NovelToon NovelToon
JATUH UNTUK BANGKIT

JATUH UNTUK BANGKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 34: ZARA MULAI CURIGA

#

Pantry kantor Hartavira di lantai dua puluh delapan adalah ruangan kecil dengan jendela besar menghadap ke gedung-gedung Jakarta yang mulai ditelan senja. Lampu warm white di langit-langit menciptakan suasana yang seharusnya nyaman, tapi buat Elang yang berdiri di depan mesin kopi dengan cup kertas di tangan, ruangan ini terasa seperti panggung interrogasi yang menunggu drama dimulai.

Ini hari keempat dia kerja di sini. Empat hari yang terasa seperti empat tahun—setiap detik diisi dengan acting, dengan menahan amarah, dengan tersenyum ke orang-orang yang dulu jadi bawahannya tapi sekarang gak kenal dia. Empat hari dimana dia harus duduk di cubicle sempit dan menganalisis perusahaan yang dia bangun dari nol, memberikan rekomendasi kepada Brian tentang cara "memperbaiki" sistem yang sebenarnya sudah sempurna sebelum Brian merusaknya dengan keputusan-keputusan bodoh yang diambil tiga tahun terakhir.

Tapi entah kenapa, hari ini terasa berbeda. Ada sesuatu di udara—ketegangan yang tidak bisa dijelaskan, seperti sesaat sebelum badai datang.

Elang tuang kopi hitam ke cup-nya, aroma pahit mengepul ke hidung. Tangannya bergerak otomatis—dua sendok gula, aduk tiga kali searah jarum jam, terus sekali berlawanan. Ritual kecil yang dia lakukan bertahun-tahun, ritual yang—

"Mas Galang."

Suara itu membuat seluruh tubuh Elang menegang instant. Bukan karena suaranya keras atau mengejutkan, tapi karena *siapa* pemilik suara itu.

Zara.

Dia belum berbalik tapi sudah bisa membayangkan: Zara dalam balutan dress bisnis yang perfectly tailored, heels yang menambah tinggi tubuhnya beberapa sentimeter, rambut yang ditata rapi, makeup yang subtle tapi calculated untuk membuat wajahnya terlihat lebih muda. Zara yang dulu dia cintai dengan seluruh hatinya, yang dia percaya akan jadi pendamping hidup, yang—di malam tergelap hidupnya—berdiri di samping Brian dan mengatakan dengan dingin, "Aku butuh pria pemenang, Elang. Dan kamu bukan itu lagi."

Elang berbalik dengan gerakan yang diperlambat—setiap otot dikontrol dengan precision, wajah diatur menjadi senyum profesional yang ramah tapi tidak terlalu dekat. "Ya, Bu Zara?"

Zara berdiri di pintu pantry dengan satu tangan di frame, kepala sedikit miring—gesture yang dulu Elang pikir cute, sekarang terasa manipulatif. Matanya—mata cokelat yang dulu dia pikir hangat—sedang mengamati Elang dengan intensitas yang membuat kulit tengkuknya merinding.

"Maaf ganggu waktu istirahat Anda," katanya dengan suara yang terlalu lembut, terlalu... curious. "Cuma pengen ngobrol sebentar. Boleh?"

*Tidak. Tidak boleh. Pergi. Jangan dekati aku atau aku mungkin kehilangan kontrol dan—*

"Tentu saja," kata Galang dengan senyum yang dipaksakan. "Ada yang bisa saya bantu?"

Zara melangkah masuk, heelsnya menciptakan bunyi klik-klik yang terdengar terlalu keras di ruangan kecil ini. Dia berdiri di sebelah Elang—terlalu dekat, invading personal space dengan cara yang terasa deliberate—dan mulai membuat kopinya sendiri. Elang harus menahan diri untuk tidak mundur, untuk tidak menunjukkan reaksi apapun.

"Saya cuma penasaran," Zara mulai sambil menuang kopi, matanya sesekali melirik ke Elang dari sudut. "Anda... kita pernah bertemu sebelumnya?"

Pertanyaan yang sama dengan yang Brian tanyakan di meeting pertama. Tapi entah kenapa, dari mulut Zara, pertanyaan ini terasa lebih berbahaya.

"Sepertinya tidak, Bu," Elang menjawab dengan nada yang berusaha casual meskipun jantungnya berdetak seperti drum perang. "Mungkin saya punya salah satu dari wajah-wajah yang familiar? Common face gitu."

"Hmm," Zara menggumam—bukan jawaban, bukan pertanyaan, hanya bunyi yang penuh dengan skeptisisme. "Mungkin."

Silence yang awkward. Elang minum kopinya—terlalu cepat, terlalu desperate untuk punya excuse melakukan sesuatu—dan kopinya masih terlalu panas, membakar lidah tapi dia tidak bisa menunjukkan reaksi. Harus tetap composed. Harus tetap jadi Galang yang tenang dan profesional.

Zara menambahkan gula ke kopinya—satu sendok, terus setengah sendok lagi. Cara yang exact sama seperti yang dia lakukan bertahun-tahun yang lalu, cara yang Elang hafal karena dia yang sering membuatkan kopi untuknya saat mereka masih... bersama.

"Cara Anda minum kopi," Zara tiba-tiba berkata dengan suara yang pelan tapi jelas, "menarik."

Elang tersentak internal meskipun wajahnya tetap netral. "Menarik? Maksudnya?"

"Anda pegang cup dengan tangan kanan, tapi jari telunjuk dan jempol yang dominan. Kebanyakan orang pegang dengan semua jari melingkar. Dan cara Anda minum—kepala sedikit miring ke kiri, bukan lurus." Mata Zara menyipit sedikit, seperti sedang memecahkan puzzle. "Itu... cara yang sangat spesifik."

*Fuck.* Elang tidak pernah sadar dia punya kebiasaan itu. Tidak pernah sadar bahwa detail sekecil itu bisa jadi signature, bisa jadi sesuatu yang orang lain—orang yang dulu *sangat* dekat dengannya—bisa recognize.

"Oh," dia katakan dengan nada yang berusaha enteng sambil menurunkan cup, "mungkin karena dulu pernah cedera di tangan kiri jadi terbiasa dominan pakai kanan dengan cara tertentu. Tidak terlalu penting sih."

Alasan yang reasonable. Alasan yang normal. Tapi mata Zara tidak berubah—masih mengamati, masih mencari sesuatu.

"Anda mirip seseorang," katanya tiba-tiba, blunt tanpa preambule. "Seseorang yang dulu saya kenal. Sangat dekat."

Dunia terasa berhenti berputar untuk sedetik. Udara di pantry terasa terlalu tipis, terlalu sesak. Elang harus menggunakan semua kontrol yang dia punya untuk tidak bereaksi, tidak menunjukkan apapun di wajahnya.

"Benarkah?" Suaranya keluar—Alhamdulillah—steady dan curious dengan cara yang polite. "Semoga orangnya baik ya, Bu. Kalau saya mirip."

Zara tertawa—bunyi yang lembut tapi ada sesuatu yang gelap di bawahnya, sesuatu seperti nostalgia yang menyakitkan. "Baik? Iya, dia baik. Terlalu baik mungkin. Naif. Percaya bahwa dunia bisnis bisa dijalankan dengan integritas dan kejujuran. Konyol, kan?"

Setiap kata adalah pisau yang menusuk. Tapi Elang hanya tersenyum—senyum yang sympathetic, seperti mendengar cerita tentang orang asing.

"Sounds like idealis," komentarnya. "Dunia bisnis memang keras untuk tipe seperti itu."

"Iya," Zara setuju dengan nada yang... sedih? Menyesal? Elang tidak bisa membaca. "Dia kalah. Kehilangan segalanya. Terakhir saya dengar, dia masuk penjara karena korupsi. Tapi..." Dia berhenti, mata menatap ke kopi di tangannya. "Kadang saya masih mikir, mungkin dia dijebak. Mungkin dia tidak sejahat yang media katakan."

*Mungkin?* ***MUNGKIN?***

Amarah mendidih di dada Elang seperti lava yang mau meledak. *Tidak "mungkin", Zara. Aku DIJEBAK. Oleh suamimu. Oleh KAMU. Dan kamu berdiri di sana, di malam kehancuranku, dan bilang kamu butuh pria pemenang. Dan sekarang kamu bilang "MUNGKIN"?*

Tapi Galang hanya mengangguk dengan empati yang dipalsukan. "Sistem hukum kita memang tidak sempurna. Banyak kasus salah tangkap."

"Ya," Zara bergumam, terus—dengan gerakan yang tiba-tiba—dia menatap langsung ke mata Elang. Tatapan yang intens, yang mencari, yang menggali. "Mata Anda... warnanya persis seperti dia. Cokelat gelap dengan bintik kecil kehijauan di iris kiri. Sangat... sangat mirip."

