Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 — “Aturan Rumah Tangga Baruku”
Pagi di Bali datang dengan cahaya yang brutal, menerobos tirai tipis kamar Winter dan memaksa Winter untuk bangun. Dia merasa belum tidur, energinya terkuras habis bukan oleh pekerjaan, melainkan oleh pertempuran psikologis semalam.
Dia keluar dari kamarnya pada pukul 07.00, mengenakan pakaian olahraga serba hitam. Dia butuh lari. Dia butuh jarak.
Saat melewati ruang tamu, ia menemukan Darren sudah duduk di infinity pool di luar, menghadap jurang. Pria itu tidak sedang berenang; ia sedang duduk di tepi, celana pendek pantai yang basah, menikmati kopi. Ia tampak santai, seolah dia memang tuan rumah di villa itu, bukan tamu yang dibayar.
Winter mengabaikannya dan berjalan menuju treadmill di sudut teras. Dia menyetel kecepatannya hingga batas maksimal, membiarkan bunyi ritmis langkahnya menjadi satu-satunya suara di antara mereka, mencoba menenggelamkan pikiran tentang Darren.
Setelah lima belas menit berlari tanpa jeda, ia menyadari bahwa Darren telah berdiri di dekatnya, memegang sebotol air dingin.
“Kau berlari seperti dikejar hantu, Winter,” kata Darren, suaranya tenang, tetapi matanya menatap intens ke arahnya.
Winter mematikan treadmill dengan sentakan tajam. Ia terengah-engah, keringat membasahi pelipisnya.
“Aku tidak lari dari siapa pun, Darren. Aku hanya menjaga kebugaran. Sesuatu yang tampaknya kau lupakan selama masa kehancuran perusahaanku.”
“Kebugaran fisikku tidak pernah menjadi masalah,” jawab Darren, seringai tipis muncul di bibirnya. Dia mengulurkan botol air itu. “Tapi aku tahu kau sedang berlari dari ketegangan. Dan itu buruk untuk jantung.”
Winter mengambil air itu, bukan karena kehausan, tetapi karena ia tidak ingin terjadi lagi proximity yang tidak perlu. Ia meminumnya dalam sekali teguk.
“Dengarkan aku, Darren,” kata Winter, mengatur napas. “Kita perlu memperketat perbatasan kita, terutama setelah ‘bulan madu’ ini selesai. Aku akan menetapkan Aturan Rumah Tangga.”
Darren bersandar santai di pilar teras, menyilangkan tangannya di dada—postur yang menunjukkan perhatian, tetapi juga sedikit arogansi. “Aku mendengarkan. Selama itu tidak melanggar klausul di kontrak, kau bebas mengatur sesukamu.”
Winter menatapnya dingin. Ia harus memenangkan kendali ini.
“Pertama, di Jakarta, kita akan tinggal di penthouse-ku di SCBD. Kau menempati kamar tamu utama, bukan kamarku. Pintu penghubung harus dikunci dari kedua sisi. Kedua, tidak ada komunikasi pribadi kecuali mengenai jadwal dan kebutuhan publik. Tidak ada makan malam bersama. Kau makan saat kau lapar, aku makan saat aku sempat.”
“Fair enough. Kau ingin aku menjadi flatmate mahal,” komentar Darren, nadanya datar.
“Ketiga, di kantor, kau tidak boleh mengunjungiku di lantai pribadiku tanpa janji. Semua urusan Reigar Technologies harus melalui Adrian Vellion, dan hanya Adrian. Aku tidak ingin ada kebingungan tentang hierarki.”
Darren terdiam. Winter melihat sedikit perubahan di matanya, kerutan kecil yang menunjukkan bahwa Darren tidak menyukai aturan ketiga itu.
“Kau mencoba menggunakan pengacaramu sebagai perisai?” tantang Darren.
“Aku hanya menegaskan batas. Aku adalah Alzona Group. Kau adalah Reigar Technologies. Kita bertransaksi. Kita tidak intim,” balas Winter, suaranya mengandung baja.
“Dan yang terakhir?” tanya Darren, perlahan.
“Yang terakhir,” kata Winter, memandang ke laut, “Kau harus selalu bersikap seperti suami yang posesif di depan publik—seperti yang kau lakukan di pernikahan—tetapi hanya atas permintaanku. Aku tidak ingin ada sentuhan mendadak atau bisikan yang mengganggu di tempat lain. Akting harus terkontrol, sesuai skenario.”
Darren tersenyum lagi. Senyum yang membuat Winter ingin menamparnya.
“Aturan yang detail. Aku suka. Kau selalu menjadi wanita yang sangat terperinci, Winter. Aku setuju. Aku akan mengikuti aturanmu. The New Rules of Engagement,” ujar Darren. “Aku menantikannya.”
Ia berjalan mengambil cangkir kopinya, dan berbalik. “Tapi ada satu hal yang harus kau ingat, Winter.”
“Apa?”
“Aturan dibuat untuk dilanggar. Dan semakin keras kau mencoba mengontrol, semakin besar kehancuran yang akan terjadi saat batasan itu runtuh.”
Darren kemudian berjalan santai menuju kamar di seberang, meninggalkan Winter sendirian di teras, jantungnya berdebar kencang. Dia tahu, dia baru saja memberikan Darren semacam peta harta karun tentang kelemahan emosionalnya.
Dua hari kemudian, mereka kembali ke Jakarta, dan perang psikologis itu segera dipindahkan ke penthouse Winter.
Winter memastikan semua aturan ditegakkan. Pintu penghubung ke kamar tamu sudah dikunci. Mereka nyaris tidak berpapasan di ruang tamu. Kehadiran Darren di kamarnya terasa seperti hantu yang menguasai ruangan.
Pada sore hari di hari kerja, Winter harus menghadiri pertemuan mendadak dengan direksi Alzona Group. Winter sedang terburu-buru mencari berkas, ketika bel pintu berbunyi.
Adrian Vellion masuk. Pria itu tampak selalu sempurna dalam setelannya, membawa ketenangan seorang profesional tingkat tinggi.
“Nona Winter, Tuan-tuan sudah menunggu di ruang rapat. Saya sudah memblokir kalender Anda selama dua jam ke depan,” kata Adrian, suaranya efisien.
“Adrian, kau datang tepat waktu,” kata Winter, sedikit lega. “Aku butuh dokumen dari meja kerjaku. Oh, dan brief tentang Wray Group. Pastikan kau memasukkan catatan kaki tentang potensi mereka mencoba jalur hukum untuk melawan akuisisi Reigar.”
Adrian berjalan mengikuti Winter ke area kantor di penthouse, tetapi tiba-tiba mereka berdua berhenti.
Darren keluar dari kamar tamunya, kini berpakaian santai tetapi mahal—kaus cashmere V-neck dan celana panjang chino—tampak baru selesai mandi. Rambutnya masih sedikit lembap.
Pertemuan antara Darren dan Adrian seperti pertemuan dua ujung kekuatan yang berbeda. Adrian, yang tenang dan analitis; Darren, yang tenang dan mematikan. Adrian adalah loyalitas Winter. Darren adalah tantangan Winter.
“Adrian,” sapa Darren, nada suaranya ramah, tetapi di bawahnya ada lapisan dingin. “Aku mendengar namaku. Ada masalah dengan Wray?”
“Tuan Reigar,” balas Adrian sopan. “Semua urusan Reigar Technologies saat ini ditangani melalui Alzona Group. Saya sedang melapor pada Nona Winter.”
Darren bersandar di kusen pintu kamarnya. Dia tidak melanggar aturan. Dia tidak keluar dari area pribadinya. Tapi kehadirannya mengganggu.
“Tentu saja,” kata Darren. Ia menatap Winter, matanya menyiratkan kesenangan melihat Winter tertekan. “Aku hanya ingin memastikan istriku tidak terlalu membebani dirinya. Kau tahu, dengan semua tekanan bisnis dan juga… tekanan dari pernikahan baru.”
Winter merasakan kemarahan dingin naik ke tenggorokannya. Ia tahu Darren sedang mengolok-oloknya di depan Adrian.
“Aku menghargai kepedulianmu, Darren,” balas Winter, suaranya setenang mungkin. “Tapi aku sangat terbiasa dengan tekanan. Tolong kembali ke kamarmu. Adrian, kita pergi sekarang.”
Saat Adrian dan Winter berbalik menuju lift pribadi, Darren melangkah ke ambang pintu.
“Aku akan memasak makan malam untukku malam ini,” kata Darren, suaranya cukup keras untuk didengar Adrian. “Apakah kau ingin aku menyiapkan dua porsi, Winter? Hanya jika kau sempat makan.”
Winter tidak berbalik. “Tidak perlu. Aku sudah bilang, jadwal terpisah.”
Adrian menekan tombol lift. Ketika pintu lift terbuka, Winter masuk lebih dulu. Sebelum Adrian mengikutinya, Darren berjalan mendekat.
Ia menahan pintu lift dengan tangan kirinya, postur yang santai namun kuat.
“Adrian,” kata Darren, memandang pengacara itu. “Tolong pastikan semua laporan cash flow Reigar Technologies sampai di tanganku sebelum sampai ke Winter. Sebagai CEO, aku harus menandatanganinya terlebih dahulu. Dan… tolong jaga Winter untukku. Dia terlihat lelah. Aku tidak ingin dia mendapat masalah saat aku tidak ada di sisinya.”
Itu bukan permintaan, itu adalah perintah. Adrian tidak membalas, tetapi ekspresinya menunjukkan ketidaknyamanan. Adrian dan Darren sama-sama tahu: Darren baru saja menunjukkan dominasinya, menggunakan perannya sebagai suami untuk memicu kecemburuan Adrian—atau setidaknya, untuk menegaskan bahwa Adrian tidak sedekat yang dia kira dengan Winter.
Pintu lift tertutup. Di dalam, Winter menatap Adrian.
“Jangan dengarkan dia,” perintah Winter. “Semua dokumen langsung ke aku. Dan jangan pernah bertindak sebagai perantara.”
Adrian mengangguk, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran di matanya. “Nona Winter, Tuan Reigar sangat tenang menghadapi krisis. Terlalu tenang. Dia mengamati setiap gerakan kita.”
Winter memejamkan mata sejenak. Ya, Darren mengamati. Dan dia menggunakan kehadiran Adrian sebagai bumbu baru dalam permainannya. Adrian, pengacara yang selalu menjaga Winter, kini menjadi rival.
Darren bukan sekadar tunduk—dia mengamati.
Kebenaran itu menghantam Winter seperti gelombang dingin. Dia pikir dia telah mengikat Darren dengan aturan. Tapi Darren justru menggunakan aturan itu, ditambah sedikit kecemburuan halus, untuk mengingatkan Winter bahwa mereka terikat—dan bahwa dialah yang akan menentukan batas mana yang akan dilanggar.
Permainan ini baru saja dimulai, dan Winter mulai menyadari bahwa ia meremehkan betapa gelap dan obsesifnya Darren Reigar yang baru. Malam itu, Winter bahkan tidak berani berjalan ke dapur untuk mengambil apel, karena ia takut Darren akan berada di sana, menunggu di tengah kegelapan yang tenang.