Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.
Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?
Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.
Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudut Tania
Suara bising terdengar nyaring dari arah dapur hingga ruang tamu. Ditambah suara musik koplo yang keras membuat rumah ini menjelma jadi tempat hiburan malam. Tuti asyik bergoyang sambil mengaduk adonan dalam rantang. Sedangkan Mila sudah memasang koyok di kepalanya. Bahkan, Amanda dan Nabilla yang berada di dalam kamar Tania harus menyumpal telinga ketika mendengar Tuti berteriak nyaring.
"Duhhh, itu Mbak Tuti lagi apa sih? Nyanyi enggak jelas. Udah gitu suaranya kayak bebek," ujar Nabilla.
Tania mendesah berat. "Udahlah, jangan ladenin mereka. Kita fokus ke pembicaraan," ujar Tania. Dia mengambil duduk di atas kasur—tepat di depan Amanda dan Nabilla.
"Wih, ternyata lo bisa fokus juga, ya," ujar Amanda.
Tania mendengus. "Serius, ini gue benar-benar pusing," ujar Tania.
"Apa yang lo pusingkan? Cerita dari awal sampai akhir. Jangan ada scene yang terlewat. Oke?" ujar Nabilla.
Tania menghela napas panjang. Dia sedang mempersiapkan dirinya untuk mulai bercerita. "Jadi 'kan, gue sama Aldo itu akhir-akhir ini dekat. Tapi serius, ini bukan karena kemauan. Karena emang ya ... kita enggak sengaja sering ketemu," ujar Tania.
"Terus?" tanya Amanda.
"Lo tahu, 'kan? Jean itu teman dekatnya. Dan sebagian sesama cewek gue paham betul. Dia pasti punya perasaan sama Aldo. Sama seperti gue ke kak Kevin," jelas Tania.
"Oh, stop!" potong Nabilla. "Jangan bilang ... kalau—"
"Iya," potong Tania. Dia menatap wajah kedua temannya. "Aldo suka sama gue," ujarnya.
"Apa?!" ujar Amanda dan Nabilla bersamaan.
Tania mendengus kesal. "Dengerin dulu. Jangan ambil kesimpulan," ujarnya.
"Oke, oke. Sekarang tarik napas, abis itu buang."
Tania mengikuti titah Amanda untuk mengatur napasnya.
"Gue enggak tahu dia beneran suka sama gue atau enggak. Karena, dilihat dari matanya. Dia suka banget sama Jean. Enggak mau kehilangan," ujar Tania.
"Terus? Sekarang gimana?" tanya Nabilla.
"Dia bilang sih lagi mencoba perasaan," jawab Tania.
"Apa? Mencoba perasaan gimana?" tanya Nabilla.
"Ya ... dia bakal nentuin hati dia buat siapa," ujar Tania.
"Dan salah satunya berarti harus dibuang?" tanya Amanda. "Tan, perasaan enggak dibuat main-main."
"Gue tahu, Amanda. Tapi, gue juga sedang mencoba hal yang sama," ujar Tania.
Nabilla merangsek maju. "Hal yang sama gimana?"
"Gue juga lagi mencoba perasaan gue untuk siapa."
Ujaran spontan itu membuat jidatnya jadi sasaran toyoran Amanda.
"Gila lo! Jangan main-main, Tania!" ketus Amanda.
"Iya tahu, tapi apa salahnya mencoba?"
"Salah lo itu kalau seandainya salah satunya ada yang tersakiti," ujar Nabilla. Nadanya jauh lebih tenang dari Amanda.
Tania melenguh. "Ya, terus gimana? Ini terlalu rumit. Gue suka sama kak Kevin, dia juga sama. Perasaan Aldo sama Jean itu sama kayak perasaan gue ke kak Kevin. Kita berempat sama-sama enggak mau kehilangan masing-masing. Tapi ... ya gitu," jelas Tania.
Hening. Sampai akhirnya, Nabilla menepuk bahu Tania. "Lo enggak salah kok mencoba perasaan. Tapi kalau bisa jangan jadikan orang lain korban. Kasih sesuatu ke Aldo. Kasih cinta ke dia. Biar dia tahu hatinya ada di mana," jelasnya.
"Sebetulnya ada lagi yang mau gue omongin," ujar Tania.
"Apa?"
"Kak Kevin mau kuliah di Jerman. Ninggalin gue."
...******...
Rumi hendak menuju kamarnya sembari membawa secangkir kopi. Tetapi saat dia melewati kamar Dion dengan pintu setengah terbuka dia tertarik untuk masuk ke dalamnya. Entahlah, hati dia tergugah begitu saja saat melihat kasur Dion berantakan.
Rumi membereskan seprai Dion agar rapi kembali. Setelah dipastikan rapi dia mengambil secangkir kopi yang semula di atas nakas. Tetapi, ada hal lain yang menyorot perhatiannya. Ketika dia mengangkat kopi, sebuah foto jatuh. Rumi mengambilnya dan melihat foto Dion bersama suaminya.
"Tante Rumi?" Dion bergegas masuk ke dalam kamar.
"Ah, tadi enggak sengaja jatuhin foto kamu sama om," ujar Rumi.
Dion tersenyum tipis. "Enggak apa-apa." Matanya melirik seprai. "Makasih ya udah diberesin."
"Sama-sama. Tante keluar dulu."
Dion mengangguk.
Rumi menghilang dari balik pintu membuat Dion bernapas dengan lega. Untung saja misinya tidak ketahuan.
...******...
