Demi bisa mendekati cinta sejatinya yang bereinkarnasi menjadi gadis SMA. Albert Stuart rela bertransmigrasi ke tubuh remaja SMA yang nakal juga playboy yang bernama Darrel Washington.
Namun usaha mendekati gadis itu terhalang masa lalu Darrel yang memiliki banyak pacar. Gadis itu bernama Nilam Renjana (Nilam), gadis berparas cantik dan beraroma melati juga rempah. Albert kerap mendapati Nilam diikuti dua sosok aneh yang menjadi penjaga juga penghalang baginya.
Siapakah Nilam yang sebenarnya, siapa yang menjaga Nilam dengan begitu ketat?
Apakah di kehidupannya yang sekarang Albert bisa bersatu dengan Cinta sejatinya. ikuti kisah Darrel dan Nilam Renjana terus ya...
Novel ini mengandung unsur mitos, komedi dan obrolan dewasa (Dimohon untuk bijak dalam membaca)
Cerita di novel ini hanya fiksi jika ada kesamaan nama dan tempat, murni dari kreativitas penulis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Memilih 'Rumah'
Pagi pun hadir, menyibak tabir gelap dengan segala peristiwa yang terjadi di ruang jenazah semalam.
Ranti, kini tergeletak di ruang ICU dengan alat-alat kesehatan yang menempel di tubuhnya, Rose juga masih tergeletak dengan kepala yang masih di perban dan tubuhnya penuh lebam dan aroma kewanitaan yang semakin berbau busuk.
Di kamar jenazah, tubuh Rangga sudah membiru dan membengkak, wajahnya hitam legam dengan mata terbelalak. Para modin mengeluarkan cairan ektra untuk melindungi diri mereka dari virus dan bakteri yang dikeluarkan dari cairan tubuh mendiang. Mereka memakai masker yang sudah di bubuhi parfum murni dari saripati bunga agar mengurangi aroma busuk yang memenuhi ruang jenazah.
"Padahal matinya baru semalam, kenapa baunya seperti ini sih!" keluh asisten modin.
"Hush! Lebih baik diam daripada membuka aib si mayit. Dosa sidik!" pesan kepala Modin.
Modin segera membalurkan parfum melati pada tubuh mendiang, lalu membungkusnya dengan kain kafan. Nilam berdiri lemah di depan kamar jenazah menunggu mendiang Papanya diurus dengan sempurna.
"Apa tidak ada keluarga lain yang bisa kamu hubungi, Nilam." ucap dokter muda yang berwajah tampan.
Nilam menggeleng, "tidak ada dokter. Setahuku, kami hanya hidup berempat tidak pernah ada keluarga papa atau mama yang datang ke rumah kami." ucapnya lirih.
"Nilam!" teriak Bram. Pemuda itu berlari bersama Mariana (Nana) menghampiri Nilam.
"Alhamdulillah kalian ke sini. Bram, Nana aku bingung banget... Hikks hikks." Nilam memeluk Mariana dan terisak di bahu sahabatnya itu.
"Aku sudah bilang papaku untuk membantu menyiapkan pemakaman papa kamu. Lalu bagaimana rose dan Tante Ranti?" tanya Bram.
"Mama... Hiikkss... Mama kena serangan stroke, rose mengalami gegar otak ringan dan sekarang sedang di rawat di ruang melati. Aku, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka, tiba-tiba saja angin kencang menghantam tubuh mereka dan menggulung mereka, Bram, Na... " tutur Nilam sambil terisak.
"Sudah... Sudah, kamu belum makan kan? Nih aku bawain kamu roti isi dan nasi cokot juga beberapa cemilan. Kamu tidak boleh sakit, Nilam." Bram mengusap bahu Nilam dengan lembut.
Mariana memapah Nilam untuk duduk di kursi ruang tunggu, membujuknya untuk mengisi perutnya.
Di sebuah Kamar Jenazah, Rumah sakit Pemerintah.
Para korban tawuran yang berjumlah sembilan orang sudah berjejer di sebuah ruangan IGD. Tiga orang dinyatakan meninggal di tempat karena sabetan benda tajam mengenai organ vital mereka, sementara enam orang lagi mengalami luka yang cukup parah namun masih bernyawa dan mendapatkan penanganan intensif.
Ketiga siswa yang sudah dinyatakan tidak bernyawa sudah di geser ke ruangan lain. Setiap detik sangatlah berharga, para medis pontang panting mencari kantung darah yang tersedia, orang tua korban sudah di hubungi pihak berwajib untuk segera mengenali anak-anak mereka.
Seorang pelajar yang menjadi ketua Genk tawuran itu masih terkapar dengan luka ringan di beberapa anggota tubuhnya, sementara di bagian kepalanya ia mengalami luka yang cukup serius.
Dia bernama Darrel Washington Tjokroaminoto.
Putra semata wayang dari pasangan Raden Santanu Tjokroaminoto dan Cleopatra, perempuan blasteran Amerika- Indonesia. Darrel tumbuh menjadi pemuda tampan, bertubuh tinggi dengan otot-ototnya yang mengeras karena sering dilatih untuk kepentingannya memuaskan nafsu akan tawuran dan balapan liar.
Setiap lima belas menit, brankar yang ditutupi kain putih keluar dari ruang IGD dan di pindahkan ke ruangan lain. Hingga akhirnya, total seluruh korban meninggal ada enam orang. Para pemuda belia itu sudah di jejer di ruang jenazah dengan berbagai luka.
Albert yang sejak semalam tertidur di atas pohon nangka terkesiap mengendus aroma cairan merah yang segar. Matanya memejam merasakan aroma itu memenuhi indera penciumannya. "Hmmm... Pesta di mulai." desisnya.
Dia berdiri dan berkeliling di ruangan itu, matanya tersita oleh bungkusan putih yang masih tergeletak di atas brankar. "Bukankah itu lelaki yang semalam meninggal? Kenapa aromanya busuk sekali, apa yang dia lakukan hingga membuat sang penguasa tanah Jawa itu marah besar?" gumamnya.
Nilam dan kedua sahabatnya masuk ke ruangan dengan wajah tegang.
"Bram, bukankah itu anak-anak Genk Rangers 10? mereka jadi korban tawuran!" pekik Nana
"Iya! Dimana Darrel... Si brenkzek itu! Semoga dia juga menjadi korban, biar dia tidak ganggu kalian lagi." geram Bram.
Albert menyimak obrolan para remaja itu dengan kening berkerut.
Seorang dokter muda mendekati Nilam bersama dengan Cahyo, papa Bram. "Nilam, pemakaman untuk papamu sudah siap. Lebih baik kita segerakan prosesi pemakamannya." ucap Cahyo
"Baik Pak Cahyo." jawab Nilam lemah. Nilam menatap dokter muda yang berdiri di depannya. "dok, aku titip mama dan saudariku. Selesai prosesi pemakaman, aku akan memenuhi pembayaran administrasi. Terima kasih dokter sudah bersedia menjadi penjamin kami." ucap Nilam dengan sopan.
Dokter muda bernama Megantara yang tertulis di papan namanya itu mengangguk, dengan tatapan yang sulit diartikan.
Ruang Jenazah kembali sepi, hanya ada Albert di pojok ruang. Ia memanggil mama dan papanya untuk segera merapat dengan cara telepati. Hanya butuh waktu sekian menit, kedua orangtuanya sudah hadir di sana.
"Kenapa kau memanggil kami di sini? Apa tidak ada tempat yang lebih baik selain di sini?" decak Natasya dengan geram, namun aroma anyir da rah membuat tubuhnya meremang. "Manusia-manusia dari jenis apa ini, mengapa aroma mereka berbeda sekali." ucap Natasya, matanya berbinar.
"Aroma rempah." ujar Albert tersenyum manis.
"Ah, dasar kalian! Otak VOC! dalam otak kecilmu itu hanya rempah dan minyak bumi." ketus Papa Albert.
