NovelToon NovelToon
THE KNIGHT

THE KNIGHT

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Reinkarnasi / Perperangan
Popularitas:15.8k
Nilai: 5
Nama Author: Mirabella Randy

Menyaksikan genosida jutaan manusia tak berdosa langsung di depan mata, membuat Arya terluka dan mendendam parah kepada orang-orang Negeri Lembah Merah.

Entah bagaimana, Arya selamat dari pengepungan maut senja itu. Sosok misterius muncul dan membawanya pergi dalam sekejap mata. Ia adalah Agen Pelindung Negeri Laut Pasir dan seorang dokter, bernama Kama, yang memiliki kemampuan berteleportasi.

Arya bertemu Presiden Negeri Laut Pasir, Dirah Mahalini, yang memintanya untuk menjadi salah satu Agen Pelindung negerinya, dengan misi melindungi gadis berusia tujuh belas tahun yang bernama Puri Agung. Dirah yang bisa melihat masa depan, mengatakan bahwa Puri adalah pasangan sejati Arya, dan ia memiliki kekuatan melihat masa lalu. Puri mampu menggenggam kebenaran. Ia akan menjadi target utama Negeri Lembah Merah yang ingin menguasai dunia.

Diramalkan sebagai Ksatria Penyelamat Bima dan memiliki kemampuan membaca pikiran, mampukah Arya memenuhi takdirnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mirabella Randy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PASUKAN BANTUAN

Pukul sembilan pagi. Matahari terasa sangat panas menyengat. Hampir tak ada angin. Hawa terasa sangat kering dan menusuk jantung. Membikin sesak. Rasanya seperti terjebak di padang pasir. Tak ada harapan hidup.

Aku duduk bersandar di sebatang pohon lontar yang tumbuh di pesisir selatan Pulau Lumbung, baru saja membasahi kering tenggorokan dengan tegukan dari sebatang bumbung bambu yang berisi cairan putih agak kental berasa manis dan asam. Legen.

Bumbung ini tadinya diikat tinggi di puncak pohon lontar yang menjadi tempatku bersandar sekarang. Tatapan elangku melihatnya. Bumbung ini sengaja diletakkan di sana, di bawah sayatan tangkai bunga lontar, untuk menampung sari bunganya yang menetes segar. Kelihatannya menggiurkan. Apalagi aku sedang sangat haus.

Aku menimbang-nimbang sejenak. Kuputuskan untuk coba melakukannya.

Kutarik napas dalam-dalam. Aku bermeditasi. Merengkuh dan menyelami kedalaman diri.

Tak lama kemudian, aku menemukan apa yang kucari.

Api kekuatan dalam diriku menyala kukuh di inti terhening jantung. Aku menyatu dengan api itu, kualirkan sedikit api itu melampaui kesunyian rongga dada. Menjalari nadi. Menghangatkan lengan.

Kuregangkan busur perak di tanganku dengan kuda-kuda sempurna. Kubuka kedua mata, tepat saat segaris api muncul di tengah udara kering dan membentuk anak panah putih-panas, bertengger tepat di tengah busurku.

Napasku tertahan. Tatapan elangku menyapu tajam langit tak berawan. Kubidik panah apiku ke seutas tali yang mengikat bumbung di puncak pohon lontar itu. Jaraknya sekitar tiga puluh meter dari tempatku berpijak, melilit di sela tangkai bunga dan batang pokok tebal.

Kulepas kekuatanku tanpa ragu.

Panah apiku melesat secepat peluru. Melawan segala jenis hukum alam. Panah biasa tak akan sanggup terus meluncur ke atas hingga ketinggian tiga puluh meter. Namun panah apiku bisa. Dan dalam hitungan detik menembus tali yang telah kubidik matang-matang sebelumnya.

Tali itu terputus. Panah apiku lenyap di udara begitu tugasnya selesai, membuatku mengerjap takjub.

Bumbung itu meluncur jatuh. Aku berhasil menangkapnya sebelum membentur pasir.

Keren.

Kuputuskan duduk di bawah pohon lontar, menikmati hasil buruanku sebentar. Tak ada siapapun sekarang di Pulau Lumbung ini. Hanya ada aku seorang, dan Eyang Kahiyang yang tengah bersemedi di dalam guanya di sisi utara pulau.

Aku termenung sejenak, memutar kilasan yang sudah kusaksikan sejak fajar menyingsing hingga matahari membara tinggi, baik dengan mata kepala sendiri maupun kekuatan magis.

***

Kala fajar, aku langsung menyelinap ke penjara, mencari Ajeng dan Karang. Aku terkejut mendapati beberapa prajurit sudah tergeletak pingsan di sana, sementara Ajeng dan Karang melenggang sambil menggosok bekas tali di lengan.

"Kenapa kamu di sini?" Ajeng berhenti, menatapku tajam. Hantu pikirannya masih tidak memercayaiku, curiga, bahkan membenciku.

Aku nyaris memutar bola mata, lalu bicara dengan bahasa isyarat.

Mau membebaskan kalian.

"Tidak perlu. Kami tidak selemah itu," ketus Ajeng. "Minggir."

Ajeng berjalan menuju pemukiman penduduk. Sementara Karang masih bergeming dan menatapku tajam. Melalui hantu pikirannya, aku bisa melihat diriku sendiri seakan memancarkan api putih. Kuat dan terang bagai bintang.

Karang yakin sepenuhnya aku bukan Arimbi asli sekarang. Namun ia tak tahu jati diriku yang sebenarnya.

"Eyang Kahiyang percaya padamu," ia seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri. "Jika bukan begitu, aku pasti sudah menghabisimu."

Aku memandangnya dingin.

"Apakah kamu mau memberitahuku, siapa kamu sebenarnya?" Karang bertanya sangat pelan, seakan tak mau ada yang mendengar. "Mengapa kamu melakukannya sampai sejauh ini? Apa tujuanmu sebenarnya? Mengapa kamu mau menyelamatkan penduduk kami?"

Aku tidak berkata apa-apa dan memutuskan pergi meninggalkan Karang, yang tampak kecewa tak bisa mendapat jawaban. Ia menghela napas panjang dan melangkah menuju pemukiman, menyusul Ajeng.

Kuputuskan melipir dan menyendiri ke sisi timur pulau. Aku duduk bersila di atas tebing karang yang kakinya disapu lembut ombak. Aku mengheningkan pikiran sejenak, hingga lengkung putih keemasan menyibak cakrawala di kejauhan.

Aku memejamkan mata. Kekuatanku melesat dan meledak seperti bom. Gelombang magisku menyebar lebih jauh dan lebih kuat sekarang, sejak aku menerima kembali busur perak yang menjadi senjataku dan bagian diriku di kehidupan lampau. Aku bahkan tak kesulitan dan tak kebingungan saat ribuan hantu pikiran menyerbu kerajaan benakku. Aku bisa melihat dan memahami semuanya dengan cepat. Seperti melihat film besar dengan banyak kerumunan peran, mengemukakan dialog masing-masing, namun masih dalam kesatuan kisah yang tak sukar kupahami.

Aku bagai dewa yang dengan mudah mengawasi dan memahami apa yang terjadi secara serentak dan utuh di luar sana.

Ajeng dan Karang berhasil meyakinkan penduduk untuk mengungsi. Mereka beramai-ramai menuju pesisir selatan, bergotong royong menyiapkan perahu-perahu cadik.

Dalam waktu tiga puluh menit semua sudah berada di atas perahu, termasuk prajurit-prajurit yang tadi dipingsankan Ajeng dan Karang. Baskara juga berada dalam salah satu perahu itu, wajahnya hampa dan babak belur. Sementara di sebelahnya Baswara masih tak sadarkan diri dengan kondisi terikat dan luka parah di kepalanya. Ajeng berusaha mengobatinya dengan tumbukan ramuan yang selalu dibawanya dan aliran energi spiritualnya.

Mereka mendayung dan berlayar cepat meninggalkan pesisir selatan. Tak ada siapa pun di Pulau Lumbung, selain aku dan Eyang Kahiyang, yang sama-sama dalam posisi meditasi.

