Jingga seorang gadis cantik yang hidupnya berubah drastis ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru menjadi orang pertama yang melemparkannya keluar dari hidup mereoka. Dibuang oleh ayah kandungnya sendiri karena fitnah ibu tiri dan adik tirinya, Jingga harus belajar bertahan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.
Awalnya, hidup Jingga penuh warna. Ia tumbuh di rumah yang hangat bersama ibu dan ayah yang penuh kasih. Namun setelah sang ibu meninggal, Ayah menikahi Ratna, wanita yang perlahan menghapus keberadaan Jingga dari kehidupan keluarga. Davin, adik tirinya, turut memperkeruh keadaan dengan sikap kasar dan iri.
Bagaimanakan kehidupan Jingga kedepannya?
Akankan badai dan hujannya reda ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R²_Chair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya baru untuk hidup baru
Hampir dua minggu Jingga tinggal di rumah Kake Arga. Waktu berjalan perlahan, namun setiap harinya terasa seperti lembar-lembar baru yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Ia mulai terbiasa bangun pagi mendengar suara ayam jantan, aroma tanah basah, dan langkah langkah berat Kake Arga menuju dapur. Di tempat inilah, untuk pertama kalinya ia merasa aman.
Setiap malam Jingga memeriksa hp nya berharap sang ayah menghubunginya dan menanyakan kabarnya,namun semuanya nihil.Tak ada satu pesan pun yang di kirim sang ayah untuk dirinya.Rasanya sakit yang teramat,betapa ayahnya benar-benar sudah tidak peduli pada dirinya.
Meski begitu, ada satu hal lain yang diam-diam mulai mengobati dan mengisi ruang di hatinya yaitu kehadiran Arjuna, pemuda yang beberapa kali ia temui tanpa sengaja. Selalu dengan kamera di tangan, selalu dengan senyum yang tidak menuntut jawaban.
Dan hari itu, pertemuan mereka kembali terjadi.Pagi hari udara menampar kulit dengan dingin khas pegunungan ketika Jingga keluar rumah membawa keranjang kecil. Hari ini ia berjanji menemani Kake Arga mengecek kebun yang lebih jauh dari biasanya. Sebelum berangkat, Kake Arga memberinya syal rajut warna cokelat.
“Ini buat kamu. Biar nggak masuk angin,” ucapnya.
Jingga tersenyum kecil, memeluk syal itu sebentar sebelum mengenakannya.
“Terima kasih, Kek.”
Mereka berjalan pelan menuruni jalan setapak. Daun-daun berjatuhan, embun menempel seperti perhiasan kecil di ujung rerumputan. Beberapa kali Jingga berhenti untuk menikmati pemandangan.
“Kamu suka lihat-lihat begini?” tanya Kake Arga sambil mengamati gerak Jingga.
Jingga mengangguk. “Rasanya damai.”
“Kedamaian itu mahal, Nak,” jawab Kake Arga. “Kalau kamu sudah bisa merasakannya, berarti hatimu mulai sembuh.”
Jingga terdiam. Kata-kata itu menampar lembut, tapi juga menghangatkan. Ia tak tahu apakah hatinya benar-benar sembuh tapi setidaknya, ia tidak merasa sendirian lagi.
Ketika mereka sampai di bagian kebun yang paling luas, suara langkah kaki di tanah mengalihkan perhatian Jingga. Sesosok pria berdiri beberapa meter dari mereka, mengangkat kamera dan tampak sangat fokus.
Arjuna.
Ia memotret cahaya pagi yang menembus sela daun, lalu menurunkan kamera dan terkejut melihat Jingga.
“Kita bertemu lagi,” katanya sambil tersenyum.
Jingga mengangguk gugup. “Kebetulan.”
“Di tempat seperti ini, kebetulan itu jarang,” jawab Arjuna santai.
Kake Arga hanya tersenyum singkat lalu melanjutkan pekerjaannya. Jingga berdiri canggung, bingung harus berbicara apa. Arjuna melihat ekspresinya, lalu mendekat sedikit.
“Kamu nggak apa-apa? Waktu itu kamu lari seperti dikejar awan gelap,” Arjuna menatapnya penuh khawatir,teringat beberapa hari lalu saat tak sengaja bertemu
Jingga sedikit menunduk. Ia masih belum sanggup bercerita banyak tentang masa lalunya.
“Sekarang sudah lebih baik.”
“Syukurlah,” jawab Arjuna ringan. “Oh iya, aku ada sesuatu.”
Ia membuka tas kamera, mengeluarkan foto ukuran kecil.
“Ini fotomu waktu pertama kali aku lihat kamu.”
Ia menunjukkannya.
Jingga terkejut. Dalam foto itu, ia tampak sedang memandangi sungai dengan wajah kosong. Cahaya senja jatuh tepat di rambutnya, membuatnya terlihat seperti potongan adegan film. Namun ia juga terlihat rapuh.
“Kamu memotret aku?” Jingga nyaris berbisik.
Arjuna mengangkat kedua tangan. “Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu. Tapi waktu itu ekspresimu jujur sekali. Seperti seseorang yang sedang mencari alasan buat tetap tinggal di dunia.”
