“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MH 30
Rombongan polisi yang membawa Leo dan kawan-kawannya akhirnya tiba di kantor polisi. Mahira berdiri tidak jauh dari sana. Ia merasa lega karena laporan yang ia buat ternyata cepat ditindaklanjuti.
Saat turun dari mobil, Leo berpapasan langsung dengannya. Tidak ada sedikit pun rasa takut di wajah Leo. Padahal Mahira membayangkan Leo akan panik atau setidaknya terlihat tertekan. Tatapannya yang datar justru membuat Mahira heran.
Leo melirik Mahira dengan sinis. Langkahnya berhenti tepat di depannya. Ia mencondongkan tubuh dan berbisik pelan, namun sangat jelas di telinga Mahira.
“Kamu kira ini akhir. Ini baru awal dan kamu akan menyesal.”
Tubuh Mahira refleks menegang. Ketakutannya melonjak. Sejenak ia berpikir jangan-jangan penangkapan ini hanya sandiwara. Jangan-jangan Leo memang sudah menyiapkan sesuatu.
“Cepat masuk,” tegas Pak Ramli sambil menarik perhatian Leo.
Ucapan itu sedikit mengendurkan ketegangan Mahira. Setidaknya ada orang yang tegas mengamankan keadaan.
Setelah Leo dan kawan-kawannya digiring masuk, seorang polisi yang berjaga mendekati Mahira.
“Kalau Ibu mau pulang, silakan Bu,” ucapnya sopan.
“Ya pak,” jawab Mahira pelan.
Ia menatap pintu kantor polisi yang baru saja tertutup. Ada lega, tapi rasa cemas tetap menggantung.
“Semoga keadilan benar-benar tegak,” ucapnya dalam hati sebelum melangkah pergi.
...
Mahira merasa belum siap kembali ke sekolah. Ia yakin akan terjadi kehebohan besar dan ia tidak ingin berada di tengah situasi itu. Setelah menimbang sebentar, ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Setidaknya ia bisa kembali menemani Nurma. Untuk pulang ke kontrakan pun ia enggan. Rasanya belum aman.
Mahira sadar betul bahwa masalah yang ia hadapi ini berat. Ia tidak mau membebani Doni yang baginya masih remaja.
“Biar aku yang tanggung semua risiko ini. Nurma harus mendapatkan keadilan dan Doni masih muda. Masa depannya tidak boleh ikut terganggu,” pikir Mahira dalam hati.
Ia memesan ojek online dan sepuluh menit kemudian sudah sampai di rumah sakit. Tanpa menunda, ia bergegas menuju kamar tempat Nurma dirawat. Namun begitu masuk, Mahira tertegun. Brankar tempat Nurma sebelumnya berbaring sudah kosong.
Rasa takut langsung menyelimuti Mahira.
“Bodoh sekali. Kenapa aku meninggalkan dia sendirian? Harusnya tadi aku minta bantuan polisi untuk menjaga Nurma,” gumamnya panik.
Mahira segera menuju ruang perawatan dan mendekati meja perawat.
“Bu, pasien atas nama Nurma kemana ya?” tanya Mahira dengan napas masih memburu.
Perawat membuka tablet dan mengecek data pasien.
“Oh, sudah pulang sejak dua jam yang lalu,” jawabnya santai.
Mahira tercengang. “Kenapa dipulangkan, Bu? Bagaimana dengan biayanya?”
“Oh, sudah dibayar oleh pasien sendiri,” jawab perawat tetap dengan nada datar.
“Kenapa dipulangkan? Kondisinya bagaimana?” tanya Mahira lagi, kini lebih cemas.
“Kondisinya sudah stabil dan pasien minta pulang. Dia juga menyatakan tidak punya keluarga, jadi bertanggung jawab atas dirinya sendiri,” jelas perawat.
Mahira sedikit lega mendengar kondisi Nurma membaik, tetapi perasaannya bercampur kaget.
“Ibu tahu dia pulang kemana?” tanyanya berharap.
Perawat hanya menggelengkan kepala. “Maaf Bu, kami tidak diberi informasi itu.”
Mahira terdiam. Kekosongan perut terasa naik ke dadanya. Ia harus mencari Nurma, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Mahira akhirnya memutuskan pulang ke kontrakan. Dalam hati ia berharap Doni tidak ada di sana. Jika perlu, Doni menghilang saja supaya tidak terseret masalah. Ia tidak ingin remaja itu ikut merasakan tekanan yang seharusnya bukan tanggung jawabnya.
