Livia gugup.
“Jelaskan apa? Kamu akan bilang dia anakku? Atau kasih alasan lain?” potong Neil sinis.
“Aku sudah bodoh menyia-nyiakan Zahira. Aku mengabaikan keluarga, bahkan Ana dan Aiyla sudah sering bilang kamu tidak baik untukku. Aku rela menentang mereka semua untukmu,” pekik Neil sesak.
Livia hanya terisak. Luka di hatinya dalam, karena kini semua meninggalkannya—Miller, Neil, bahkan keluarganya. Tapi Livia lupa ada sang Ibu yang masih peduli padanya.
Baik buruknya seorang anak. Tapi, ibu adalah ibu. Selalu menerima dan memaafkan anaknya.
“Aku meninggalkan Zahira di negeri orang, dan bodohnya aku percaya kamu diculik,” kata Neil sambil menatap kosong. Dia rindu istrinya itu.
“Neil, maafkan aku. Aku mencintaimu,” isak Livia.
“Cinta? Cinta apa? Materi? Nafsu? Obsesi?” tanya Neil dengan senyum sinis.
Neil menatap wanita yang dulu dicintai, tapi kini semua keburukan telah terungkap. Berkat Erik dan yang lain, Neil sadar Livia tidak pantas dibanding Zahira.
“Sudahlah, lupakan. Hubungan kita selesai, Livia. Cari kebahagiaanmu. Permisi,” ucap Neil, lalu pergi.
Tangis Livia pecah setelah pintu tertutup rapat.
“Neil, maafkan aku!” teriaknya.
Sakit hatinya lebih dalam daripada sakit perutnya. Mungkin tidak sebanding dengan yang dirasakan Zahira.
Neil menghela napas kasar, merasa lega usai melampiaskan perasaan dan mengakhiri hubungan.
Ia kembali ke kamar.
“Dari mana? Ayo pulang, sudah ditungguin,” protes David yang sudah menunggu lama. Ana dan Aiyla sudah selesai berkemas.
“Sori, gue dari taman,” jawab Neil.
“Yuk, kita pulang. Theo sudah menunggu,” ajak Aiyla.
Ana dan Aiyla keluar duluan, menyerahkan tas berat ke David yang menggerutu dalam hati.
“Kita pulang ke mana?” tanya Theo.
“Ke rumah gue,” jawab Ana cepat. Ia tak ingin Neil tinggal sendiri.
“Okay,” kata Theo. Neil pasrah mengikuti mereka, sudah menyiapkan kata maaf untuk Melinda.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di kediaman Axel.
“Ayo, jangan melamun!” celetuk David saat melihat Neil diam di teras.
David tidak tahu, hari itu Neil canggung bertemu ibunya. Ia menarik napas dalam, mencoba yakin Melinda akan memaafkannya.
Masuk ke rumah, tak ada sambutan meriah, hanya makanan dan minuman tersaji. Pelayan mengatakan Melinda sedang beristirahat setelah pulang dari Bali.
“Mommy dari Bali? Serius?” tanya Ana pada Hera.
“Iya, Nyonya habis liburan dari Bali,” jawab Hera.
“Mommy keterlaluan, aku disuruh jaga anaknya, eh dia malah liburan dengan teman sosialita,” kesal Ana.
“Sudahlah, kamu kaya anak kecil aja,” omel David. Ana mencebik kesal, tapi David sendiri sudah mulai bosan mendengar ocehan Ana.
Bersambung ....
Maaf typo
ai...mending batalin aza sebelum terlambat....