"Oh iya, aku jadi ingat sesuatu, lho, Bu," ujar Tuti.
"Apa? Saya nggak dengar. Matikan dulu itu musiknya."
Tuti menurut. Dia langsung mematikan musik box-nya. "Aku ingat sesuatu, lho," ulang Tuti.
"Sesuatu apaan?" tanya Mila.
"Yang nyariin Ibu Nyonya itu," ujar Tuti.
"Iya, siapa orangnya?" tanya Mila.
"Itu lho, yang mas ganteng di kafe waktu itu."
Ucapan Tuti membuat tangan Mila berhenti mengoles selai di atas kue. Dia berhenti otomatis seperti robot.
"Maksud kamu Dion?" tanya Mila.
Tuti mengangguk. "Iya. Mas Dion."
"Emangnya ... dia nyari saya kenapa?" tanya Mila.
"Dia cuma tanya pemilik kafe ini," ujar Tuti.
Mila diam. Dia meletakkan selai di tangannya lalu lanjut mengambil topping kacang untuk ditaburkan di atasnya. Pikirannya tiba-tiba berkelana pada mantan suaminya; Ardi.
...******...
Siswa-siswi berhamburan keluar gerbang saat bel pulang berbunyi. Tari berjalan sendirian sambil memasang airpods di telinganya guna mendengarkan musik. Kepalanya ikut bersenandung mengikuti irama musik.
"KAK TARI!"
Tari refleks mencopot salah satu airpods-nya lalu menoleh ke belakang. Dia menyipitkan mata saat melihat Tania berjalan mendekat ke arahnya.
"Hai, ada apa?"
Tania sampai di depan Tari. Dia mengatur napasnya yang saling berkejaran. "Gue mau bicara."
...******...
Semua keluh kesah yang Tania rasakan dia limpahkan pada Tari. Dan ajaibnya, Tari menyimak dengan baik. Tetapi yang lebih ajaib dari itu, kenapa ya Tania bisa curhat dengan Tari? Hal itu disebabkan karena Nabilla berkata, "Coba deh, curhat sama yang lebih tua. Pasti paham. Kayak kak Tari gitu misalnya."
Di gazebo inilah Tania mencurahkan isi hatinya.
Tari paham dengan perasaan Tania. Dia menepuk bahu gadis itu. "Lo enggak salah kok. Dunia perasaan emang gitu, Tan. Harus coba-coba biar kita bisa belajar," ujarnya.
"Terus, menyakiti dan tersakiti itu hal yang wajar?" tanya Tania.
Tari tersenyum simpul. "Lo tahu? Kadang manusia suka bingung, suka gelisah dengan resiko. Padahal, dengan besarnya resiko yang kita ambil, maka semakin besar pelajarannya. Menyakiti atau disakiti, itu adalah hal yang lumrah," jelas Tari.
Tania menghela napas panjang. "Jadi, gue harus kasih cinta ke Aldo biar dia paham? Tapi, kalau seandainya gue sendiri yang tersakiti gimana?"
"Jangan dipikirin, semua hal pasti akan berakhir manis. Lo harus percaya, lo punya yang terbaik nantinya," jelas Tari.
"Gue nggak enak sama Jean."
"Santai aja. Enggak ada yang disalahkan dalam kasus ini. Semuanya benar. Cuma, cara menanganinya aja gimana," ujar Tari.
Tania tersenyum simpul. "Oke, gue paham gue hari gimana."
"Oke. Gue balik dulu, ya. Lo juga ada raker buat acara ulang tahun sekolah, 'kan?"
Refleks, Tania menepuk jidatnya. "Oh iya, gue lupa. Gue duluan, deh. Dahhh."
Tari terkekeh geli saat Tania berlalu begitu saja. Sikap ceroboh gadis itu memang sulit dihilangkan. Samar-samar dia melihat helaian rambut dari balik pilar. Tari mengernyit, warna rambutnya sedikit pirang seperti Jean.
...******...
"Nah, 'kan! Itu dia orangnya!"
Semua mata refleks tertuju pada Tania yang baru saja muncul dari balik pintu dengan napas memburu.
"Abis dari mana aja lo? Sekbid Kerohanian tapi kelakuan bar-bar," maki Bima.
"Maaf telat. Abis ada urusan," ujar Tania.
Aldo mengangguk. "Silahkan duduk."
Tania menatap Aldo dengan ekspresi terkejut. Dia pikir Aldo akan menghukumnya. Tetapi ternyata tidak sama sekali. Dia justru terlihat sangat tenang. Tak ingin terhanyut dalam tatapan Tania segera mengambil duduk di sebelah Naomi.
Bertepatan dengan itu Jean masuk dan langsung menghadap Tania. "Ini tempat duduk gue."
Semua mata tertuju ke arah Jean. Baru kali ini mereka mendengar Jean dengan nada sedikit ketus dan juga sikap sedikit kasar. Padahal, biasanya Jean akan mengalah dengan sendirinya.
"Oh, maaf. Gue pindah deh." Tania akhirnya beralih duduk di sebelah Bima.
Suasana ruangan yang tadinya hening berubah jadi tegang sesaat. Nico berdeham, berusaha mencairkan suasana.
"Oke, lanjut bahas proposal," ujarnya.
Bima itu salah satu orang yang peka. Dia peka kalau Jean sedang menahan kesal. Dan peka kalau Tania merasa sedikit sakit hati. Dia berbisik pelan, "Lo nggak apa-apa, Tan?"
Tania melirik sinis. "Enggak usah sok peduli."
Bima berdecih.