Jantung Elang berhenti.

Dia tidak bisa kabur sekarang. Tidak bisa break eye contact karena itu akan confirm kecurigaan. Jadi dia hanya balas tatapan dengan tenang—atau berusaha tenang—dan berkata dengan nada yang light, "Warna mata cokelat gelap cukup umum, Bu. Dan bintik di iris juga tidak terlalu unik. Tapi saya... saya turut berduka kalau orang yang Ibu kenal mengalami nasib buruk seperti itu."

Zara menatap lebih lama—terlalu lama, uncomfortable—terus akhirnya mundur satu langkah, seolah sadar dia sudah terlalu dekat, sudah terlalu invasive.

"Maaf," katanya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Saya jadi terlalu personal. Cuma... nostalgia tiba-tiba. Ignore me."

"Tidak masalah," Elang menjawab sambil menatap jam di dinding dengan gesture yang natural. "Oh, saya harus kembali ke pekerjaan. Deadline report untuk Pak Brian hari ini."

"Tentu. Jangan biarkan saya menahan Anda."

Elang berjalan melewati Zara—harus melewatinya karena dia menghalangi jalan keluar—dan sesaat, ketika mereka berpapasan, Zara menghirup napas. Menghirup dengan cara yang subtle tapi Elang notice.

"Cologne Anda," katanya tanpa berbalik, "familiar juga."

Elang berhenti di ambang pintu, tidak berbalik. "Brand umum, Bu. Dari minimarket."

Tidak menunggu respons, dia melangkah keluar dengan kaki yang terasa seperti jelly. Berjalan ke koridor dengan langkah yang berusaha normal meskipun rasanya mau lari. Masuk ke cubicle-nya dan langsung duduk dengan napas yang keluar berat, tangan gemetar di atas keyboard.

*Fuck. FUCK. Dia mulai curiga. Dia notice details. Dia—*

Hape bergetar—pesan dari nomor tidak dikenal:

*Hati-hati. Zara sedang investigate Anda. Dia tadi tanya asisten pribadinya untuk cari info tentang Galang Saputra di internet. - H*

Harris. Entah bagaimana dia punya insider di perusahaan yang update dia real-time.

Elang menatap pesan itu dengan dread yang membeku di perut. Kalau Zara investigate dengan serius, kalau dia cari terlalu dalam, kalau dia—

Hape bergetar lagi—kali ini video call dari Anya. Dia ragu sebentar, tidak yakin bisa acting normal sekarang, tapi dia angkat juga karena menolak akan membuat Anya khawatir lebih.

Wajah Anya muncul—senyum lebar yang langsung pudar ketika melihat ekspresi Elang.

"Mas, kenapa? Ada apa?"

"Zara," Elang berbisik dengan suara yang gemetar, "dia mulai curiga, Nya. Dia notice kebiasaan-kebiasaanku. Warna mata. Cologne. Cara minum kopi. Dia... dia mulai connect the dots."

Anya terlihat khawatir, tapi dia tidak panik. "Mas yakin? Atau mas cuma overthinking karena nervous?"

"Aku gak tau," Elang mengaku dengan frustrasi. "Tapi cara dia lihat aku tadi... kayak dia lagi coba ingat sesuatu. Kayak ada di ujung lidah tapi belum bisa dia grasp totally."

"Kalau dia investigate dan ketahuan—"

"Kalau ketahuan, semua rencana hancur," Elang menyelesaikan dengan pahit. "Dan aku... aku gak tau apa yang bakal mereka lakukan ke aku. Report polisi? Atau worse?"

Anya diam sebentar, terus berkata dengan determinasi yang mengejutkan, "Kalau situasi jadi berbahaya, mas kabur ke Pangalengan. Segera. Jangan pikir panjang."

"Aku gak bisa kabur, Nya. Aku udah sejauh ini. Aku—"

"Hidup mas lebih penting dari dendam," Anya memotong dengan tegas. "Please, mas. Promise me. Kalau bahaya, mas kabur."

Elang menatap wajah Anya di layar—wajah yang penuh dengan concern dan cinta yang unconditional—dan mengangguk pelan meskipun dia tidak yakin itu janji yang bisa dia tepati.

---

Di ruangan berbeda, Zara duduk di kantor pribadinya dengan laptop terbuka. Instagram-nya loading, scrolling ke foto-foto lama—tiga tahun, empat tahun yang lalu. Foto-foto dengan Elang.

