"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SATU
Des4h napas Tama terasa berat di telinga Maya, mengisi keheningan kamar yang gelap. Tubuh kekar suaminya men!ndih nya, bergerak ritmis, namun entah mengapa, Maya merasa hampa. Mata Maya menatap langit-langit, mencari pola samar dari bayangan lampu jalan yang menembus celah gorden tipis. Sudah lima tahun mereka menikah, lima tahun menjalani ritual ini, dan selama itu pula, sensasi yang dijanjikan dalam novel romantis atau film dewasa tak pernah benar-benar singgah.
"Kamu baik-baik saja?" Suara serak Tama berbisik di samping telinganya, setelah tubuhnya melesu.
Maya mengangguk, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang sudah terlalu akrab. "Tentu, Mas. Aku baik-baik saja." Ia memejamkan mata sesaat, berharap Tama tidak menyadari kebohongan tipis dalam suaranya. Percuma menjelaskan. Setiap kali Maya mencoba mengutarakan perasaannya, Tama hanya akan menghela napas, mengatakan bahwa hal seperti itu wajar setelah bertahun-tahun menikah, bahwa cinta sejati bukan hanya tentang ranjang. Dan Maya tahu itu. Ia sungguh tahu. Tapi ada bagian dari dirinya yang berteriak, menginginkan lebih. Sesuatu yang melampaui rutinitas yang membosankan ini.
Tama bergeser, membalikkan badan memunggunginya. Maya mendengar dengkuran halus mulai terdengar. Cepat sekali. Selalu begitu. Maya
berbaring telentang, kedua tangannya melipat di atas perut. Aroma keringat Tama masih menempel di seprai, bercampur dengan sedikit bau oli dan bensin yang sepertinya sudah menjadi aroma khas suaminya. Aroma bengkel. Aroma yang seharusnya menandakan kerja keras dan nafkah, tapi entah kenapa, malam ini terasa menyesakkan.
Ia mencoba mengingat masa-masa awal pernikahan mereka. Dulu, Tama adalah segalanya. Pria sederhana dengan senyum tulus yang menjanjikan masa depan yang stabil. Cinta mereka tumbuh dari pertemanan di masa remaja, disetujui kedua keluarga. Pernikahan mereka digelar sederhana, namun penuh harapan. Maya masih ingat bagaimana jantungnya berdebar setiap kali Tama menggenggam tangannya, setiap kali tatapan mereka bertemu. Ada janji di mata Tama saat itu, janji akan kebahagiaan.
Tapi janji itu perlahan memudar. Kebahagiaan menjadi kata yang terlalu besar. Lima tahun. Dan tidak ada seorang pun yang pernah mengisi kekosongan di rahimnya. Setiap bulan, kekecewaan itu kembali menusuk, seiring dengan bercak darah yang muncul. Keluarga besar mereka, terutama ibu-ibu arisan di kompleks, tak henti-hentinya menanyakan. "Kapan? Sudah lima tahun, loh. Jangan menunda-nunda." Pertanyaan-pertanyaan itu seperti duri kecil yang menusuk-nusuk, membuat Maya merasa semakin gagal sebagai seorang istri. Tama sendiri tidak pernah membahasnya secara langsung. Hanya tatapan sendu setiap kali mendengar kabar teman yang hamil, atau menggendong bayi kerabat. Mungkin ia juga merasakan hal yang sama.
Maya menoleh ke samping, menatap punggung Tama.
Tubuh yang dulu terasa hangat dan penuh gair4h, kini terasa asing, bahkan di ranjang yang sama. Ia merindukan percakapan larut malam, sentuhan-sentuhan acak yang tidak berakhir di ranjang, atau sekadar genggaman tangan saat mereka menonton televisi. Semua itu hilang, digantikan oleh kesibukan Tama di bengkelnya yang kecil, dan kesibukan Maya mengurus rumah tangga yang seolah tak pernah ada habisnya.
"Maya, kamu belum tidur?" Suara Tama tiba-tiba memecah lamunannya.
Maya terkesiap. "Oh, sudah, Mas. Baru saja mau terlelap."
"Kenapa belum tidur?" Tama berbalik, kini menghadapnya. Dalam kegelapan, Maya bisa merasakan tatapan suaminya.
"Tidak apa-apa, Mas. Hanya... memikirkan sesuatu."
Maya memilih jawaban aman.
"Memikirkan apa? Pasti pekerjaan bengkel lagi, ya?
Atau tagihan listrik?" Tama terkekeh pelan, menarik Maya mendekat. Tangan besarnya menepuk-nepuk pundak Maya, gerakan yang lebih mirip menenangkan anak kecil daripada memeluk istri.
Maya membiarkan dirinya ditarik. Hangat. Tapi hampa. "Bukan, Mas. Hanya... memikirkan kenapa kita belum diberi momongan."
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Tama berhenti menepuk pundaknya. Maya bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Ia
tahu ini adalah topik sensitif.
"Sudahlah, Yank. Jangan terlalu dipikirkan. Rezeki itu sudah diatur sama Allah," kata Tama akhirnya, suaranya terdengar lelah. "Kita kan sudah usaha ke mana-mana. Mungkin belum waktunya."
Maya memejamkan mata, menahan diri untuk tidak mengatakan, "Usaha? Usaha apa? Kapan terakhir kali kita benar-benar usaha dengan niat dan kesenangan?"
Percakapan mereka tentang anak selalu berakhir begini.
Seolah-olah topik itu adalah jurang dalam yang tak boleh diintip terlalu lama.
"Aku cuma berharap, Mas. Kadang... rasanya sepi,"
bisik Maya, suaranya nyaris tak terdengar.
