Aluna seorang gadis manis yang terpaksa harus menerima perjodohan dengan pria pilihan keluarganya.Umurnya yang sudah memasuki 25 tahun dan masih lajang membuat keluarganya menjodohkannya.
Bukan harta bukan rupa yang membuat keluarganya menjodohkannya dengan Firman. Karena nyatanya Firman B aja dari segala sisi.
Menikah dengan pria tak dikenal dan HARUS tinggal seatap dengan ipar yang kelewat bar-bar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ismi Sasmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 KEANGKUHAN SISKA
"Dek, itu di depan ada mbak Zizah nanyain kamu" lapor Bang Firman.
Aku pun memakai hijab instan untuk menemuinya diruang tamu.
"Mbak. Udah lama ?" sapaku.
"Baru aja, Luna". Jawabnya mengulas senyum.
Aku pun mendaratkan bokong di sofa.
"Mbak mau minum apa ? Biar aku bikinin sebentar."
"Halah gak usah repot-repot, Luna. Mbak kesini itu mau jenguk kamu. Bukan numpang minum." tolaknya.
"Gak repot kok, Mbak. Sebentar ya !"
"Gak usah, Luna. Mbak kesini cuma mau nanya sesuatu sama kamu."
"Nanya apa, Mbak ?"
"Itu...emmm...kamu keguguran ya, Luna ?" tanyanya hati-hati.
"Iya. Kok Mbak bisa tau ?" tanyaku penasaran.
"Tadi pagi waktu ketemu Firman beli bubur. Mbak tanya kabar kamu, katanya kamu baru aja keguguran tadi malam. Makanya Mbak kesini mau lihat kondisi kamu. Mbak turut prihatin. Semoga segera diberi ganti ya, Luna".
"Makasih ya, Mbak".
"Sama-sama. Tetap semangat ya,Luna. Kamu pucat banget. Jangan lupa minum obat dan istirahat yang cukup biar kamu cepat pulih. Maaf Mbak pamit dulu ya ! Gak bisa lama-lama. Soalnya tadi sudah janji nemenin suami ke acara selamatan rumah baru temannya. Nanti besok-besok Mbak kesini lagi. Oiya, ini ada bolu pandan. Mbak bikin sendiri lho. Semoga kamu suka ya" ucapnya sambil menyerahkan kotak bolu padaku.
"Masya Allah. Makasih Mbak sudah repot-repot" ucapku menerima kotak yang dia angsurkan.
Setelah Mbak Zizah pamit, aku berniat ke dapur untuk menyimpan bolu di kulkas.
Tapi kedatangan Bang Firman ke ruang tamu mengurungkan niatku.
"Duduk dulu, Dek. Abang mau ngomong sama kamu" titahnya.
Aku pun mengambil tempat duduk yang jauh darinya. Rasanya masih kesal saja jika harus berdebat.
"Mau ngomong apa ?" tanyaku memecah kesunyian.
"Besok Ica sudah bisa pulang. Abang harap kamu bisa mengontrol emosi kamu agar tidak ribut dengan Siska. Pusing kepala Abang denger kalian ribut. Kayaknya rumah ini tak ada tenang-tenangnya semenjak kamu suka ribut dengan Siska. Siska itu emang dasarnya kayak gitu. Seharusnya kamu bisa maklum. Jangan malah ladenin omongan dia. Jangan dikit-dikit baper lah, Dek !"
Aku tersenyum kecut menanggapinya. Segitunya dia membela istri orang dan mengorbankan perasaan istrinya sendiri.
"Jadi maksud Abang, aku harus nurut sama Siska gitu ? Harus ngalah ? Bukan aku yang suka nyari ribut, Bang. Tapi dia yang memulai lebih dulu. Aku gak suka di perlakukan seenaknya. Aku capek kayak gini terus, Bang" ucapku ketus.
"Emang kamu fikir, Abang gak capek nyari uang buat nafkahin kamu ? Semenjak kamu hamil, harus bedrest, gak boleh ini itu, harus minum obat, periksa ke Bidan. Kamu fikir itu gak pakai uang ? Mana obatnya mahal. Tapi ujung-ujungnya kamu keguguran juga. Sia-sia pengorbanan Abang selama ini" ucap Bang Firman dengan nada kembang kempis.
Aku terdiam karena syok dengan pengakuannya. Jadi selama ini dia merasa terbebani ?
"Ini semua gara-gara kamu yang gak becus jaga kandungan. Waktu Siska hamil gak kayak gini kok. Dia sehat aja tuh waktu hamil. Gak pakai bedrest segala. Ica juga terlahir sehat. Gak kayak kamu yang harus minum obat penguat kandungan segala. Tapi gak guna sama sekali. Gara-gara kamu aku gagal jadi seorang ayah" lanjutnya lagi dengan nada tinggi.
Aku mencengkram erat pinggiran sofa, menahan gemuruh di dada.
Dia menyalahkanku atas keadaan yang sama sekali tak aku inginkan. Dan parahnya, dia kembali membandingkan ku dengan Siska. Keterlaluan !