Ada satu foto yang dia berhenti: mereka di sebuah café, Elang sedang minum kopi, kepala miring ke kiri, cara yang exact sama seperti Galang tadi.

Zoom. Wajah Elang terisi layar. Mata cokelat gelap dengan bintik kehijauan. Cara alis terangkat sedikit ketika berpikir. Postur tubuh yang tegak tapi bahu sedikit condong ke kanan.

Terus dia buka foto Galang yang dia ambil diam-diam tadi dengan ponsel—blurry, dari jauh, tapi cukup jelas.

Taruh dua foto side by side.

Mirip. Sangat mirip. Tapi tidak identik. Galang lebih kurus. Rambut berbeda. Kacamata. Wajah lebih tirus.

"Tidak mungkin," Zara berbisik ke diri sendiri, tapi tangannya gemetar sedikit. "Elang pasti sudah... dia pasti sudah mati di jalanan. Atau setidaknya patah total. Dia tidak mungkin bisa bangkit, tidak mungkin bisa jadi konsultan profesional dengan identitas baru. Itu... itu terlalu movie-like. Terlalu—"

Tapi deep down, di tempat yang tidak mau dia akui, sesuatu berbisik: *Bagaimana kalau memang dia? Bagaimana kalau Elang kembali? Bagaimana kalau ini... retribusi?*

Dia menutup laptop dengan snap yang keras, tangan di wajah, napas keluar gemetar.

"Aku cuma paranoid," katanya ke ruangan kosong. "Cuma guilt yang membuat aku halusinasi. Galang adalah Galang. Elang adalah... masa lalu yang sudah mati."

Tapi keyakinan itu tidak sekuat yang dia harapkan.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Zara bermimpi tentang Elang—tentang mata yang menatapnya dengan amarah dan pengkhianatan di malam dia berdiri di samping Brian.

Mimpi yang terasa terlalu nyata.

Terlalu... seperti warning.

---

**[Bersambung

1
Dessy Lisberita
aku kok suka nya elang sama. stella ya thoor
Dri Andri: sayangnya elang udah jatuh cinta sama anya
total 1 replies
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: oke simak terus yaa
total 1 replies
Rizky Fathur
hancurkan Brian Thor sehancur hancur Thor bongkar semua kebusukannya Brian Thor jangan bikin elang naif memaafkan Brian pas Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang berbisik kepada Brian Brian keluargamu bagiamana bikin di sini Brian sampai memohon jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli Dan tertawa jahat Thor hahahaha
Dri Andri: perlahan aja ya😁k
total 2 replies
Rizky Fathur
Thor cepat bongkar kebusukan Brian Thor bikin elang kejam kepada musuhnya musuhnya bantai Sampai ke akar akarnya bersihkan nama baiknya elang Thor bikin di sini sifatnya jangan naif Thor
Rizky Fathur
cepat bantai Brian dengan kejam Thor bongkar semua kebusukannya ke media Thor bikin elang bersihkan namanya Dan Ambil lagi semua hartanya bikin elang tuntut balik orang yang melaporkannya dulu Dan yang memfitnahnya dulu dengan tuntutan puluhan milyar bikin elang kejam kepada musuhnya Thor kalau perlu tertawa jahat dan kejam berbicara akan membantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya kepada elang bikin elang tertawa jahat hahahaha Brian aku tidak perduli habis itu pukulin Brian sampai pingsan
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: gaskeun
total 1 replies
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya seru cepat buat elang Ambil kembali asetnya bongkar kebusukan Brian bikin elang kejam Thor sama Brian bilang akan bantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang tertawa jahat Thor
Rizky Fathur: bikin elang kejam Thor bongkar kebusukan Brian ke media bersihkan nama baiknya elang Thor bikin elang tuntut balik yang memfitnahnya Dan menjebaknya itu dengan tuntutan berapa ratus Milyar Thor
total 2 replies
Dessy Lisberita
bangkit lah elang
Dessy Lisberita
jngan terlalu percaya sama saudara ap lagi sama orang asing itu fakta
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya bikin elang menang bikin Jefri kalah Thor kalau perlu Hajar Jefri sampai luka parah
Dri Andri: gas bro siap lah perlahan aja ya makasih udah hadir
total 1 replies
Kisaragi Chika
bentar, cepat banget tau2 20 chapter. apa datanya disimpan dulu lalu up bersamaan
Dri Andri: hehehe iyaa
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!