Setibanya di kontrakan, harapannya terkabul. Kontrakan itu kosong. Tidak ada tanda kehadiran Doni.
“Syukurlah. Aku harap kamu selamat dan bahagia, Don. Walau sebentar, kamu berharga untukku. Kamu membuat hari-hariku yang buruk berubah jadi indah,” ucap Mahira pelan. Bibirnya tersenyum kecil meski matanya terasa panas.
Ia mengambil ponsel dari tasnya. Dengan tangan yang sedikit bergetar, Mahira membuka kontak Doni lalu menekan tombol blokir. Ia menatap layar beberapa detik sebelum ponselnya kembali gelap.
Ia membuka grup sekolah. Grup itu tampak sepi, seolah tidak ada peristiwa besar yang baru saja terjadi. Padahal siang tadi telah berlangsung penangkapan besar, bahkan menangkap siswa yang paling ditakuti dan paling berkuasa.
“Mungkin mereka takut bersuara. Tapi aku tidak akan membiarkan ketidakadilan mati hanya karena takut dan diam,” gumam Mahira.
Ia meletakkan ponsel dan menghempaskan tubuhnya ke kasur. Hari itu terasa sangat panjang baginya. Fisik dan pikirannya benar benar terkuras. Mahira menutup mata, berharap tidur bisa sedikit menghapus rasa takut yang menempel di dadanya.
Pagi pun datang. Mahira terbangun dengan kepala penuh keresahan.
“Aku harus menemukan Nurma. Tapi kemana harus kucari?” gumamnya. Jemarinya mengetuk ngetuk kemeja yang ia kenakan, tanda pikirannya sedang berputar keras.
“Mungkin dia ke sekolah. Nurma anak rajin,” ucap Mahira menyimpulkan.
Ia bersiap memakai seragamnya. Meski ada rasa takut yang terus menghantui, Mahira sudah mengambil keputusan. Ia tidak akan mundur.
Setelah memesan ojek online, Mahira berangkat menuju sekolah. Sepanjang perjalanan, dadanya berdetak tak karuan. Keringat dingin terus membasahi tubuhnya, seolah menegaskan betapa genting situasinya.
Sesampainya di sekolah, tampak Ibu Fani sedang menyambut para siswa. Mahira menghampirinya, hendak bersalaman. Namun Ibu Fani justru melengos, bahkan mundur selangkah.
“Jangan mendekati aku, Mahira. Aku takut terseret masalah,” ucap Ibu Fani dengan suara gemetar.
Mahira hanya mengangguk kecil, kemudian melangkah menuju ruang guru. Di lorong, ia berpapasan dengan Saras. Tatapan Saras dingin dan menusuk.
“Jangan sok pahlawan. Kamu tidak akan bisa membayangkan betapa buruknya nasib kamu ke depan,” ucap Saras pelan namun tajam.
Deg. Jantung Mahira berdetak kencang. Tubuhnya gemetar, tetapi ia berusaha menyembunyikannya.
“Aku yakin keadilan akan tegak,” jawab Mahira dengan suara yang ia paksa tegar.
“Anda terlalu naif. Anda tahu bodoh dan polos itu beda tipis,” balas Saras sebelum berlalu.
Mahira menarik napas berat. Ia melanjutkan langkah menuju ruang guru. Ruang itu awalnya ramai, tetapi mendadak senyap ketika Mahira muncul. Semua orang menahan suara.
Mahira duduk dengan gugup. Tak lama kemudian, Anggi datang menghampirinya.
“Kamu ceroboh, Mahira,” ucap Anggi tanpa basa basi.
“Maksud kamu?” tanya Mahira.
Anggi menyodorkan ponselnya. Mahira membaca layar itu.
“Satu Polsek dipindah tugaskan karena salah tangkap.”
Di bawah judul berita, terlihat foto Pak Ramli sedang disidang propam. Tubuh Mahira langsung gemetar.
“Lelucon macam apa ini,” pikirnya panik.
“Kita ini hanya guru, Mahira. Dan mereka siapa. Harusnya kamu tahu diri,” ucap Anggi dingin sebelum berlalu.
Mahira merasakan napasnya sesak. Ia tidak sanggup berada di ruangan itu lagi. Ia segera bangkit dan keluar menuju halaman sekolah.
Baru beberapa langkah, terdengar raungan motor sport yang sangat keras. Mahira tertegun. Lima motor masuk bersamaan dan berhenti di halaman sekolah.
Salah satu pengendara membuka helmnya.
Mahira membeku.
“Leo,” ucapnya pelan.
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh