Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Napas Nara memburu cepat. Tatapan dan pertanyaan Devan barusan membuatnya merasa tidak nyaman dan tidak siap. Dia sendiri masih belum yakin dengan perasaannya. Apakah ini rasa cinta, atau hanya rasa tanggung jawab atas dasar pernikahan? Keraguan itu menggerogoti hatinya.
Nara belum sempat memberikan jawaban, dua petugas keamanan supermarket mendekati mereka, menanyakan apakah semuanya baik-baik saja. Dengan bantuan mereka, Nara membantu Devan—yang masih terlihat lemas dan linglung—masuk ke mobil. Devan duduk di kursi penumpang, kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk mengemudi.
Setelah menyelesaikan pembayaran belanjaannya, Nara kembali ke mobil. Di kaca spion kecil di atas sun visor, ia melihat Devan sedang memandangi dirinya sendiri. Ekspresi wajah Devan yang terlihat kosong dan hampa membuat Nara merasa iba.
“Dev, aku udah selesai belanjanya. Kita pulang, ya,” kata Nara dengan lembut, suaranya penuh dengan kasih sayang dan keprihatinan. Ia mengenakan sabuk pengaman dan menjalankan mobil, meninggalkan hiruk-pikuk supermarket di belakang.
Di depan pantulan dirinya sendiri di kaca, Devan tersenyum sinis, senyum yang kosong dan penuh kepedihan. “Betapa menyedihkannya,” gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Sebuah rasa putus asa memenuhi hatinya. “Monster apa yang bersemayam dalam diriku?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang menggantung dan pertanda akan konflik internal yang akan dihadapi Devan di kemudian hari. Perjalanan pulang terasa sunyi, hanya diiringi suara mesin mobil dan rintik hujan yang mulai turun.
Nara sesekali melirik Devan yang tampak termenung, jari-jarinya bertaut erat di atas kemudi. Suasana di dalam mobil terasa berat, dipenuhi oleh pertanyaan dan keraguan yang belum terjawab.
Begitu sampai di basement apartemen yang remang-remang, Nara melepaskan sabuk pengamannya, perlahan-lahan, mencoba untuk melepaskan beban di hatinya.
Saat keluar, udara dingin dan lembap langsung menyapa mereka. Bau khas beton dan tanah sedikit menusuk hidung. Lampu-lampu neon yang redup menerangi deretan mobil yang terparkir rapi. Suara tetesan air dari atap basement terdengar samar di antara keheningan.
Nara membuka bagasi, hendak mengambil barang belanjaannya di sana. Namun, ternyata Devan lebih dulu meraih kantong belanja itu.
Jari-jari mereka bersentuhan sebentar, menciptakan percikan ketegangan yang tak terduga. Keduanya saling bertatapan, seolah-olah ada pesan tersirat di antara tatapan mereka.
Meskipun masih terlihat lemas, Devan berusaha menunjukkan kekuatannya. “Biar aku yang bawa, aku nggak selemah itu kok,” katanya, suaranya terdengar lebih mantap daripada sebelumnya, meski masih sedikit terbata-bata. Ia dengan cekatan, meski sedikit lambat, mengeluarkan barang belanjaan dari mobil.
Nara tersenyum, melihat usaha Devan untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Ia merangkul lengan Devan, dan mereka berjalan berdampingan menuju lift. Sepanjang perjalanan, Nara terus memandang Devan, seolah-olah ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi ragu-ragu.
Lift berbunyi, menandakan mereka telah tiba di lantai tujuan. Nara berkata, “Taruh dapur aja, Dev,” sambil meletakkan kunci mobil di meja.
Dengan patuh, Devan menuruti instruksi Nara, meletakkan barang belanjaan di atas meja.
“Aku obati dulu luka kamu,” kata Nara, suaranya lembut.
Wanita itu mencari kotak obat yang baru saja dibeli dan tanpa sengaja menjatuhkan dua kotak alat kontra sepsi yang dipilih Devan sebelumnya. Lagi-lagi, keduanya saling bertatapan, sebuah tatapan yang penuh makna.
“Kenapa kamu beli ini? Kamu nggak mau kita punya anak dulu ya?” Nara bertanya, suaranya terdengar sedikit khawatir.
Devan menundukkan kepala, suaranya terdengar bergetar. “Apa aku bisa menjadi ayah yang baik, sedangkan menjadi suami yang baik saja aku masih belum benar-benar mampu?” Pengakuan jujur itu mengungkapkan keraguan dan ketidakpastiannya.
Jawaban Devan membuat Nara tersentuh. Ia memeluk Devan erat-erat.
“Kamu udah jadi suami yang baik kok, Dev,” bisik Nara, suaranya bergetar menahan air mata. Ia mengusap air matanya yang tetap jatuh, lalu melanjutkan, “Mungkin kamu butuh penanganan. Aku akan carikan dokter yang bagus buat … penyakitmu. Kamu nggak usah takut orang tahu kelemahanmu, karena aku juga akan melindungimu, Dev.”
Setelah pelukan panjang yang menenangkan, Nara dan Devan duduk berdampingan di sofa. Suasana terasa lebih tenang, hanya diiringi suara lembut Nara mengobati luka Devan dengan hati-hati. Devan pasrah, menyerahkan sepenuhnya pada sentuhan lembut istrinya.
“Aku baca di artikel, kemungkinan yang kamu alami itu namanya DID, Dissociative Identity Disorder. Mungkin dulu kamu punya trauma yang bikin otak kamu menciptakan alter bernama Bara itu,” ujar Nara, suaranya lembut, jari-jarinya masih cekatan membersihkan luka Devan.
Devan yang saat ini terbebas dari cengkeraman kepribadian alternya, menatap Nara. Meskipun luka di pipinya masih perih, sentuhan lembut Nara membuatnya merasa tenang.
“Kalau mereka bilang aku gila, kamu gimana, Ra?” tanya Devan, suaranya serius, tatapannya menembus jiwa Nara.
Nara menghentikan kegiatannya, menatap mata Devan dengan penuh kasih sayang. Ia meraih tangan Devan, menggenggamnya erat.
“Aku percaya kamu bisa melewati ini, Dev. Aku yakin, kamu pasti bisa sembuh. Dan, kamu harus tahu, aku selalu ada di sini, bersamamu,” kata Nara, suaranya penuh keyakinan dan kasih sayang.
Devan menghela napas panjang, rasa syukur memenuhi hatinya. “Kamu mau tahu, kenapa aku menikahimu?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Ekspresi Nara berubah tegang. Jantungnya berdebar kencang, bayangan kata-kata Endra kembali menghantuinya.
“Karena Antariksa Hotel?” tebak Nara, suaranya pelan dan terkesan lebih hati-hati.
Devan tersenyum, mengacak rambut Nara dengan lembut. “Kamu kenapa percaya sekali sama omongan Endra? Memangnya, kamu bisa balikin hotel itu?” tanyanya, nada bicaranya mengejek, tetapi matanya penuh kasih sayang.
“Jadi, apa alasannya yang sebenarnya? Nggak mungkin kan kamu suka pada pandangan pertama dan langsung mau nikah?” tanya balik Nara yang masih penasaran.
“Emang iya,” jawab Devan cepat, menciptakan senyum mengembang di wajahnya.
Nara mengerutkan kening, kebingungan. “Tapi bukan di Heaven pertemuan pertama kita,” lanjut Devan, menjelaskan semuanya.
“Terus di mana?” tanya Nara, rasa penasarannya membuncah.
“Dua tahun lalu, aku sering melewati kantor lamamu. Aku sering melihatmu dari kejauhan, waktu itu kamu masih bersama Endra. Suatu hari, aku nggak sengaja menabrakmu di depan kantor. Kamu menolongku mengambil topiku yang jatuh. Saat itu, aku langsung tahu ….” Devan terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Aku langsung tahu ada sesuatu yang berbeda padamu, sesuatu yang menarik perhatianku.”
Nara mencoba mengingat, tetapi ingatannya hampa. Apa yang dikatakan Devan barusan, rasanya sulit sekali diingat. “Masak sih kita pernah ketemu, aku nggak ingat,” ujarnya, kebingungan.
Devan menghela napas. “Waktu itu kepala kamu cuma dipenuhi Endra, makanya kamu nggak ingat aku. Ya, memang sih waktu itu kita nggak sempat ngobrol karena keburu ada Endra. Tapi, setidaknya aku mengingat wajahmu dengan baik.”
Nara masih ragu karena sulit mengingat momen yang Devan maksud. Dia juga belum yakin kalau Devan langsung menyukainya hanya karena pertemuan singkat itu.
“Awalnya aku sedikit kesal karena ternyata kamu sudah jadi milik Endra, tapi pertemuan kedua kita ….” Devan memulai lagi kisahnya.
“Kenapa dengan pertemuan kedua kita?” Nara penasaran.
***
Pertemuan kedua di mana kira-kira gaess, ada yang bisa nebak? 🤭🤭
buat meramaikan suasana 😂
emang mau hajatan😂😂😂