Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25: Kejujuran Sukmo.
"Ttal… hati-hati, jangan ke sana!" teriak seorang wanita muda dengan nada cemas. Namun gadis kecil berusia sekitar lima tahun itu tidak menggubris.
"Eomma, lihat… nabi itu banyak sekali!" seru Areum, langkah kecilnya melompat-lompat di antara rerumputan. Kupu-kupu beraneka warna beterbangan, sayapnya berkilauan terkena sinar matahari sore. Ia mengulurkan jemari mungilnya, dan seekor kupu-kupu berwarna biru lembut hinggap di sana, mengepak pelan.
"Nabireul joahae, Eomma…" ucapnya sambil tersenyum, mata bulatnya memancarkan rasa kagum. Nam Hyerin—yang Areum kenal sebagai ibunya—mendekat sambil tersenyum hangat. Jemarinya menyapu perlahan rambut Areum, seperti berusaha mengingat setiap sentuhan itu.
"Kamu suka? Eomma juga suka..." Ujar nya sembari mengelus rambut hitam panjang itu dengan penuh sayang. Suasana terasa begitu damai. Langit biru dipenuhi cahaya keemasan, angin membawa aroma bunga yang segar. Areum menoleh, ingin memanggil ibunya lagi… tapi langkahnya terhenti.
Di ujung taman, berdiri dua sosok asing—seorang pria dan seorang wanita—diam memandangnya. Wajah mereka sendu, mata mereka berkaca-kaca. Bibir wanita itu bergerak tanpa suara, tapi entah kenapa Areum bisa mendengar bisikan itu dengan jelas di kepalanya:
“Kembalilah… Saudara mu mencari mu Ara...”
Hatinya mencelos. Napasnya tertahan. Dalam sekejap, kupu-kupu di sekelilingnya beterbangan panik, langit yang tadinya hangat berubah kelabu. Areum tersentak bangun, napasnya terengah. Keringat dingin membasahi pelipisnya, membuat helaian rambut menempel di kulit. Matanya menatap gelapnya kamar apartemen yang sunyi, hanya cahaya redup dari lampu jalan yang menembus tirai. Pandangannya tertuju pada jam dinding—pukul empat dini hari.
Dia menegakkan tubuh, memijat pelipis, mencoba mengusir bayangan mimpi yang masih melekat. Rasanya begitu nyata—suara Hyerin memanggilnya, kupu-kupu yang hinggap di jarinya, dan… sepasang pria dan wanita asing di ujung taman, menatapnya dengan mata yang seolah memohon.
Pelan, Areum meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Layarnya menyala, menampilkan wallpaper foto dirinya bersama kedua orang tuanya. Ia tersenyum tipis, lalu membuka galeri—menggeser satu per satu foto yang merekam perjalanan hidupnya sejak kecil hingga kini. Senyum itu bertahan, tapi samar-samar ada rasa sesak di dada.
Areum kembali merebahkan diri, menarik selimut hingga menutupi dagu. Namun, matanya menolak terpejam. Bayangan sepasang pria dan wanita asing itu terus menghantuinya—tatapan mereka begitu dalam, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin ia dengar. Dadanya terasa berat setiap kali mengingatnya, seperti ada sesuatu yang tertahan di sana.
Akhirnya, entah karena lelah atau pasrah, kelopak matanya mulai tertutup, dan ia kembali terlelap. Saat kembali terbangun, cahaya matahari sudah menembus tirai kamarnya. Areum mengerjap, menoleh ke jam dinding, dan hampir terlonjak. Pukul setengah delapan.
Dia langsung bangkit, meraih handuk, dan berlari kecil ke kamar mandi. Pikirannya kalut, karena jam masuk kafe semakin dekat, sementara ia belum bersiap sama sekali. