Ana yang baru masuk ke tempat kerja baru, terpikat dengan Aris, pemuda yang tampan, baik, rajin bekerja dan sopan. Sempat pacaran selama setahun sebelum mereka menikah.
Di tahun kedua pernikahan mereka, karakter Aris berubah dan semakin lama semakin buruk dan jahat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Frans Lizzie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - Di Sales Office
Sebulan sudah Ana bekerja di Hotel Atlantic. Kepribadiannya yang pendiam, sederhana, dan cenderung lugu membuat staff staff lama merasa aman dan yakin bahwa Ana bukanlah tipe penjilat atasan.
Sehingga dalam waktu singkat Ana dapat membaur dengan rekan kerjanya di Sales and Marketing Department.
Pagi itu ketika Ana baru saja selesai menjawab dari GM Secretary, terdengar teriakan Mr. Duncan.
“Anaaaaaaa…..!” Terdengar suara keras dari kantor utama di ruangan itu.
Ana bergegas meninggalkan kerjaan yang sedang dikerjakan di mejanya. Tapi belum sempat kakinya melangkah lebih jauh…
“Mbak Ana!” panggil Fuad, anak Banquet yang tiba-tiba muncul dari pintu masuk. Ada karton besar sekali yang dibawanya. “Ini buat Mbak Ana….”
BRUK!!!
Karton dijatuhkan di lantai tepat di sebelah meja kerja Ana.
“Huuhhhh!” Fuad mengusapkan tangannya ke arah leher. ”Capekkkk bawa ini dari store. Habis dari ngopi di kantin, jalan dicegat sama Pak Domu. Di suruh-lah aku bawa kerdus ini ke sales.”
Ana mendekati box besar berwarna coklat. “Terima kasih ya Fuad.”
Baru saja Ana mengambil cutter dari mejanya untuk mencoba melihat dalamnya.
“ANAAAAAAAAAAAA!!!!!”
Baik Fuad dan Ana tersentak kaget.
“Wah, lupa aku. Kalau barusan dipanggil bos.” Ana menyambar sebuah note dan pena lalu bergegas menuju ke kantor Mr. Duncan.
“I’m sorry, Mr. Duncan. I received a sales package first.”
Mr. Duncan menatap Ana dengan tajam. “You should give attention to my order first..”
Ana menganggukkan kepalanya dengan khidmad. “I won't do it again. I am so sorry, Sir.”
Mr. Duncan tidak menanggapi permintaan maaf Ana. Dia meneliti beberapa lembar kertas, mencomot beberapa lembar lalu menyodorkan kertas itu kepada Ana.
“Make an invitation letter to all of the list in the paper. Ask Tiar how to make the invitation letter. All letters should be completed by tomorrow morning, because they have to be distributed during the sales visit.”
Ana melirik sekilas kertas yang dipegangnya. Ada sekitar 50 nomor di situ. Perutnya mendadak mulas. Ini sudah jam 12.30 dan ia belum sempat makan siang.
“Ah ya, there will be additional VIP guest from Tiar and Ling Xie…. please push them to make them available as soon as possible.”
Mr. Duncan terdiam sesaat sambil mengerutkan keningnya. “Ana, you can go directly to Ling Xie after this, to get the list from her. And for Tiar…., just call her handphone and ask about her guest list.”
“Understand, Mister.” Ana menundukkan kepala sambil tubuhnya berputar.
“Wait!”
Ana menghentikan gerakan tubuhnya. Pandangannya menatap bosnya yang masih menunduk menyimak kertas kertas di hadapannya. “I’ve order lots of giveaway for all guests. Ana, please check to Pak Domu when the giveaway arrives.”
“I think they’ve arrived, Mr. Duncan. I received a big box from the store when you called me earlier. They are already on my desk.”
“Good. Good.” Mr. Duncan terlihat puas. “You must wrap them nicely.”
Ana berusaha menetralkan wajahnya. Sudah terbayang serangkaian kerja rodi di depan. “Is 200 enough, Sir?”
“No, not enough,” seru direktur Sales Marketing berkebangsaan Australia itu. “Prepare around 100 for that event. But all of the giveaway should be wrapped and kept in the office. We received VIP guests irregular.”
“Understand, Sir. Is there anything else?”
“Make sure everything is done the day after tomorrow.”
Ana terdiam. Ia tahu ini adalah sebuah mission impossible. Ia memang sudah mendapat masukan baik dari Satria, Dita dan Hendra mengenai Mr. Duncan Connors ini. Berdasarkan cerita mereka tak ada seorang sekretaris pun yang tahan dengan ritme kerja Duncan yang gila.
“ANA!” Suara Duncan menggelegar. Ana sampai sedikit terhentak kaget. “Do you hear what I said before?”
“Yes I do, Sir.”
“Good. Don’t disappoint me.”
“Yes, Sir.”
Pertama-tama Ana mendatangi Ling Xie dulu untuk mendapatkan list tambahan dari tamu-tamu VIP.
Ling Xie, seorang chindo yang cantik bertubuh sedang nan langsing segera menekan nekan keyboard komputernya untuk mencari dokumen yang dibutuhkan untuk di print.
“Mr. Duncan cuma kasih waktu sampai besok ya? Ck, memang orang itu…” Ling Xie menggelengkan kepalanya sambil mengernyitkan hidungnya. “Aku tambahin 20 aja ya. Berapa dia banyak list dari Pak Duncan?”
Ana mengangsurkan beberapa lembar kertas dari Mr. Duncan. “108.”
“Sudah tau invitation letter nya seperti apa?” tanya Ling Xie.
“Belum. Kata Mr. Duncan disuruh minta Kak Tiur.”
“Tiur-nya aja lagi sales call. Pulangnya nanti paling sekitar jam 5. Ck….” Lagi-lagi Ling Xie berdecak seperti sangat gemas. “Udah, yuk ikut aku. Aku bantu cari filenya Tiur buat undangan tamu.”
Ling Xie keluar dari kantornya diikuti oleh Ana. Ia mendekat meja Tiur. Menekan-nekan keyboardnya, memasukkan login menggunakan nama Ling Xie sendiri beserta password nya untuk membuka dokumen file milik Tiur.
Setelah mendapatkan penjelasan dan pengarahan cara membuat invitation letter secara cepat tanpa perlu mengetik satu persatu karena memang sudah ada formatnya, Ana mulai sibuk mencetak suratnya.
Ling Xie kemudian pamit mau makan siang dulu.
Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 ketika Mr. Duncan keluar dari kantornya melewati meja Ana tanpa berkata apa pun.
Ana tetap bertahan mengerjakan tugas dadakan itu. Tentu saja kerjaan itu tak bisa berjalan lancar begitu saja karena selalu ada saja gangguan dari telpon berdering dengan segala macam pertanyaan dan beberapa tugas minor yang mengganggu pekerjaan utamanya.
Yudi, bagian desain berjalan masuk ke kantor.
“Lhoooo Mbak Ana, masih kerja tho? Memang sudah makan?”
Makan siang maksudnya.
Ana melirik jam tangannya. Pukul 14.00.
“Belum Mas.”
“Walah, mbak. Kantin-e meh tutup lho.”
Yudi yang orang Sragen mendekati meja Ana untuk melihat apa yang sedang Ana lakukan.
Yudi mendekati meja Ana dan memperhatikan apa yang sedang Ana lakukan. “Woooo nggawe invitation nggo Appreciation Party yo Mbak?”
Ana mengangguk. ”Iyo, banyak gaweanku, Mas.”
“Biasa kuwi mbak, si Dakocan lho kuwi, marai sekretaris-e ora ono sing betah.”
Ana hanya tersenyum.
Dalam hatinya ia berkata bahwa dia tak punya pilihan untuk merasa nggak kerasan lalu resign atau kabur. Suka tak suka, betah tak betah, dia harus tetap bekerja dan mendapatkan uang.
Karena mamanya tak akan pernah bisa mengerti jika sampai anaknya gagal atau menyerah. Mau tidak mau, bisa tidak bisa, ia adalah tulang punggung keluarga.
Telepon berdering lagi, terpaksa Ana menghentikan pekerjaannya untuk menjawab telepon dulu.
Wajahnya terlihat tegang dan mulai panik.
Ana mulai menyadari bahwa sebenarnya sangat sulit untuk bisa menyelesaikan tugas ini semua tepat waktu. Apalagi dalam keadaan seperti ini, sebentar sebentar telepon berdering dan ada saja pekerjaan minor yang harus dikerjakan setelah menerima telpon.
Yudi yang ikut prihatin dengan keadaan rekan kerjanya, langsung duduk di meja Tiur yang kosong dan mengambil hasil print dari surat-surat yang sudah tercetak. “Tak bantuin stempel yo mbak.”
“Wah, makasih lho Mas. Tapi apa Mas Yudi tidak ada kerjaan?”
“Ono. Tapi udah 80% rampung. Tinggal acc Duncan wae.”
Suara lembut printer Laser Jet berpadu dengan bunyi keyboard komputer terdengar memenuhi kantor sales. Sesekali telepon berdering dan Ana terpaksa harus menjawabnya.
Dua staf sales marketing yang solid dan kompak itu saling bekerjasama.
Sepuluh menit kemudian, Ling Xie yang sudah selesai makan siang, bergabung menuju ke meja Ana. Dia membawakan sebuah box berisi muffin, croissant dan donat untuk Ana.
“Ini aku bawakan ini buat kamu Ana. Aku yakin pasti kamu belum sempat makan.”
Dengan penuh syukur Ana menyambut box itu lalu membukanya. “Thank you so much. Ling Xie. You are so nice.”
Ana mengambil croissant berukuran besar dan mulai menggigitnya. Rasanya enak sekali. Baru setengah yang berhasil masuk ke tenggorokannya, Ana mendengar ketukan langkah kaki dari sepatu pantofel pria, menggema di lorong depan kantor.
Cepat-cepat Ana menjejalkan setengah sisa croissant ke dalam mulutnya.
Tak lama kemudian masuklah sesosok pria bule tinggi, sedikit kurus dan berkacamata memasuki area kantor sales and marketing.
Mr. Duncan kembali setelah selesai makan siang. Matanya melirik ke arah Ana dan Yudi yang duduk pada meja kerja yang sejajar.
Tak seperti Ana yang mengkeret gelisah ketika bos bule itu mendekat, Yudi langsung menyapa dengan suara lantang dan…..medok dengan aksen Jawa tulen. “Good Afternoon, Misterrrr.”
“What are you doing there, Yudi?”
Dengan percaya diri Yudi menjawab, “I am helping Ana Misterrrr. Poor her. She is very busy.”
“Very good.”
Duncan mengangguk-anggukan kepalanya. “Well. I’m sure the poster for the Green Forest exhibition has been ready, right? You look very relaxed now.”
Lalu tanpa ada yang menduga, Mr. Duncan bukannya langsung masuk ke kantornya tetapi justru menghampiri meja kerja Yudi yang terletak berseberangan dengan meja meja untuk sekretaris dan para sales staff.
Area kerja Yudi lebih luas karena untuk bagian desain dan iklan. Dan di samping printer yang besar terdapat sebuah rak dengan beberapa kertas berserak di atasnya.
Mr. Duncan menarik sebuah kertas karton seukuran HVS dan berseru, “What is this?”
Baik kepala Ana, Ling Xie dan Yudi terangkat untuk memandang Mr. Duncan. Bos bule itu jalan menghampiri mereka sambil menunjukkan selembar kertas HVS ke arah mereka.
Pada kertas HVS itu terdapat gambar seorang wanita muda yang manis, berambut panjang. Ada ornamen desain grafis yang menarik di sekeliling gambar wanita itu.
Yudi langsung meletakkan stempel yang sedang dipegangnya dan berdiri.
“Ooohhhhh, that is my wife, misterrr I printed it for her as a special birthday gift. . She is beautiful, right mister.”
Duncan menatap Yudi dengan pandangan tidak percaya. “You give a printed photograph of your wife as her birthday gift? Using office equipment? Wahhh, I can’t believe it.”
Ling Xie menahan tawa sampai terbungkuk- bungkuk di sebelah meja Ana. Sedangkan Ana terbengong-bengong masih sedikit kurang nyambung.
“Are you angry, Mister? Come on, Mister. Only one piece for me. Be generous and kind, pleaseeee,” kata Yudi dengan wajah tanpa dosa.
Duncan menghela napas berat. “So…. you will give just this …a piece of paper to your beloved wife as a birthday gift?”
“Noooooo.”
Dengan bersemangat Yudi meraih sebuah pigura kayu yang rusak karena terlepas salah satu sisinya. “With a frame, of course. Just a broken frame, Mister. Don't worry. Repair it a little bit then it will be great again.”
Di seberang meja, Ana dan Ling Xie sudah setengah mati menahan tawa.
Yudi memegang hasil print gambar istrinya menghadap ke Mr. Duncan sambil tetap senyum senyum sinting. “She is beautiful, isn’t she?”
Duncan melangkah masuk ke kantornya sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara Yudi kembali ke mejanya untuk menyimpan karyanya.