Albert tertawa lebar, "Mom, Daddy... aku menemukan gadisku di sini. Tapi aku tidak ingin mencintainya dalam bayangan. Aku ingin seperti manusia normal yang bisa menyentuh dan melindunginya." ucapnya dengan tatapan yang penuh arti.
"Jadi kamu ingin 'memilih rumah' untuk menjadi inang kamu?" Natasya tersenyum dengan alis terangkat
Albert mengangguk, "Bantu aku mencari rumah yang cocok." pinta Albert.
Mereka membuka satu persatu para korban.
"Uughh... Dia sangat jelek Albert, giginya ompong!" tolak Natasya.
Albert membuka satu selimut lainnya.
"No! Dia terlalu pendek, dan... kudisan." Natasya bergidik.
Albert menyingkap lagi selimut demi selimut.
"Nah ini wajahnya lumayan... " seru Natasya.
"Wait, mam! Lihatlah 'aksesoris'nya, ugh... Masa sekecil itu." Albert menunjukkan mortir pemuda itu lalu di samakan dengan jarinya. Ia mengukur dengan kelingking, kepalanya menggeleng dengan tatapan prihatin.
"Aarrggkk... sepenting itukah?!" Natasya memutar bola matanya dengan malas sambil menggelengkan kepalanya dengan gaya dramatis.
Suara langkah kaki dan derit roda brankar kembali memasuki ruangan. Jenazah baru dari pemuda korban tawuran kembali di jajarkan di samping para rekannya. Para petugas meninggalkan ruangan setelah menurunkan suhu pendingin.
Albert menyingkap selimut pemuda itu hingga di bawah pinggulnya demi melihat 'Aksesoris' yang bagi Albert sangatlah fundamental, keluarga itu saling tatap dengan senyuman mengembang. "Yess!!" seru Albert seraya meninju udara dan memutar tubuhnya.
"Good luck my son!" seru Arnold lalu menempuh pundak putranya.
"Darrel." Albert mengeja nama yang terbordir di seragam sekolah pemuda itu.
"Welcome Darrel, I hope we can be good friends." sambutnya dengan mata yang berbinar seperti ribuan gemintang bersinar terang di manik matanya yang kelabu.
Di sebuah rumah mewah.
"Pah, Darrel sejak semalam tidak ada kabar. Mama sudah hubungi teman-temannya tidak ada yang bisa di hubungi." Cleo berjalan mondar mandir di depan suaminya yang duduk santai membaca koran.
"Tenang saja mam, anak buahku sedang mencarinya ke setiap sudut kota. Kamu terlalu memanjakannya mam, makanya dia seenaknya bergaul. Kalau kali ini dia terlibat tawuran lagi, aku akan membekukan semua kartu debitnya." ancam Raden Santanu Tjokroaminoto.
Dering telepon membuyarkan obrolan sepasang suami istri yang sedang menikmati sarapannya.
"Apa?! Di rumah sakit mana? Baik... Baik kami akan ke sana." wajah Santanu memucat dengan tangannya gemetar saat memasukkan ponsel ke saku celananya.
"Ada apa pah?" tanya Cleo.
"Da— Darrel... Di rumah sakit mam." gugup Santanu.
"Ap... " tubuh Cleo melemah dan luruh ke lantai marmer.
"Duh! Mam, tidak tepat sekali kamu pingsan sekarang. Ayo mam, kita harus segera ke rumah sakit." panik Santanu.
Cleo membuka matanya sedikit lalu berusaha mencari kekuatan dari pelukan suaminya. "Pah, firasat mama mengatakan... "
Santanu segera mengangkat tubuh istrinya keluar dari rumah dan segera melesatkan mobil mewahnya membelah jalan raya.
...🦇🦇🦇🦇🦇...
B e r s a m b u n g...
Mohon dukungannya untuk karya baruku ya sob, terima kasih 🩷🩷
aku yang polos ini... pengen ngintip dikit 🙈🤭
malah nyanyi... gw 🙈
😵