Di Pantai Gemuling, Pasukan Pelindung bersenjata lengkap sudah turun dan bersiaga. Prabu dan Ratna jelas sudah menerima pesanku. Mereka berhasil membuat kedua klan yang ada di Desa Madura untuk melakukan gencatan senjata, dengan kalimat tegas dan informasi jelas, juga todongan senjata Pasukan Pelindung.

Hantu-hantu pikiran kedua klan di sana masih setengah tidak percaya, namun mereka tak bisa berkutik di bawah ancaman senjata. Mereka terpaksa mematuhi segala jenis instruksi meski tidak puas hati.

Para prajurit klan penghuni pantai sudah dilucuti senjatanya dan berdiam diri di sudut pantai, menanti sisa klan mereka tiba di Pantai Gemuling.

Penduduk Desa Madura dikumpulkan di Balai Desa, menanti armada khusus dari Pasukan Pelindung yang bisa menampung banyak orang sekaligus untuk dibawa ke tempat yang lebih aman.

Prabu dan Ratna meninggalkan rumah Umbu setelah berkomunikasi dengan Randu. Mereka berjalan kaki sambil bergandengan menuju Pantai Gemuling, wajah mereka pucat setelah menyaksikan apa yang telah terjadi.

Aku juga melihatnya.

Seiring matahari terbit, muncul pusaran hitam dan sangat dalam di tengah perairan Arus Laya. Mulanya hanya tampak titik kecil aneh muncul dari titik tengah pusaran, seperti sepotong ranting yang tak penting. Namun perlahan, bagian-bagian lain dari sebuah kapal kayu raksasa mulai bermunculan. Tiang-tiang utama. Layar-layar hitam raksasa. Haluan. Buritan. Dek. Lambung kayu bergaris tebal.

Kapal kokoh itu memutari arus dari bawah ke atas. Begitu mencapai puncak, kapal itu dengan mudah membelah lautan timur laut dan meluncur cepat menuju selatan.

Dan aku bisa melihatnya. Ratusan tubuh-tubuh busuk mengerikan berkeliaran di seluruh penjuru kapal. Mereka membawa senjata seperti gada berduri, pedang, busur, kapak, parang, tombak. Wajah mereka hancur. Penampilan mereka yang mengerikan saja sudah cukup menebar teror yang mampu membekukan gerakan siapa saja yang melihatnya. Dan menurut Eyang Kahiyang, serangan mereka sangat brutal dan mematikan.

Bagaimana makhluk-makhluk itu bisa bergerak dan bertempur seperti itu? Bukankah mereka hanya jasad mati tanpa jiwa? Apa yang sanggup menggerakkan mereka seperti itu?

Dengan kekuatan magisku, aku menemukan jawabannya.

Ada gelombang kekuatan besar memancar dan mengaliri setiap tubuh-tubuh mati itu. Gelombang itu seperti benang-benang gelap sangat tipis yang menggerakkan lengan, kaki, hingga ayunan senjata dengan jitu. Rasanya seperti melihat ratusan boneka tali dikendalikan oleh seseorang--dan aku dengan mudah menemukan dalangnya.

Sesosok lelaki jangkung berjubah hitam berdiri di dekat kemudi yang dikendalikan salah satu tubuh mati. Ia bersedekap sambil mengawasi seluruh pasukannya. Wajahnya sepintas mirip Kahiyang, namun dengan garis-garis ekspresi dan rahang lebih tegas. Kulitnya juga lebih gelap. Rambut lurus panjangnya perpaduan warna hitam dan kelabu alami.

Semua gelombang yang mengendalikan tubuh-tubuh mati itu berasal darinya, terpancar kuat dari ubun-ubunnya. Pusaran gelombang kekuatan dari kedalaman jiwanya lebih kuat lagi. Seperti arus samudera gelap dari palung yang sangat dalam.

Dialah penyihir gelap itu. Adik kembar Kahiyang. Kalingga.

Entah bagaimana, Kalingga seperti menyadari gelombang magisku yang menjangkau gelombang sihir gelapnya. Ia menoleh, seakan tahu keberadaanku.

Aku terpaku saat melihat sorot tatapnya. Bola matanya sangat hitam. Warna paling hitam yang pernah kulihat. Tak memancarkan atau memantulkan cahaya apapun. Dalam, gelap, menakutkan.

Kalingga menyeringai. Gelombang sihir gelapnya tiba-tiba berbalik menyerang. Seperti kilat dan petir hitam yang beradu dengan kilat dan petir putih milikku. Serangan tajam itu menyentakku. Kekuatanku pecah dan terpukul mundur hingga kembali ke inti sunyi jiwaku.

Aku terlempar dan tergeletak di atas karang tajam. Lenganku tergores dan belakang kepalaku nyeri karena terbentur saat jatuh. Sesaat aku tak bisa bernapas, tak bisa bergerak, tak bisa berpikir.

Setelah beberapa waktu, aku bisa bangkit kembali. Meski lengan dan kakiku sedikit gemetar.

Kalingga bisa mematahkan dan membalikkan kekuatan magisku dengan mudah. Seumur hidupku, baru kali ini aku mengalami hal seperti ini.

Aku menarik napas dalam dan berkali.

Tenanglah. Itu bukan akhir segalanya. Pasti ada cara...

Aku duduk bersila kembali. Mencoba bermeditasi lagi.

Kukerahkan kekuatanku lagi. Namun kini aku bisa melihatnya. Gelombang kekuatan sihir Kalingga membentuk semacam perisai elektrik raksasa, berukuran sangat besar dan memancarkan kilat-kilat gelap mengerikan. Gelombangku menyentuhnya sekilas sehingga aku bisa melihatnya, namun seketika juga aku tersengat dan terlempar kembali.

Aku menegakkan punggung perlahan dan menyentuh sisi kepalaku yang ngilu usai membentur karang.

Parah. Mengerikan. Magisku tak bisa mengalahkan sihirnya. Apa yang harus kulakukan...?

Aku menarik napas kembali dan melihat busurku yang tergeletak beberapa meter dariku. Busur itu terlepas dari bahuku dan ikut terlempar saat aku jatuh tadi.

Aku memungutnya, merasakan kehangatannya, lantas teringat sesuatu.

Busur ini bisa membunuh monster mengerikan pembawa maut di masa lalu. Kahiyang mengatakan busur ini bisa menembus jantung Kalingga.

Atau lebih tepatnya, kekuatan busur berpadu dengan kekuatan magisku...

Mungkin, aku tak bisa mengalahkan Kalingga hanya dengan kekuatan magis saja. Aku harus memadukannya dengan busurku. Aku tak bisa mencobanya sekarang, karena jaraknya masih terlampau jauh. Ini berarti, aku hanya bisa menemukan kelemahan dan cara membunuh Kalingga saat bertarung langsung nanti.

Padahal tadinya aku berniat menggunakan gelombang magisku untuk mengumpulkan informasi sekecil apapun mengenai Kalingga. Agar aku bisa mempersiapkan sesuatu untuk melawan dan menyerang titik lemahnya dengan cepat. Namun, rencanaku berantakan. Aku tak tahu banyak dan tak bisa menyiapkan antisipasi apapun.

Satu-satunya yang bisa kupersiapkan saat ini adalah ketenangan batin dan kebulatan tekad.

Aku menghela napas dan meninggalkan tebing karang timur. Kuputuskan kembali ke pesisir selatan Pulau Lumbung. Memanah bumbung legen. Duduk di bawah pohon lontar. Menunggu pasukan bantuan datang.

***

Cukup banyak pasukan bantuan yang datang ke pesisir selatan Pulau Lumbung. Beberapa di antaranya tak terduga, namun sama sekali tak mengejutkanku karena aku sudah mengawasi mereka semua sejak duduk di bawah pohon lontar.

Semua pasukan klan penghuni pantai kembali, bersama Ajeng, Karang, Elang, Dara Mahakam, bahkan Baswara. Lukanya sudah setengah sembuh berkat pengobatan Ajeng, dan saat melihatku, ekspresinya berang dan hantu pikirannya meraung seperti binatang terluka yang hendak menerjang untuk balas dendam.

Tatapan elangku berkilat. Aku siap membunuhnya jika ia maju kali ini. Namun Karang, Ajeng, dan Elang berhasil menahannya dan menyeretnya pergi. Mereka bergerak kompak menuju kediaman Baswara, tak satu pun dari mereka menghiraukanku.

Semua pasukan klan penghuni lembah juga ikut, dipimpin Nakula Raja. Bahkan istri dan anaknya, Srenggani dan Baskara, juga memutuskan ikut bertarung.

Nakula memandangku sedih dan lega. Srenggani menyerapahku melalui hantu pikirannya. Baskara waspada dan enggan mendekat.

Paling belakang, muncul Pasukan Pelindung bersenjata lengkap yang berjumlah sekitar lima puluh orang. Yang paling depan berjalan adalah Prabu dan Ratna.

Aku memberi isyarat agar keduanya mengikutiku melipir ke timur. Baskara melirik kami pergi, hantu pikirannya ingin tahu dan gelisah, yang langsung kuabaikan sepenuhnya.

"Kami senang melihatmu baik-baik sa--"

Prabu tak sempat meneruskan kalimatnya. Aku keburu menggamparnya.

"Apa-apaan ini?!" Prabu terkejut dan marah. Di sebelahnya, Ratna memandangku sangat tajam.

"Kenapa diam saja saat Baswara hampir memperkosaku begitu?" bentakku. "Untung aku sadar tepat waktu. Kalau tidak, bagaimana jadinya, hah? Buat apa aku menciptakan robot nyamuk dan punya kalian sebagai tim kalau tak ada satu pun yang bisa membantuku?"

"Kami tak bermaksud begitu, Arya," sergah Ratna. "Kami minta maaf--saat itu, ada yang mengalihkan perhatian kami. Sehingga kami tak melihat saat kamu diserang seperti itu."

"Memang apa yang mengalihkan perhatian kalian?" geramku, masih tidak terima.

Ratna menarik tablet dari balik saku dalam blazer hitamnya dan menunjukkan rekaman video sesosok wanita membawa tas belanja besar melintas di suatu ruas jalan. Video itu direkam salah satu robot nyamuk yang kebetulan melintas. Fitur istimewanya bisa mendeteksi virus dalam jumlah besar di tubuh wanita itu.

Wanita itu memasuki sebuah kantor polisi. Saat para polisi menatapnya heran, wanita itu tersenyum dan berkata, "Aku menyampaikan salam dari Braja Musti. Beritahu Presiden Dirah dan Arya Balawa untuk segera menyerahkan diri. Jika tidak, kami akan menghancurkan seisi ibukota pelan-pelan, sampai tak ada yang tersisa."

Para polisi bergerak waspada. Tiba-tiba bom meledak. Rekaman menjadi gelap.

Aku menahan napas.

"Satu kantor polisi di pinggiran selatan ibukota hancur, lima belas personil tewas, delapan belas terluka," kata Ratna pelan. "Rekaman robot dan kamera pengawas kantor polisi sudah otomatis tersimpan di server sehingga bisa diakses kapanpun. Mereka sudah mulai bergerak, Arya."

Di saat seperti ini...

Aku menghela napas gusar.

"Bara Murti langsung terjun menyelidiki ini. Tuan Randu sudah memerintahkan pasukan khusus untuk meningkatkan keamanan ibukota. Ada kemungkinan ledakan bom atau penyerangan brutal bisa terjadi lagi," jelas Prabu, ekspresinya muram.

"Kalau begitu, kita juga harus cepat bertindak," kataku tegas. "Aku akan membunuh penyihir itu dan begitu urusan di sini selesai, kita langsung kembali menjalankan rencana semula."

"Ini semua sangat tidak masuk akal, Arya," untuk pertama kalinya, Ratna tampak pucat dan sangat gelisah. "Entah bagaimana kita tiba-tiba harus menghadapi musuh di luar nalar seperti ini... kami sudah melihatnya melalui satelit sesuai petunjukmu... bagaimana mungkin sesuatu seperti itu muncul? Dan pasukan itu..."

Ratna tak sanggup bicara. Jelas ia terguncang.

"Kita pasti bisa mengalahkannya," aku meyakinkan Ratna. "Aku yang akan membunuh Kalingga. Kalian urus pasukan orang mati itu. Sudah bawa banyak peledak, kan?"

Ratna mengangguk. "Tidak hanya itu. Tuan Randu juga sudah mengirimkan pasukan bantuan dari laut dan udara. Mereka sudah bergerak sekarang."

"Bagus kalau begitu," aku merasa kami punya kesempatan kali ini. Musuh akan kalah jumlah. Senjata kami lebih memadai.

"Tidak... tidak bagus sama sekali."

Prabu sedang mengamati tabletnya sendiri, wajahnya pucat. Hantu pikirannya dialiri rasa ngeri.

"Lihat ini..."

Prabu memperlihatkan rekaman pindai satelit terbaru. Sebuah pesawat tempur berkecepatan super berlambang Negeri Laut Pasir berhasil mencapai posisi kapal Kalingga. Pesawat tempur itu memberondong kapal dengan tembakan rudal, namun rudal-rudal itu hancur di tengah udara sebelum menyentuh kapal. Kalingga yang berdiri di atas dek kapal menoleh dan menengadah. Ia mengangkat dan mengarahkan telapak tangannya ke pesawat yang berputar.

Dalam sekejap, pesawat itu meledak dan hancur berkeping-keping.

Kami bertiga membeku.

Pasti karena gelombang sihir kilat hitam yang seperti perisai elektrik itu, pikirku geram. Fitur satelit tak bisa melihatnya. Mata telanjang tak bisa melihatnya. Hanya magis atau mata batin yang bisa mengetahuinya.

"Kita harus bagaimana...?" Ratna gemetar. Ia terlihat sangat bukan dirinya sekarang. "Penyihir itu bisa menghancurkan satu pesawat tempur tercanggih kita hanya dengan mengangkat tangannya... kita tak paham siapa dia, apa kelemahannya... bagaimana kamu akan mengalahkan sosok mengerikan seperti ini, Arya?"

"Arya tidak akan melawannya sendirian."

Kami terkejut dan menoleh.

Dokter Kama muncul dari kelengangan hawa, beberapa meter di sebelah kami. Lengannya merangkul bahu Gayatri.

Keduanya tersenyum penuh arti.

...***...

1
anjurna
/Coffee/ aku kirim satu kopi hangat untuk Kakak...
anjurna
Ar, astaga. Kalau cowok lagi kecintaan, begitu, ya😆😆😆
anjurna
Ar udah deh kamu itu tenang sedikit, napa😂😂😂
anjurna
Hatimu pasti sedang jingkrak-jingkrak Ar. Ayo dong Ar, lebih ekpresif😆😆😆
anjurna
Noh, bahagia kan kamu. Keinginan mu untuk dekat-dekat dengan Puri terwujud Ar🤭🤭🤭
anjurna
Sabar Ar😂😂😂
anjurna
Kamu yang biasa aja bisa kan Ar? Orang pada bahagia kenapa kamu yang kesel sendiri😆😆😆😆🤭
anjurna
Presiden juga manusia Ar. Dan bahagia itu hal yang wajib ada dalam kehidupan, Ar.
anjurna
Udah lah Ar. Tadi juga udah bales pelukannya Dirah😅😅😅
anjurna
Aryaaaaa😭😭😭
anjurna
Aku ikutan sedih🥺🥺🥺
anjurna
Hebat Ar, bangun tidur langsung kopi hitam😁😁😁
anjurna
Astaga. Ingin tinggal bareng Randu juga kamu😂😂😂
anjurna
Heleh Ar. Sok keren dengan mengibaskan tanganmu. Walau sebenernya kamu memang keren, sih🤭🤭🤭
anjurna
Ar, yang sedang berdebat itu ibu dan calon mertua mu loh Ar. Kalau main hajar-hajar aja bisa-bisa batal kamu sama Puri.
Utayiresna🌷
syukurlah..
Utayiresna🌷
bukan kamu saja aku juga😂😂😂😂
Utayiresna🌷
astagaa aku udah ngebayangin nya cobaaaa🙈🙈🙈🙈🙈
Utayiresna🌷
1 arre seluas rumahku berarti 😁
Utayiresna🌷
Ehmm kayaknya enak tuh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!