"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
Perlahan, ia mendekat ke jendela, membuka tirai tipis itu… dan mendapati sosok yang sudah dikenalnya: Jotroyudho, berdiri tegak dengan lengan disilangkan, senyum miring menghiasi wajahnya.
"Yudho… malam-malam begini, kau ngapain ngendap di situ?" Lingga menyipitkan mata, sedikit kesal karena tidur yang tak kunjung datang malah semakin terganggu.
Yudho menyeringai. "Lingga… keluar sebentar. Anggap saja… aku ingin melihat seberapa kuat tekadmu untuk hidup di dunia ini."
Lingga menghela napas, sudah bisa menebak arah pembicaraan itu. "Kalau kau mau menantang, kenapa nggak besok pagi saja? Kenapa harus tengah malam begini?"
Yudho mengangkat bahu santai. "Semangat bertarung seseorang baru terlihat jelas… saat malam gelap, saat tubuh lelah, saat pikiran penuh beban. Kalau kau bisa menyalakan api dalam keadaan begini… maka aku mengijinkanmu menetap di Padepokan Ranjapati."
Lingga terdiam sejenak. Urat di pelipisnya menegang.
"Jadi dia menganggap aku belum layak?" batinnya mendidih. "Lagian, siapa juga yang mau terus-menerus di tempat ini?!"
"Baiklah," desis Lingga sambil membuka jendela lebar-lebar. "Kalau itu maumu… ayo kita selesaikan sekarang."
Yudho menyeringai lebar. "Bagus. Ini baru namanya lelaki."
Dengan lompatan ringan, Yudho melesat lebih dulu ke halaman belakang padepokan. Lingga menarik napas dalam-dalam, lalu mengikuti, menjejak tanah pekarangan yang dingin dan lembap.
Kabut tipis bergelayut di atas tanah, langit gelap hanya dihias bintang redup. Suasana begitu sunyi, hanya ada suara dedaunan yang berdesir pelan.
Yudho berdiri tegak, tangannya kini terbuka, siap bertarung. "Jangan takut, Lingga. Aku takkan membunuhmu. Ini cuma… ujian kecil."
Lingga mengepalkan tinjunya, matanya membara. "Jangan remehkan aku."
Tanpa aba-aba, Yudho bergerak lebih dulu, cepat seperti angin. Pukulan lurusnya melesat ke arah dada Lingga.
Lingga nyaris terlambat menghindar, tapi tubuhnya bergerak refleks ke samping. Angin dari pukulan itu saja cukup membuat napasnya tercekat.
"Gila… cepat banget!"
Yudho tak memberi waktu. Ia melompat maju, kakinya menghantam tanah, menciptakan hempasan angin yang menampar wajah Lingga. Serangan berikutnya datang — tendangan samping ke arah pinggang.
Lingga menahan dengan kedua lengan, terdorong mundur dua langkah, tubuhnya bergetar menahan benturan.
"Ayo, Lingga!" seru Yudho, matanya kini bersinar semangat. "Kalau kau cuma bertahan, kau akan jadi tumbal di tempat ini! Serang aku! Gunakan kemarahanmu, gunakan nyali yang kau bawa dari kerajaan asalmu itu!"
Lingga menggeram. Dadanya panas, pundaknya nyeri, tapi tekadnya kini meluap. Ia menerjang maju, melepaskan pukulan ke arah rahang Yudho.
Yudho mengelak tipis, namun pukulan itu cukup dekat untuk membuatnya mengernyit.
"Bagus!" seru Yudho. "Sekali lagi!"
Lingga tak menunggu, ia menyerang bertubi-tubi — tinju, tendangan, ayunan lengan. Gerakannya masih kasar, belum halus seperti pendekar sejati, tapi kekuatannya besar, mentah, liar.
Yudho mulai bergerak lebih serius, menepis, menghindar, tapi pada satu momen, sebuah pukulan Lingga hampir menyentuh dadanya, memaksa Yudho mundur beberapa langkah.
Lingga terengah, peluh menetes di pelipisnya. Tapi di matanya, kini berkobar nyala baru.
Yudho mengusap dagunya, menyeringai puas. "Heh… ternyata kau memang bukan sembarangan bocah."
Lingga mengatur napas, pundaknya naik turun. "Aku tak datang ke dunia ini untuk mati sia-sia. Kau kira aku lemah? Aku akan bertahan… dan kalau perlu, aku akan jadi lebih kuat dari kalian semua!"
Yudho tertawa pendek. "Itu dia… semangat itu yang ingin kulihat." Ia menurunkan tangannya, sikap bertarungnya mengendur. "Cukup untuk malam ini. Ujianmu… lulus."
Lingga meludah ke tanah, mencoba menyembunyikan senyuman tipis yang muncul di sudut bibirnya. "Kalau begitu, besok pagi… jangan kaget kalau aku datang lagi menantangmu."
Yudho menyipitkan mata, geli. "Aku tunggu, tuan prajurit Agniamartha..."
Angin malam kembali berembus, membawa aroma tanah basah. Lingga menatap langit, napasnya masih memburu. Tapi di dadanya, kini ada bara kecil — bara yang takkan padam.
"Ahh, malam-malam ada-ada aja! Urgh... badanku..." rintih Lingga.
***