Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reruntuhan Kuno di Kaki Bukit Menyimpan Petunjuk Jalur Rahasia
Kabut pagi belum sepenuhnya menghilang ketika rombongan kembali menapak dari Pos Bayangan menuju kaki bukit di bawah Puncak Perak. Suara desir angin dan gemericik air dari aliran sungai kecil menemani langkah mereka. Liang Feng mengusap lembut pedang naga di punggungnya, merasakan denyut tenang Tianlong Mark bersama simpul kekuatan yang kini ia pelajari kendalikan tanpa ragu.
Di depan, kerangka bangunan batu tua setengah terkubur lumut perak muncul di antara rerumputan tinggi. Tiang-tiang pilar retak, atapnya runtuh, namun pahatan naga dan rubah kuno masih tersisa di dinding batu. Lin Hua menelan ludah, matanya berbinar melihat peta sketsa Nenek Li. “Ini pasti… Reruntuhan Naga Perak.” gumamnya.
Bai Xue mendarat perlahan di dekat reruntuhan, bulu lehernya bergetar. “Energi roh… kuat di sini. Seakan menunggu saja kita datang.” desis telepatinya. Liang Feng menunduk memberi hormat, lalu membisikkan “Kita harus menemukan petunjuk jalur rahasia ke jalur gunung. Setiap langkah di sini wajib untuk hati-hati.”
Mereka memasuki reruntuhan melalui celah dinding yang roboh. Debu batu beterbangan tertiup kaki mereka, membentuk awan kecil di setiap pijakan. Nenek Li memimpin, tongkat kayu putihnya menyentuh permukaan lantai batu. “Bekas pijakan roh petapa zaman dahulu.” katanya pelan. “Mereka menyembunyikan jalan rahasia di tengah reruntuhan ini.”
Pertapa Wu dan Zhao berdiri menjaga pintu masuk. “Kami jaga di sini.” bisik Wu. “Hati-hati di dalam.” Liang Feng mengangguk, melangkah lebih dalam, diikuti enam relawan terkuat dan Lin Hua yang memegang buku catatan rapat.
Di tengah ruang utama, dinding batu memuat relief naga melingkar, di bawahnya tertulis aksara kuno. “Bumi dan Langit Bersatu.” Lin Hua memerah mengambil catatannya. “Nenek Li bilang… kalimat ini adalah kunci pertama dari Tuhan Naga menjaga pintu antara dua dunia.”
Liang Feng menggoreskan jari telunjuknya ke huruf, mencoba meraba lekukannya. Tiba-tiba, satu segmen relief sedikit bergeser, mengungkap tonjolan batu berbentuk naga mini. Bai Xue mengepak, aura peraknya menyorot tonjolan itu. “Tekan.” bisiknya. Liang Feng menekan tonjolan dan terdengar gemeretak halus dari arah satu panel lantai terangkat memperlihatkan tangga menurun.
Tangga batu licin menurun ke kegelapan lembap. Rombongan menyalakan obor asap biru, elusan bau herba menenangkan rongga dada mereka. Titik-titik lembab di dinding memantulkan cahaya temaram. Lin Hua mengecek kompas kayu dengan jarum bergetar, menunjukkan arah yang menukik tajam ke utara. “Lorong rahasia… menuju hati gunung.” ucapnya dengan antusias.
Sesekali terdengar gemericik tetesan air, seakan gua hidup dan bernapas. Liang Feng memimpin formasi dengan membelah dua, barisan depan dan belakang siap menjaga satu sama lain. Setiap langkah mereka diiringi denting pantulan kabut mengalir di dinding.
Setelah menuruni puluhan anak tangga, mereka tiba di ruang kecil berbentuk kapal terbalik. Di tengahnya terletak cawan batu hitam, permukaannya berlubang yang konon tempat petapa menaruh persembahan. Sekitar cawan terpahat lingkar mantra besar. “Satu tetes darah, satu niat suci, dan buka gerbang suci.”
Nenek Li maju, memegang kendi kecil berisi air embun purnama dan tetesan darah Bai Xue. “Kita harus menyatukan intisari roh manusia dan roh hutan.” katanya. Liang Feng berdiri di samping, menatap cawan suci. “Aku serahkan darah Tianlong Mark.” bisiknya. Ia menusukkan jarinya, tetesan cahaya hijau-perak menetes ke dalam cawan. Bai Xue meneteskan darah rubah peraknya, memadukan warna hijau dan perak.
Begitu tetesan terakhir menyatu, mantra di lingkar batu memancarkan cahaya lembut, lalu suara gemeretak keras menggema:l dengan dinding samping terbuka menyingkap lorong baru yang digariskan oleh pancaran cahaya kedua darah. “Ini dia… jalur rahasia menuju punggung gunung.” ucap Lin Hua dengan mata melebar. Relawan berebut memotret setiap lekukan dinding yang terbuka.
Liang Feng memegang pedang naga, mengangkat suara: “Terima kasih, roh penjaga reruntuhan… kami akan menghargai kepercayaan ini.” Bai Xue mengepak kecil, aura peraknya menyelimuti lubang gelap itu, memberi cahaya selanjutnya.
Lorong rahasia menanjak perlahan, dengan relief naga dan rubah saling berhadapan di dinding. Cahaya obor asap biru menari di permukaan basah. Namun setelah beberapa puluh meter, kadar oksigen mulai menipis. Nafas para relawan tertahan lebih cepat. “Hati-hati.” peringatkan Pertapa Zhao. “Kita perlu bergantian menarik napas.”
Liang Feng memprioritaskan pengaturan napas dengan tarik dalam, tahan, hembus perlahan. Setiap tarikan napas diiringi resonansi Tianlong Mark di dadanya. Bai Xue memancarkan aura peraknya menambah oksigen halus, sepintas bagai bisa hidup di tengah kekosongan.
Lin Hua menutup catatannya, lalu menggigil. “Lori warnaku… getaran roh… mulai stabil.” Ia melirik sekelilingnya dan melihat relief di dinding semakin detail, seperti menggambarkan peta memutar menuju permukaan.
Tiba-tiba, kabut halus menjelma di lorong, memisahkan rombongan menjadi dua kelompok kecil. Bayangan naga terpahat seakan hidup, kepala mereka melengkung, mata batu memancarkan kilau merah samar. Beberapa relawan tertegun dan terhipnotis oleh ilusi itu.
Liang Feng menghampar tangan, menyalurkan Tianlong Mark secara perlahan. “Tianlong Mark… Pecahkan bayangan.” Gelombang hijau-perak menembus kabut, memecah ilusi batu menjadi butiran debu. Bai Xue menimpali, aura peraknya melingkari relawan dan menenangkan keguncangan. “Jangan biarkan matamu menunjukkan ilusi,” desisnya.
Pertapa Wu mengibaskan jubahnya, meniup mantra penangkal. “Ilusi tenggelam… jiwa mengapung…” Kabut lenyap seperti mimpi buruk pudar.
Rombongan kembali melangkah, meniti anak tangga batu kuno yang semakin curam. Suara gemericik air berganti gema rintihan samar, seakan roh penjaga gua memohon restu. Lin Hua menempelkan tangannya di dinding, merasakan getar nadi batu. “Langkah kita berirama… ikuti ritme batu.” ucapnya.
Liang Feng mendelik, lalu meneriakkan. “Kaki kanan 1… kaki kiri 2… tangan naik 3…” Sesi hitungan ritmik itu menyelaraskan langkah. Bai Xue menari di samping, aura peraknya berdenyut menuntun, hingga rintian samar menghilang.
Setelah melewati lorong menanjak panjang, rombongan tiba di pintu batu terakhir. Relief naga dan rubah berjabat tangan, mengisyaratkan persahabatan manusia dan roh. Nenek Li menempelkan telapak tangan di batu, mengucap mantra penutup
“Naga dan Rubah, kini bersatu,
Buka pintu menuju permukaaan,
Bersama manusia, kita menjaga.”
Suara gemeretak menggema sekali, lalu pintu batu bergeser perlahan, menyibak sinar mentari sore. Angin pegunungan menerpa, membelai wajah lelah mereka dengan segarnya udara tinggi.
Begitu pintu terbuka, pemandangan lembah terbuka menyambut: hijaunya hutan perak bergradasi, lereng curam di bawah puncak berlapis salju. Cahaya matahari memantul di permukaan pepohonan, mencipta lukisan surreal. Para relawan terduduk menahan emosi, sementara Lin Hua menangkap setiap detik di buku catatannya.
Liang Feng berdiri di ambang pintu, menegakkan pedangnya. “Ini jalur rahasia… berkat petunjuk roh batu kuno. Kita satu langkah lebih dekat ke Puncak Perak.” Ia menoleh pada Bai Xue, suara pelan namun mantap: “Terima kasih, sahabatku.”
Bai Xue mengepak halus, aura peraknya bercampur cahaya hijau Tianlong Mark. “Bersama kita menuntun harapan… menuju puncak.”
Mereka pun menapak keluar, bersiap menghadapi lereng salju yang menanti dengan kepercayaan diri tinggi.