Fabian dipaksa untuk menggantikan anaknya yang lari di hari pernikahannya, menikahi seorang gadis muda belia yang bernama Febi.
Bagaimana kehidupan pernikahan mereka selanjutnya?
Bagaimana reaksi Edwin saat mengetahui pacarnya, menikah dengan ayah kandungnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myatra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 13
Febi masih terpaku beberapa saat di pinggir jalan melihat mobil Fabian berlalu, sampai tak terlihat lagi oleh pandangan matanya.
"Begini ternyata rasanya berjauhan dengan suami. Baru sebentar saja sudah terasa ada yang hilang." Febi mendesah pelan.
Febi belum tahu pasti bagaimana perasaannya terhadap Fabian saat ini, terlalu dini untuk mengartikan jika itu perasaan cinta. Mereka baru bersama kurang dari empat puluh delapan jam. Namun harus Febi akui, jika hatinya merasa nyaman bersama Fabian.
Faktor usia sepertinya sangat berpengaruh, terhadap perlakuan Fabian yang sangat menghormati dan menghargainya. Fabian tak pernah memaksa, berbeda dengan dulu saat bersama Edwin.
Edwin adalah laki-laki pertama, selain papah dan bang Chandra di hidup Febi. Sebelumnya Febi tak pernah dekat dengan teman laki-lakinya. Hanya sebatas teman.
Dulu, Febi menerima Edwin, karena merasa tak enak pada Edwin yang terus-terusan mendekatinya, dan selalu memberinya hadiah. Bagi Febi saat itu, perasaannya tak penting, selama dia merasa selalu diistimewakan oleh Edwin.
Perlakuan Edwin yang memintanya selalu ada kontak fisik setiap mereka bersama, Febi anggap sebagai kompensasi dari kebaikan Edwin kepadanya. Tak sekali dua kali Edwin meminta lebih, tapi Febi dengan tegas menolak, ancaman putus membuat Edwin selalu mengurungkan niatnya.
Sampai pada kejadian memalukan itu terjadi, Febi merasa sangat malu sekali pada kedua orang tuanya. Saat itu Febi seolah tak sadar, menerima perlakuan seperti itu dari Edwin.
"Pengantin baru ngapain melamun di pinggir jalan?" Febi tersadar dari lamunannya saat beberapa tetangganya lewat dan menegurnya
"Paling ditinggal lagi sama suami penggantinya." Belum sempat Febi menjawab, yang lain sudah menimpali.
"Makanya jadi anak perempuan itu, harus bisa jaga diri, hamil sama siapa, nikah sama siapa." Tetangga yang lain lebih julid lagi mengomentari hidup Febi.
Febi malas menanggapi kejulidan tetangga-tetangganya.
"Permisi bu-ibu, saya masuk dulu." Febi tersenyum kemudian masuk ke rumahnya. Menjelaskan pun akan percuma, yang julid tetap saja julid.
Febi membalikan badan, ternyata mamah Ria berdiri di ambang pintu mendengar apa yang tetangganya ucapakan kepada Febi.
Febi merasa tak enak, "Maafkan, Febi, ya mah. Sudah membuat keluarga malu."
"Semua orang pernah berbuat khilaf, yang penting Febi bisa mengambil hikmah dari kesalahan Febi yang lalu, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Biarlah waktu yang akan menjawab rasa penasaran mereka."
"Terima kasih, mah. Selalu ada untuk Febi." Febi menghampiri mamah Ria, mengambil tangannya dan mencium punggung tangannya takdzim.
"Ada apa neh? Pagi-pagi sudah melow." Pak Sofyan berjalan ke arah pintu.
"Papah mau kemana sudah rapi?"
"Mau ngecek toko sebentar, dah beberapa hati papah nggak ke toko."
"Mamah ikut?"
"Mamah nggak ikut, abang kamu katanya hari ini mau ke rumah mertuanya."
"Yah, rumah sepi lagi dong, semua pada pulang."
"Mamah sama papah mah sudah biasa, apalagi sebentar lagi kamu ninggalin kami juga."
"Mamah ko bilang gitu." Mata Febi sudah berkaca-kaca.
"Kewajiban seorang istri itu selalu mendampingi suaminya. Tugas papah dan mamah sudah selesai menjaga kamu, saat ada laki-laki yang mengucapkan ijab qabul menikahi mu. Namun kami selalu ada untuk kamu sepanjang sisa hidup kami." Mamah Ria menasehati Febi, tangannya membelai rambut panjang Febi, menyelipkan di telinga, kemudian mengecup kening Febi.
Febi membalas dengan memeluk mamah Ria, "Terima kasih sudah jadi mamah terbaik untuk Febi."
Pak Sofyan yang melihat itu tersenyum, kemudian mendekap erat keduanya.
"Papah berangkat dulu ya!"
"Iya, pah. Hati-hati."
Bergantian mamah Ria dan Febi mencium punggung tangan pak Sofyan.
¤¤FH¤¤
Rumah terasa sangat sepi. Chandra dan Istrinya sudah berangkat ke rumah orang tua Ana. Mereka akan menginap semalam disana, dan besok langsung berangkat ke kota tempat Chandra bekerja langsung dari rumah keluarga Ana.
Febi baru selesai menyetrika baju-baju yang dia cuci tadi pagi. Sudah di pisahkan antara baju-bajunya dan Fabian, dengan baju kepunyaan papa mamanya.