Jingga menelan ludah, merasakan sesaknya kenangan.Namun wajah Arjuna tidak memperlihatkan penilaian atau rasa iba hanya pengamatan murni seorang seniman.
“Aku bisa buang kalau kamu nggak suka,” lanjut Arjuna.
Jingga menggeleng pelan. “Boleh aku lihat lagi?”
Arjuna menyerahkannya. Jingga menatap foto itu cukup lama. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat dirinya sebagai manusia. Bukan anak yang tidak diinginkan, bukan kambing hitam keluarga.
Foto itu seperti membuktikan bahwa ia benar-benar ada, dan keberadaannya cukup penting untuk diabadikan.
“Aku suka,” katanya jujur. “Foto ini indah.”
Arjuna tersenyum lega. “Kalau kamu mau, aku bisa ajarin kamu memotret.” Tawarnya kemudian
Ketika Kake Arga sibuk merapikan alat-alat, Arjuna memberi Jingga kamera kecil yang ia bawa.
“Pegang dulu. Rasakan beratnya,” katanya.
Jingga memegang kamera itu dengan hati-hati, seolah memegang benda paling berharga.
“Fotografi bukan cuma tentang gambar,” ucap Arjuna. “Tapi tentang melihat dunia dengan cara yang berbeda. Kadang dengan cara yang lebih baik.”
Jingga mengangkat kamera perlahan, mencoba mengarahkan ke pohon yang daunnya bergerak pelan.
“Bagus,” kata Arjuna sambil mengamati. “Tapi coba cari sudut yang membuatmu merasakan sesuatu.”
“Merasakan?” Jingga mengerutkan kening.
“Nah, iya. Misalnya, daun itu. Kamu lihat warnanya yang mulai memudar? Itu bisa jadi simbol perubahan. Atau air sungai di bawah sana setiap aliran punya cerita.”
Jingga mencoba lagi. Kali ini ia mendekat pada ranting kecil dengan embun menetes. Ia mengatur fokus seperti yang Arjuna ajarkan.
Satu jepretan kamera ia dapat.Jingga melihat hasilnya dan matanya berbinar.Embun itu terlihat seperti butiran kaca kecil.
“Aku berhasil…” katanya pelan.
Arjuna menatapnya sejenak, terpukau melihat semangat itu.
“Lihat? Kamu punya mata yang peka.Kayaknya kamu akan cepat belajar.”
Jingga menurunkan kamera, perasaan hangat memenuhi dadanya.Rasanya sudah lama sekali ada seseorang yang percaya ia bisa melakukan sesuatu.
°°°°
Sepulangnya dari kebun, Jingga tidak berhenti memandangi foto yang ia ambil.Setiap sudut rumah Kake Arga terasa lebih hidup hari itu.
Kake Arga memperhatikan dengan senyum kecil.
“Sepertinya kamu menemukan hal baru yang kamu suka.”
“Sepertinya iya, Kek.”
“Kakek senang. Anak muda butuh sesuatu yang bisa jadi pegangan. Kalau fotografi bisa membuat kamu bangkit lagi, teruskan.”
Ucapan itu membuat Jingga terdiam.
Ia tidak terbiasa diperlakukan seperti seseorang yang pantas punya mimpi.
Di kamarnya malam itu, Jingga memandangi foto pemberian Arjuna.Wajahnya yang dulu ia benci perlahan terlihat berbeda. Tidak lagi sebagai anak yang dibuang melainkan seseorang yang sedang memulai perjalanan.
Untuk pertama kalinya, ia tidak takut pada hari esok.
Dan setiap hari setelah itu, Arjuna sering mampir ke kebun. Kadang ia membawa kamera cadangan untuk Jingga. Kadang ia hanya menemani dan mengobrol hal-hal ringan.
Yang paling membuat Jingga nyaman adalah Arjuna tidak pernah bertanya soal masa lalunya.Ia hanya hadir diam, tenang, dan konsisten.
Seiring berjalannya waktu, memotret menjadi ruang aman bagi Jingga.
Jika dulu ia merasa tidak dilihat dan tidak dianggap, kini ia bisa melihat dunia dengan lebih jernih melalui lensa.
Bahkan Kake Arga sering tertawa melihatnya.
“Jangan-jangan kamu mau jadi fotografer beneran nanti.”
Jingga menggeleng, tapi tidak sepenuhnya menolak ide itu.
“Entahlah. Tapi aku suka.”
“Kalau suka, itu sudah langkah pertama,” jawab Kake Arga bijak.
Dan malam itu, sebelum tidur, Jingga mengambil satu keputusan kecil tetapi penting.
Aku ingin terus belajar. Aku ingin punya masa depan yang kutentukan sendiri.
Dan besok, seperti sudah bisa ditebak.
Arjuna kembali muncul di kebun dengan kamera di tangan, seolah dunia sedang membuka bab baru untuk Jingga, satu per satu.
...🍀🍀🍀...
...🍃Langit Jingga Setelah Hujan🍃...