Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Kembali ke Realitas Kampus
Bab 31: Kembali ke Realitas Kampus
Senin pagi.
Matahari Jakarta bersinar terik, membakar aspal parkiran motor yang penuh sesak dengan ribuan kendaraan.
Udara berbau knalpot dan debu kering.
Kontras sekali dengan udara dingin berkabut dan aroma pinus di vila mewah kemarin.
Yuni turun dari angkot di halte depan gerbang utama kampus.
Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sudah berpacu sejak dia bangun tidur.
Hari ini, dia mencoba kembali menjadi Yuni yang dulu.
Yuni si Mahasiswi Sastra biasa.
Yuni yang tidak terlihat.
Dia memakai "seragam" lamanya: Kemeja flanel kotak-kotak warna merah marun yang sudah agak pudar di bagian kerah, celana jeans longgar yang nyaman, dan sepatu kets kanvas yang sudah berubah warna dari putih menjadi abu-abu karena debu jalanan.
Tas kulit sintetis cokelat yang mengelupas—tas yang menjadi bintang utama di story viral itu—tersampir pasrah di bahunya.
Dia tidak punya tas lain.
Dia berjalan masuk melewati gerbang.
Berharap tidak ada yang memperhatikan.
Berharap dia bisa menyatu dengan latar belakang seperti bunglon.
Tapi hari ini, ada yang beda.
Sangat beda.
Atmosfer kampus terasa... bermuatan listrik.
Setiap tiga langkah, kepala orang menoleh.
Setiap dia melewati gerombolan mahasiswa yang sedang nongkrong di koridor atau duduk di bangku taman, suara obrolan mereka mendadak berhenti.
Hening sebentar.
Canggung.
Lalu diikuti suara bisikan cepat yang berisik.
Sst... sst... sst...
Seperti suara ribuan ular di semak-semak kering.
Yuni mendengar potongan-potongan kalimat itu.
"Itu dia kan?"
"Iya, yang di story sepupunya Juan."
"Tasnya beneran jelek banget."
"Gila, kok bisa Juan mau sama dia?"
"Peletnya kuat kali."
"Katanya abis dari vila keluarganya lho. Udah dikenalin ke neneknya."
"Muka pas-pasan gitu, hoki seumur hidup kepake semua."
Yuni menundukkan kepalanya semakin dalam.
Menatap ujung sepatunya yang kotor.
Mempercepat langkahnya.
Dia pikir tawaran break dari Juan kemarin akan memberinya ketenangan. Jeda untuk bernapas.
Tapi dia salah besar.
Dunia nyata tidak mengenal tombol pause.
Jejak digital itu sudah menyebar seperti virus ganas.
Foto screenshot wajah Yuni yang kaku dengan baju pasar dan tas rusak sudah di-repost oleh akun gosip kampus, masuk grup angkatan, bahkan grup UKM.
Dia bukan lagi hantu yang transparan.
Dia sekarang selebriti.
Selebriti jalur hujatan.
Objek tertawaan satu kampus.
Yuni sampai di Gedung Fakultasnya.
Bangunan tua bergaya kolonial dengan jendela-jendela tinggi.
Biasanya, tempat ini adalah suaka baginya. Tenang. Puitis. Bau buku tua.
Tapi hari ini, bahkan pohon beringin tua di halaman fakultas terasa menghakimi dengan akar gantungnya.
Dia masuk ke kelas Sastra Bandingan.
Ruang kuliah yang berbentuk amfiteater itu sudah setengah penuh.
Yuni melangkah masuk lewat pintu belakang.
Kriet.
Engsel pintu berbunyi.
Seketika, seluruh ruangan hening.
Dosen belum datang.
Tiga puluh pasang mata menoleh serempak ke arahnya.
Menatapnya.
Ada tatapan iri dari mereka yang memuja Juan.
Ada tatapan jijik dari mereka yang merasa lebih berkelas.
Ada tatapan penasaran seperti melihat hewan langka di kebun binatang.
Yuni merasa ditelanjangi.
Dia mencari tempat duduk.
Matanya menyapu ruangan.
Kursi favoritnya di barisan ketiga, dekat jendela, kosong.
Tapi di sebelahnya, duduk Sarah.
Sahabatnya. Atau mantan sahabatnya?
Sarah sedang menunduk, membaca buku Teori Sastra tebal, atau pura-pura membaca.
Yuni ragu. Kakinya terpaku di tangga.
Apakah dia boleh duduk di sana?
Setelah pertengkaran terakhir mereka? Setelah kebohongan yang semakin menumpuk dan menjadi-jadi?
Tapi duduk sendirian di belakang hanya akan membuatnya terlihat menyedihkan.
Yuni memberanikan diri.
Dia berjalan menuruni tangga. Menuju barisan ketiga.
"Hai, Sar," sapanya pelan. Suaranya bergetar sedikit.
Sarah tidak mendongak.
Dia membalik halaman bukunya dengan gerakan kasar. Sret.
"Kursi ini kosong?" tanya Yuni lagi.
Sarah akhirnya menoleh.
Matanya dingin. Kosong. Tidak ada kehangatan yang biasa ada di sana.
"Kosong," jawab Sarah datar.
"Sekosong omongan lo."
Yuni tersentak.
Kalimat itu sakit. Menusuk langsung ke ulu hati.
Lebih sakit dari seribu komentar netizen asing di media sosial.
Yuni duduk perlahan.
Jarak di antara mereka hanya sepuluh sentimeter, dibatasi sandaran tangan kayu.
Tapi rasanya seperti dipisahkan jurang sepuluh kilometer.
Dosen masuk. Kuliah dimulai.
Membahas tentang Arketipe Pahlawan.
Tapi Yuni tidak bisa fokus. Kata-kata dosen hanya lewat di telinganya seperti angin.
Ponselnya bergetar di saku jeans.
Dia meliriknya sembunyi-sembunyi di bawah meja.
Pesan singkat dari nomor tidak dikenal.
Heh, cewek matre. Jauhin Juan. Lo nggak pantes buat dia. Sadar diri dong, upik abu.
Yuni mematikan layar dengan cepat.
Menelan ludah yang terasa pahit.
Dia pikir musuhnya hanya mantan tunangan Juan dan keluarganya di menara gading sana.
Ternyata musuhnya sekarang adalah satu kampus.
Jam istirahat.
Yuni keluar kelas paling akhir. Menunggu semua orang pergi.
Dia lapar. Perutnya perih karena belum sarapan.
Tapi dia tidak berani ke kantin.
Kantin adalah panggung terbuka. Arena gladiator.
Dia tidak siap disorot lagi sambil mengunyah makanan murah.
Dia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan pusat.
Tempat persembunyian klasiknya. Di antara rak-rak buku yang bisu dan tidak menghakimi.
Dia berjalan melewati koridor penghubung antar gedung fakultas. Koridor panjang yang terbuka.
Tiba-tiba, sekelompok mahasiswi menghadangnya.
Tiga orang.
Cantik. Wangi parfum floral yang menyengat. Memakai tas branded dan heels.
Tipe-tipe kloningan mantan Juan versi junior.
Mereka berdiri berjejer, memblokir jalan.
"Eh, ini kan Cinderella Pasar Grosir," kata yang paling depan. Si pemimpin geng.
Rambutnya di-blow sempurna, bibirnya dipulas lip tint merah cerah.
"Liat tasnya, Guys. Beneran ngelupas dong. Sumpah, gue kira itu filter kamera."
Mereka tertawa. Tawa yang dibuat-buat dan kejam.
"Kasihan ya Juan. Selera dia jatoh banget. Dari model internasional ke... gembel pasar."
"Heh," kata si pemimpin geng, maju selangkah mendekati Yuni. Menginvasi ruang pribadinya.
"Lo pake pelet apa sih? Bagi dong kontaknya. Dukun mana yang lo pake?"
"Minggir," kata Yuni pelan. Mencoba lewat dari sisi kiri.
"Dih, galak. Mentang-mentang udah diajak ke vila keluarga. Udah ngerasa jadi Nyonya Besar?"
Cewek itu sengaja menggeser tubuhnya.
Menabrak bahu Yuni dengan keras saat Yuni mencoba lewat.
Bruk.
Yuni terhuyung.
Keseimbangannya goyah.
Tasnya yang talinya sudah rapuh melorot dari bahu.
Buku-buku tebal yang dia pinjam—kamus, antologi puisi, buku teori—tumpah ke lantai koridor.
Gubrak.
Suara buku jatuh itu nyaring sekali.
Menarik perhatian semua orang di koridor yang ramai.
Tidak ada yang bergerak untuk membantu.
Mereka cuma nonton. Menikmati drama gratis.
Beberapa orang malah mengeluarkan HP. Merekam.
Yuni berlutut di lantai yang dingin.
Memunguti buku-bukunya dengan tangan gemetar.
Wajahnya panas.
Matanya perih menahan air mata.
Dia ingin menangis, berteriak, lari.
Tapi dia tidak mau memberikan kepuasan itu pada mereka.
Tiba-tiba.
Sebuah tangan terulur di depannya.
Mengambil buku Teori Sastra yang tergeletak paling jauh.
Tangan yang besar. Kulit kecokelatan.
Memakai jam tangan diver mahal yang berkilau terkena sinar matahari.
Yuni mendongak.
Juan.
Dia berdiri di sana.
Memakai kemeja linen biru laut yang lengannya digulung sampai siku, memperlihatkan urat-urat tangannya.
Wajahnya gelap.
Sangat gelap. Seperti badai yang siap meledak.
Aura pemimpinnya keluar maksimal. Mengintimidasi.
Dia tidak melihat ke arah Yuni.
Dia menatap tajam, lurus ke arah gerombolan cewek tadi yang sekarang mematung ketakutan.
Wajah mereka pucat pasi. Senyum mengejek mereka hilang tak berbekas.
"Siapa yang nabrak?" tanya Juan.
Suaranya rendah. Tenang.
Tapi menggelegar di kesunyian koridor.
Tidak ada yang berani jawab.
"Gue tanya, siapa yang nabrak pacar gue?"
Juan maju selangkah.
Cewek-cewek itu mundur serempak.
"I-itu... nggak sengaja, Kak Juan," cicit si pemimpin geng. Suaranya menciut.
"Nggak sengaja?"
Juan tertawa sinis.
"Gue liat dari ujung lorong. Mata gue masih berfungsi."
"Minta maaf."
"Hah?"
"Minta. Maaf. Sekarang."
Perintah mutlak. Tidak bisa ditawar.
Cewek itu menelan ludah. Harga dirinya hancur lebur di depan idola kampus dan semua orang yang menonton.
"Ma... maaf," katanya pelan, matanya melirik ke arah Yuni yang masih berlutut.
"Yang kenceng," bentak Juan.
"MAAF!" teriak cewek itu, suaranya pecah.
Lalu dia berbalik dan lari terbirit-birit, diikuti teman-temannya yang panik.
Koridor hening total.
Semua orang menahan napas. Tidak ada yang berani merekam lagi.
Juan berbalik.
Menatap Yuni yang masih berlutut memeluk buku-bukunya.
Wajah garangnya melunak seketika saat matanya bertemu mata Yuni.
Dia mengulurkan tangan.
Membantu Yuni berdiri.
Lalu dia mengambil tas Yuni yang rusak itu dari tangan Yuni.
Menggendongnya di satu bahu, tanpa peduli betapa jelek dan rusaknya tas itu bersanding dengan kemeja mahalnya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Juan lembut.
Tangannya merapikan rambut Yuni yang berantakan.
"Katanya kita break?" bisik Yuni. Air mata akhirnya menetes satu.
"Persetan sama break," jawab Juan tegas.
"Kontrak masih jalan."
"Dan di kontrak tertulis: Pihak Pertama wajib melindungi Pihak Kedua dari ancaman fisik dan mental."
"Ayo makan. Aku laper. Dan kamu pasti belum makan."
Juan menggandeng tangan Yuni.
Erat.
Di depan semua orang.
Di tengah koridor kampus yang paling ramai.
Dia menarik Yuni berjalan.
Kepala tegak.
Menantang siapa saja yang berani menatap sinis ke arah mereka.
Yuni menatap punggung Juan.
Punggung yang lebar dan kokoh.
Punggung yang melindunginya dari dunia yang kejam.
Dia sadar satu hal.
Di dunia yang penuh penghakiman ini...
Hanya Juan yang ada di pihaknya.
Dan break itu... resmi batal demi hukum.