Tama menghela napas. "Sudah, tidur saja. Besok Mas harus bangun pagi. Banyak kerjaan di bengkel." Ia kembali membalikkan badan, memunggungi Maya.
Dan begitulah. Percakapan mereka berakhir, seperti biasa, tanpa resolusi, tanpa kehangatan yang benar-benar mengisi. Maya merasakan air mata menetes dari sudut matanya, membasahi bantal. Bukan tangisan histeris, hanya kesedihan yang perlahan menggerogoti. Kehidupan mereka adalah rutinitas yang monoton. Bangun, sarapan ala kadarnya, Tama ke bengkel, Maya mengurus rumah, lalu menyiapkan makan malam dan menunggu Tama pulang. Kadang ia membantu mencuci pakaian kotor Tama yang bau oli, atau menambal celana Tama yang robek. Semua demi hidup yang pas-pasan.
Maya mendes4h. "Pas-pasan." Kata itu seolah menjadi mantra. Hidup mereka selalu pas-pasan. Untuk makan, untuk bayar listrik, untuk bayar sewa rumah kecil mereka. Tidak ada sisa untuk bersenang-senang, untuk liburan, apalagi untuk pemeriksaan kesehatan yang lebih serius terkait kesuburan. Maya sudah lama mengubur impiannya untuk memiliki rumah sendiri, rumah dengan halaman kecil yang bisa ia tanami bunga. Ia mengubur impian untuk mengenakan baju baru yang cantik, atau sekadar pergi ke salon. Semua itu terasa mewah.
***
Pagi itu, Maya terbangun lebih dulu. Sinar matahari pagi menyelinap masuk, membuat sudut-sudut kamar yang kemarin gelap kini terlihat jelas. Seprai kusut, bantal yang sedikit pesing, dan wajah Tama yang terlelap pulas dengan dengkuran halus. Ia memandang suaminya. Tama pria yang baik. Ia bekerja keras. Ia bertanggung jawab. Ia tidak pernah kasar. Tapi kebaikan saja tidak cukup untuk mengisi kekosongan.
Maya bangkit perlahan, melangkah ke kamar mandi. Di depan cermin, ia melihat pantulan dirinya. Wanita berusia 28 tahun, dengan mata sedikit cekung dan senyum yang jarang sekali sampai ke mata. Namun, lekuk tubuhnya masih sempurna. Pinggang ramping, perut rata, dan dada penuh yang selalu menjadi perhatian orang. Ia masih ingat dulu banyak pria yang mengaguminya, tetapi ia memilih Tama, pria yang menjanjikan kesederhanaan dan ketulusan. Kini, kesederhanaan itu terasa seperti jebakan.
Ia menyentuh pipinya. Dingin. Seperti hidupnya. Ia merindukan kehangatan. Kehangatan yang bukan hanya sekadar suhu tubuh, tapi kehangatan yang merasuk hingga ke dalam jiwanya.
Setelah membersihkan diri, Maya menyiapkan sarapan sederhana: nasi goreng dan teh tawar hangat. Tama terbangun tak lama kemudian, langsung menuju meja makan.
"Pagi, Yank," sapanya sambil menguap.
"Pagi, Mas," jawab Maya pelan, menuangkan teh.
Mereka sarapan dalam diam. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring. Setelah itu, Tama langsung bersiap-siap berangkat ke bengkel.
"Aku berangkat ya, Yank," kata Tama, mencium kening Maya sekilas. Ciuman yang terasa cepat dan dingin.
"Hati-hati, Mas," balas Maya.
Begitu pintu tertutup, Maya kembali merasakan hening yang mencekam. Rumah kecil itu terasa begitu luas dan kosong. Ia menatap tumpukan piring kotor dan pakaian yang perlu dicuci. Rutinitas yang sama, hari demi hari. Ia membersihkan rumah, mengepel lantai, mencuci pakaian. Setiap sudut rumah ia sentuh, namun tak ada satu pun yang bisa mengisi kekosongan di hatinya.
"Ya Tuhan," bisiknya pada dirinya sendiri, "Sampai kapan begini?"
Suara mobil berhenti di depan rumah menarik perhatiannya. Ia melirik ke jendela. Sebuah truk pengangkut barang besar sedang membongkar muatan di rumah sebelah.
Rumah kosong itu akhirnya ada penghuninya.
Seorang pria jangkung dengan kaos putih polos dan
celana jins, berdiri di dekat truk. Wajahnya tidak terlihat jelas dari kejauhan karena tertutup topi. Tapi posturnya tegap, bahunya lebar. Maya melihat beberapa orang berseragam pekerja sedang menurunkan barang-barang mewah: sofa kulit, meja kaca, kotak-kotak besar berisi perabot.
Jauh berbeda dengan kehidupan pas-pasan Maya.
Pria itu melepas topinya, mengusap dahinya. Ia menoleh ke arah rumah Maya, seolah merasakan tatapan. Mata Maya terpaku. Wajahnya bersih, rahang tegas, hidung mancung, dan senyum tipis yang entah mengapa membuat jantung Maya berdesir. Ada aura berbeda dari pria itu. Aura yang memancarkan kemewahan, kepercayaan diri, dan... sesuatu yang berbahaya.
Maya segera menarik diri dari jendela, jantungnya berdebar kencang. Bukan karena ketahuan mengintip, tapi karena sensasi aneh yang tiba-tiba menyergapnya. Siapa dia? Dan mengapa kehadirannya tiba-tiba membuat rutinitas paginya terasa begitu... berbeda?
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya