Mengandung Benih Bos

" Ayumi, dimana dasi warna biruku?" tanya Arga, sembari mendekati Ayumi sedang menyisir rambutnya.

Ayumi segera memasukkan sisir yang ia pakai, di laci. " Ada di lemari, berkumpul dengan dasi yang lain." sahut Ayumi.

Arga memperhatikan wajah Ayumi. " Kamu sakit? Kok pucat sekali wajahmu?" tanya Arga, dan tangannya terulur untuk menyentuh dahi Ayumi.

" Nggak, aku nggak apa-apa. Hanya kelelahan aja, mungkin." sahut Ayumi, sembari menyingkirkan tangan Arga, dan berpaling muka.

Arga menghela nafas, " Kamu masih marah sama aku?" tanya Arga.

" Enggak kok. Buat apa aku marah sama kamu." sahut Ayumi cuek.

Arga menarik Ayumi kedalam dekapannya. " Kamu bohong, kelihatan banget kalau kamu marah sama aku." ujar Arga.

Tubuh Ayumi bergetar, ia memeluk tubuh sang suami dengan erat. "Hiks..hiks..hiks.. kamu jahat! Kamu brengsek!" umpat Ayumi.

Arga menahan senyum, ia mengusap lembut punggung Ayumi yang ber-gemetar. "Selain jahat dan brengsek, apalagi?" pancing Arga.

" Laki-laki sialan! Nggak punya hati! Tapi sial, aku sangat mencintainya!" caci Ayumi.

" Kok aku senang ya, lihat kamu menderita seperti ini?" gumam Arga.

Ayumi melepas pelukannya. Dan menatap nyalang pada Arga. Sementara yang ditatap, hanya mesem-mesem.

" Sana kamu pergi, aku jadi tambah kesel kalau lihat wajah kamu!" usir Ayumi, sembari mengusap kasar air mata di pipi.

" Yakin kamu ngusir aku? Gimana kalau nanti aku ketemu sama Tara?" goda Arga.

" Ketemu, kek. Nggak ketemu, kek. Itu bukan urusanku!" ketus Ayumi.

" Ya, udah. Kalau gitu aku sendiri yang akan menemui Tara. Dan aku katakan kalau kamu tidak merestui kami. Dan pernikahan tidak bisa di lakukan." jelas Arga.

" Terserah!"

Cup.

Arga mencium kening Ayumi. " Nanti siang pengasuh Kenzia akan datang. Jangan terlalu lelah, wajah pucat-mu terlihat sangat jelek." ujar Arga, lalu beranjak pergi setelah mengambil dasi di lemari.

Ayumi memperhatikan kepergian Arga, lalu menyentuh kening yang di cium Arga tadi. Air matanya kembali mengalir, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Mendadak kakinya terasa lemas, dan seakan tak mampu menahan bobot tubuhnya.

Ayumi terduduk dilantai, ia memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. " Kenapa? Kenapa harus seperti ini? Kenapa......" lirih Ayumi disela tangisnya.

" Disaat seharusnya aku merasa senang, karena Arga telah mulai peduli padaku, di saat yang bersamaan juga aku merasakan ketakutan yang besar." lirih Ayumi lagi.

Ayumi mendongak, saat merasakan sentuhan di kepalanya. " Mami...." Ayumi memeluk Mami Sita.

Mami Sita membalas pelukan Ayumi. " Jangan bersedih Ayumi. Arga tidak akan mengambil keputusan yang membuat kamu dan Kenzia kecewa. Dia tidak mungkin melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya." jelas Mami Sita menenangkan Ayumi.

Ayumi melepas pelukannya, dan menggeleng. " Bukan itu, Mi. Bukan itu yang aku sedihkan. Tapi takdir hidupku Mi, takdir hidupku yang seolah sedang mempermainkan ku." ujar Ayumi, mengadu.

" Semuanya akan baik-baik saja. Kamu jangan terlalu khawatir." ujar Mami Sita menenangkan.

Ayumi menggeleng kuat, " Semuanya telah di vonis Mi. Dokter Daffa telah-,"

" Stt, Dokter Daffa itu hanya manusia biasa. Dia hanya bisa memastikan dari apa yang ia lihat dan ketahui saja. Bukan berarti bisa menentukan takdir hidup seseorang. Kamu harus optimis sayang, kamu harus tetap semangat." jelas Mami Sita.

" Tapi Mi ak-,"

Ucapan Ayumi terhenti saat merasakan sesuatu yang mengalir dari hidungnya. Dan ia langsung berlari ke-kamar mandi.

Mami Sita menyusul Ayumi, dan ia memperhatikan Ayumi yang sedang membersihkan darah yang mengalir di-hidungnya.

Setelah selesai membersihkan hidungnya, Mami Sita langsung memeluk sang menantu. Dan ia berusaha untuk menahan air matanya agar tak tumpah.

" Kita ketempat yang di sarankan Dokter Daffa, yuk!" ajak Mami Sita.

" Enggak Mi, aku nggak mau. Aku mau menghabiskan waktuku yang tersisa bersama keluargaku." tolak halus Ayumi.

" Rajinlah berdoa dan tetap rutin meminum obat yang di berikan Dokter Daffa. Serta tetap jaga pola hidup sehat, seperti saran Dokter Daffa." ujar Mami Sita.

" Iya, Mi."

Kanker darah, atau yang sering di sebut leukimia. Itulah yang di idap Ayumi sejak tiga tahun terakhir. Berusaha keras Ayumi menyembunyikan penyakitnya dari semua anggota keluarganya, tapi masih tetap ketahuan oleh mertuanya.

Saat itu, Ayumi kepergok sedang meminum obatnya. Ia telah mengatakan kalau yang diminumnya adalah vitamin. Namun Mami Sita tak percaya dengan yang di katakan Ayumi. Diam-diam Mami Sita mencari sebutir obat milik Ayumi. Dan mengeceknya ke Dokter. Dari sanalah, Mami Sita tau kalau menantunya tengah berjuang mempertahankan hidupnya.

Ayumi tak dapat mengelak lagi, setelah Mami Sita menunjukkan hasil lab. Tapi satu permintaan Ayumi pada Mami Sita. Jangan sampai ada orang lain yang tahu tentang penyakitnya, termasuk Arga. Karena ia ingin mendapatkan cinta Arga, bukan rasa simpati Arga.

...----------------...

Siang hari di sebuah kafe, sepasang Manusia tengah berdebat. Yang satu ingin mengakhiri hubungan. sementara yang satunya ingin tetap bertahan, bahkan ia mau jika dijadikan istri kedua.

" Nggak Arga, aku nggak mau! Kamu nggak bisa gini-in aku! Lalu apa artinya hubungan kita yang terjalin selama dua tahun. Dan apa artinya juga, selama aku koma kamu selalu datang menjengukku, dan berharap aku sadar. Bahkan kamu juga ingin kita menikah setelah aku sadar!" tegas Tara.

" Maaf Tara, aku sangat minta maaf sama kamu. Dulu aku mengira kalau memang kamu cinta sejati ku. Tapi aku salah, setelah aku bertemu dengan Ayumi, aku selalu merasakan keanehan pada diriku. Dan jantungku juga selalu berdebar tak karuan. Dan lambat laun, aku tau kalau aku mencintainya. Dan, dan rasa itu tak pernah aku rasakan saat bersamamu. " jelas Arga.

" Bukan! Itu bukan cinta, Arga! Semua itu hanya rasa tanggung jawab kamu! Karena kamu telah membuatnya mengandung benihmu!" sangkal Tara.

" Cukup Tara!" bentak Arga. Sampai membuat beberapa pengunjung kafe menatap mereka.

" Cukup. Kamu tidak faham apa yang aku rasakan. Dulu, aku pun sama seperti kamu. Selalu menyangkal perasaanku. Tapi semakin aku menyangkalnya, semakin kuat rasa itu datang. Sampai aku sadar, kalau aku mencintainya." Arga berusaha membuat Tara mengerti.

" Argh! Persetan dengan cinta! Lalu bagaimana dengan janji yang telah kamu ucapkan pada kedua orang tuaku?! Apakah kamu akan mengingkarinya?! Pokoknya, aku mau pernikahan kita harus tetap terlaksana!" ujar Tara, lalu pergi meninggalkan Arga.

Arga memijat pangkal hidungnya, yang terasa berdenyut. " Sial! Kenapa aku harus berjanji seperti itu, dulu! Tanpa memikirkan yang terjadi kedepannya!" ujar Arga.

" Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tak mau menyakiti wanita yang selama ini telah setia menemaniku. Bahkan selalu sabar dengan sikapku yang, yang hanya menganggapnya Ibu dari anak-anakku, dan sebagai wanita pemuas nafsu." gumam Arga. Penyesalan, itulah yang Arga rasakan saat ini.