Air mata turun tanpa aba-aba. Aku benci diriku yang cengeng.
"Kalau Abang sudah keberatan nafkahin aku, bilang Bang ! Aku bisa pulang kerumah orang tuaku. Gak perlu Abang nyiksa batinku terlalu dalam. Ini sudah sangat sakit" rintihju pilu.
"Emang kamu punya ongkos untuk pulang kampung ?" tanyanya meledek.
Aku bungkam. Karena memang aku tak punya simpanan uang sama sekali. Bang firman sendiri yang mengelola keuangan. Aku hanya diberi uang pas-pasan untuk belanja.
"Makanya kalau gak punya uang, gak usah sok berani sama suami. pakai ngancam mau pulang kampung lagi ! Mau pulang kampung pakai apa ! Jalan kaki ? Kamu itu udah enak semua kebutuhan udah Abang cukupin, malah bertingkah. Kalau gak punya uang, mending kamu nurut apa kata suami" ucapnya meninggalkanku keluar rumah.
Kepalaku berdenyut memikirkan bagaimana caranya aku bisa dapat uang untuk ongkos pulang kerumah orang tuaku. Lama-lama dirumah ini hanya membuat mentalku tertekan.
***
Besoknya Ica kembali ke rumah. Bang firman menyambutnya dengan antusias. Segera dia meraih Ica yang sedang di gendong Haikal.
"Aduh berat nih ! Bawain dong Luna !" titah Siska sambil menyerahkan tas berisi pakaian padaku.
Bang firman melirikku, seolah memberi isyarat agar aku menerimanya. Dengan enggan ku terima tas yang disodorkan Siska.
Mereka masuk lebih dulu dengan aku yang mengekor di belakang. Karena bawaan lumayan berat.
"Bikinin minum, haus nih !"
Baru tiba dirumah sudah perintah orang sesuka hati.
Untuk saat ini ku turutin. Sampai nanti aku punya uang untuk ongkos pulang. Biarlah aku bersabar dulu menghadapi arogan Siska.
"Aku simpan tas ini ke kamar kalian dulu. Baru bikinin minum" ucapku malas.
Rasanya ingin ku lempar tas ini ke muka dia yang songong itu.
Ketika aku kembali untuk membawakan minuman, terdengar mereka sedang asyik ngobrol.
"Kan aku udah bilang, Bang. Gak usah manjain istri Abang. Abang sih mau-maunya ngurusin dia. Hamil kok banyak banget drama. Akhirnya keguguran juga kan" ucap Haikal melirikku sinis.
"Lagian dia aja gak sayang sama keponakan suaminya. Gimana mau dipercaya punya anak sendiri. bisa-bisa anaknya sendiri nanti dibanting kalau lagi kesal". Timpal Siska ikut mengompori.
Aku yang tak tahan dengan ucapan pedas mereka, bergegas ingin pergi setelah meletakkan minuman di meja.
"Tuh kan gak sopan banget. Orang masih ngomong dia main pergi gitu aja." sungut Siska.
Aku tak memperdulikannya, dan tetap melanjutkan langkahku ke dapur untuk menyimpan nampan. Ku tuang segelas air dari teko dan meminumnya hingga tandas.
Ketika aku sedang meratapi nasib, tiba-tiba Bang Firman menyusulku ke dapur.
"Cepat bikinin makanan buat mereka. Kasihan mereka kecapean dari rumah sakit. Stok makanan masih ada kan ?" ucapnya dengan nada dingin.
Aku hanya mengangguk tanpa protes.
Bang firman benar-benar menganggapku layaknya pembantu yang harus melayani "keluarganya".
Dengan hati dongkol luar biasa ku buka kulkas untuk mengambil bahan yang ku perlukan.
Aku hanya masak yang simpel. Ayam dan tempe goreng serta bening bayam. Setelah selesai masak, langsung ku tata di meja untuk dihidangkan.
Aku pun ke depan untuk memberitahu "nyonya" jika makanan sudah siap.
"Sekalian beresin ini, Luna. Gak enak nanti kalau tiba-tiba ada orang datang, tapi rumah berantakan gini" ucapnya sambil menunjuk meja yang berserakan.
Aku hanya menghela nafas lelah. Mencoba memupuk kesabaranku yang semakin di uji.
Baru selesai membereskan ruang tamu, sudah terdengar teriakan Siska dari dapur.
"Alunaaaaaa....!"
Entah apa lagi maunya manusia satu ini. Dengan langkah malas ku seret kakiku menuju dapur.
"Kenapa ?" tanyaku ketus.
"Masakan kamu gak enak. Ayam gorengnya hampar banget. Mana tempenya hampir gosong gini. Terus sayurnya juga terlalu asin lagi". Layaknya seorang juri MasterChef dia mengomentari masakanku.
Ku lihat Bang Firman dan Haikal sangat lahap makannya bahkan sampai nambah. Ini lidah Siska yang bermasalah, apa otaknya yang konslet ?. Tapi isi piringnya habis juga.