Mamahnya tak ada di ruang keluarga, mungkin sedang istirahat di kamar. Tak ingin mengganggu, Febi menyimpan keranjang baju di meja, biar nanti mamahnya yang simpan. Febi mengambil bajunya dan kembali ke kamar.
Febi merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, memiringkan badannya ke tempat Fabian selama dua hari kemarin tidur. Febi mengelus bantal yang digunakan Fabian, dan meletakan kepalanya di atasnya, masih tercium aroma Fabian.
Belum Sehari Fabian meninggalkannya, Febi sudah merindukannya. Tak menyangka jika jodohnya justru papahnya Edwin. Febi mengambil ponselnya yang sepi, terlupakan sejak pagi karena mengerjakan pekerjaan rumah. Febi baru ingat, jika dia belum mempunyai nomor ponsel suaminya, mereka belum saling menyimpan nomor ponsel.
Hari-harinya akan semakin sepi, karena dia tak bisa menghubungi, ataupun dihubungi Fabian. Sedang asyik memikirkan Fabian, ponsel Febi berbunyi, panggilan video. Nama yang tertera sebagai pemangil 'GANTENG TERSAYANGKU'.
Febi mengernyitkan dahinya, seingatnya dia tak pernah menyimpan kontak dengan nama sealay ini. Bahkan dulu saat bersama Edwin, nomor ponselnya hanya dinamai Edwin, tanpa embel-embel apapun.
Poto profil yang nampak hanya poto pemandangan sebuah pantai, tak memberi petunjuk siapa pemanggilnya. Dering berhenti, namun tak lama berselang, ponselnya kembali berdering. Di dorong rasa penasaran, Febi menekan ikon hijau, menerima panggilan, namun sengaja ponsel dia jauhkan dari wajahnya, ingin mengetahui dulu siapa melakukan panggilan video kepadanya.
"Assalamualaikum istriku..." Terdengar suara Fabian, menyapa sang istri.
"Lho ko nggak ada wajahnya? Feb, Febi..." Fabian memanggil-manggil nama Febi.
Febi mengarahkan kameranya kehadapannya, sehingga keduanya bisa langsung saling bertatap muka. Febi tersenyum yang dimata Fabian terlihat sangat manis. Menambah kerinduan Fabian.
"Om, tahu dari mana nomor aku?" Febi tak menyangka Fabian menghubunginya.
"Ada deh..."
"Om, buka-buka handphone aku ya?"
"Kemana aja? Dari tadi di telepon nggak di angkat, dikirim pesan nggak di balas."
Fabian tak menjawab pertanyaan Febi, malah balik bertanya padanya.
Febi melihat ke atas layar ponselnya, terlihat ikon WhatsApp pesan dan WhatsApp telepon.
"Tadi habis nyuci, Om ninggalin cucian banyak, ini baru selesai nyetrika, pegel tangannya." Febi pura-pura merajuk. Fabian tertawa melihat wajah manja Febi, menggemaskan.
"Kasian istriku... Nanti pas ketemu, saya pijitin ya." Fabian menaik turunkan alisnya, menggoda Febi.
Febi tertawa mendengarnya. "Om lagi dimana?"
"Lagi di rumah, tiduran di kamar."
"Sama, aku juga lagi tiduran di kamar."
"Kayanya ada yang kangen neh. Sampai tidur-tiduran di atas bantalnya."
Febi merasa malu karena ketahuan tiduran dibantal bekas Fabian, pipinya bersemu pink.
"Om kali yang kangen sama aku, buktinya dari tadi ngehubungin aku terus."
"Emang. Om kangen sama Febi. Om balik lagi ya ke sana, jemput Febi."
Mendengar itu Febi justru tertawa lepas, Fabian terpesona melihat tawa Febi.
"Om mau lihat rumahnya dong! Gede nggak?"
"Ok, sebentar ya!"
Fabian berdiri dari tempat tidurnya, sekarang nampak jelas sosok Fabian di ponsel Febi, sepertinya Fabian memang suka memakai pakaian kasual, pantas terlihat lebih muda dari usianya. Pakaian yang Fabian bawa dari rumah orang tuanya dan di simpan di rumah Febi pun semuanya model kaos dan celana chino.
"Ini kamar kita.. Gimana suka nggak?" Fabian menunjukan seisi kamarnya, kamar dengan cat berwarna biru langit, dengan penataan perabotan yang terlihat rapi. Febi menganggukan kepalanya, pertanda menyukai kamar Fabian, apalagi sekilas tadi dia melihat seperti ada beranda di salah satu sudut kamar Fabian.
"Kamarnya di lantai dua, Om?"
"Iya, dilantai dua. kalau kamu suka, cepetan sini!"
"A Bian, udah siang, cepetan makan dulu!"
Obrolan keduanya terhenti sejenak, ketika terdengar suara seorang wanita yang menyuruh Fabian makan. Fabian yang sedang membelakangi pintu membuat kamera menangkap jelas sosok wanita yang membuka pintu kamar Fabian. Wanita muda, pertengahan dua puluh tahunan dan lumayan cantik.
"Iya sebentar, Yang. Nanti Aa nyusul ke bawah."
Pikiran buruk langsung terlintas di benak Febi, 'Siapa perempuan itu? kenapa bebas membuka pintu kamar Fabian, tanpa mengetuk pintu dahulu. Kenapa Fabian memanggilnya yang."
Febi langsung mematikan ponselnya.
BERSAMBUNG.
penasaran terus
gak enak banget dibaca
semoga bian dan Febi bahagia selalu
kan katanya sejak kecil Fabian kurang kasih sayang mama