Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Wajah Kematian dan Titik Tengah
...Chapter 13...
Kedua ekstrem itu bukan sekadar bentuk kegagalan, melainkan dua wajah kematian yang berbeda warna.
Hanya mereka yang mampu menjaga keseimbangannya di titik tengah, yang dapat bertahan tanpa kehilangan jati diri.
Begitu pula dengan urutan hierarki Human Change yang tampak tidak beraturan.
Tidak seperti sistem manusia yang memuja keteraturan angka, hierarki ini dibangun berdasarkan resonansi, bukan urutan logis.
Dunia Flo Viva Mythology menempatkan setiap kelas sesuai dengan bagaimana Inti Lu-nya bergetar, bukan seberapa tinggi nilainya.
Karena dalam resonansi, kekuatan bukan ditentukan oleh besar kecil, tetapi oleh keharmonisan antara tubuh, jiwa, dan dunia yang menaunginya.
Dan mengapa setiap nama berujung pada huruf H, konon karena huruf itu melambangkan Haerth, kata kuno dalam bahasa dewa yang berarti “napas yang menghubungkan dua dunia”.
Setiap Human Change membawa napas itu dalam dirinya, menjadi penghubung antara realitas dan keajaiban yang tak terlihat.
Namun semua pemikiran itu menguap begitu saja saat Theo menunduk untuk memungut penghapusnya.
Ia berhenti sejenak, menghela napas, dan menyadari bahwa bahkan logika yang paling rumit pun bisa hilang hanya karena satu momen sederhana.
Di antara tumpukan kertas dan kesunyian pagi yang tak memihak, Theo kembali menatap catatannya dengan kosong.
Hanya itu yang tersisa, ia, pena, dan selembar catatan yang belum selesai.
'Berbagai skenario telah berlangsung, dan malangnya semua terjadi persis sesuai rencana.
Kemarin, pertempuran bawah menara biru.
Lusa, pertemuan rahasia antara Isha dengan dua petinggi dari perwakilan Akademi Bintang serta seorang manifestasi Dewa-dewi.
Bulan lalu, penampakan pertama Ar'tushamth di lingkungan akademi.'
Tsuuuuuf!
'Semua sudah kutandai, kugarisbawahi, dan kusalin ulang dalam catatan ini.
Tak satu pun yang menyimpang sampai saat ini, tapi aku tetap merasa cemas.
Dunia ini terlalu menurut pada naskahnya, seolah menyadari bahwa aku sedang mengawasi.'
Delapan puluh delapan hari setelah retakan pertama itu muncul, dunia nan semula terpisah antara nyata dan permainan kini telah saling menyusup, menelan batas yang dulu tak tergoyahkan.
Theo Vkytor, yang dahulu dikenal sebagai penulis brilian di dunia sastra dengan karyanya Last Prayer, kini terperangkap dalam tubuh dan nama yang bukan miliknya.
Eshura Birtash—identitas palsu yang dipaksakan—berjalan di dunia yang bukan miliknya, namun anehnya dunia itu memanggilnya seolah-olah ia memang seharusnya ada di sana.
Delapan puluh delapan hari telah cukup untuk menghapus 99% keberadaannya di dunia nyata, menyisakan hanya sisa-sisa samar dari memori yang menolak hilang.
Setiap kali ia mengingat masa lalu, semuanya terasa seperti lembaran kertas yang mulai pudar, tintanya mengabur oleh waktu dan ironi.
Di atas pagar pengaman lantai dua—dalam cahaya remang jendela Akademi Bintang—Theo dengan hati-hati mencatat sesuatu.
Setiap garis, setiap tanda centang, bukan sekadar catatan, melainkan pengingat bahwa ia masih bisa mengendalikan sesuatu di tengah kekacauan dunia ini.
Ia mencatat peristiwa-peristiwa yang tampak sepele namun penting—seperti kedekatan Erietta dengan Ilux Rediona, interaksi yang tampaknya biasa tetapi menyimpan dinamika yang bisa mengubah keseluruhan skenario.
Ia juga menuliskan kemunculan Aldraya Kansh Que, sosok guru yang diberi wewenang untuk membimbing Ilux, dan bagaimana seluruh Akademi Bintang menertawakan sang protagonis utama karena ketidakmampuannya memahami Inti Lu di kelas yang sama.
Theo tahu betul, semua kejadian ini bukan kebetulan.
Ini adalah potongan naskah dari Flo Viva Mythology yang kini sedang berjalan di hadapannya.
Dengan kebiasaan lamanya sebagai penulis, Theo mampu melihat lebih dari sekadar satu sudut pandang.
Ia menatap setiap peristiwa dari lima arah berbeda, mencoba menebak ke mana arah cerita ini akan mengalir.
Ia mengerti bahwa yang sedang ia jalani kini adalah rangkaian peristiwa menuju klimaks dari arc pertama, tepatnya di antara episode empat menuju lima.
Semua yang terjadi—tawa, rasa hina, kebingungan Ilux, dan diamnya Aldraya yang penuh teka-teki—adalah bagian dari naskah besar yang sedang membentuk dirinya sendiri.
Namun berbeda dari game yang dulu ia mainkan, kali ini Theo tidak lagi berada di belakang layar sebagai pemain, melainkan sebagai bagian dari narasi nan bergerak hidup di hadapan.
Ia menatap catatan itu lama, memandangi setiap tulisan yang dibuat dengan penuh kewaspadaan.
Delapan puluh delapan hari yang telah berlalu kini menjadi tolak ukur bagi kewarasannya sendiri.
Ia tahu betul bahwa apa pun yang akan terjadi setelah pertengahan episode kelima ini tidak lagi bisa ia prediksi dengan keyakinan yang sama seperti dulu.
Dunia sudah berubah, dan ia tidak lagi menulis kisahnya.
Dunia itu kini menulis dirinya.
'Bagian pertama, episode lima tengah, kalau dikenang kembali, seharusnya diawali dengan latihan kejam Aldraya pada Ilux, latihan yang akan mematikannya ratusan kali hanya untuk mengokohkan satu teknik tolol itu.
Lalu lanjut ke musibah kelas.
Ilux membunuh teman seangkatannya, bukan atas niatnya, melainkan akibat sistem misi yang terlampau keji.
Semua kawannya menjauh, kecuali tiga orang, Erietta, Aldraya, dan Sando, anak unik yang baru muncul di episode ini.
Dan yang terakhir, konflik permulaan di antara dua dewi neraka itu.
Erietta dan Aldraya.
Dua perempuan dengan pembawaan dingin yang akan memantik perang perasaan terpanjang di sepanjang bagian pertama.'
Fussssh!
'Yah, jika semuanya masih berurutan, berarti dunia ini belum hancur.
Belum sepenuhnya.'
Langkah Theo bergema pelan di sepanjang lorong Akademi Bintang yang mulai sepi, diiringi oleh hujan rintik-rintik yang tak kunjung reda sejak pagi.
Tas nan menggantung di bahunya bergoyang lembut setiap kali ia menapak, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan buku catatannya dengan ujung pulpen yang telah tertutup rapat.
Bunyi ketukan itu berpadu dengan irama pikiran yang berputar, menuntunnya untuk kembali menata garis besar skenario yang akan terjadi.
Dalam diam, ia mencoba menyusun ulang masa depan yang bukan lagi sekadar ingatan game, tetapi kenyataan yang kini menelan dunianya hidup-hidup.
Skenario ini sudah ia hafal di luar kepala.
Setiap bagiannya seperti potongan puzzle yang sudah pernah dimainkan—namun kini terasa lebih nyata, teramat berat, dan begitu mengancam.
Yang pertama, ia tahu persis bagaimana kelanjutannya.
Pelatihan super ekstrem dari Aldraya Kansh Que kepada Ilux Rediona.
Pelatihan itu bukan sekadar ujian kekuatan, melainkan ritual penyiksaan yang diulang 299 kali—setiap kematian Ilux menjadi bagian dari proses pembentukan dirinya.
Theo mengingat dengan jelas, di setiap kematian itu ada makna nan tersembunyi.
Penghapusan ego, penyesuaian jiwa, hingga penguatan Inti Lu yang membentuk kembali tubuh Ilux menjadi sesuatu yang nyaris tak manusiawi.
Walau Theo membencinya—membenci bagaimana penderitaan itu turut Theo alami—tidak dapat disangkal bahwa tanpa siklus menyakitkan tersebut, Ilux tidak akan pernah menjadi pusat dari dunia ini.
Bagi Theo, menyaksikan setiap kematian itu terasa seperti membaca ulang bab yang sama dari novel yang ia tahu akan berakhir buruk, tetapi tetap tidak bisa berhenti membacanya.
Yang kedua adalah kehancuran sosial nan perlahan menggigit dari dalam.
Theo mengingat bagaimana Ilux Rediona dijauhi seluruh rekan sekelasnya setelah insiden yang menewaskan seorang siswa dalam misi kelompok.
Bukan karena kebencian semata, melainkan karena ketakutan.
Tak ada yang berani mendekat, tak ada yang sanggup melihat mata Ilux tanpa merasa tubuhnya sendiri akan terbakar oleh aura tak terkendali dari Inti Lu-nya.
Hanya tiga orang yang tetap berada di sisinya: Erietta Bathee yang setia tanpa alasan jelas, Aldraya Kansh Que yang mengawasinya dengan ketenangan dingin, dan Sando, rekan lelaki yang baru dikenalnya namun tampak menyimpan niat terselubung.
Bersambung….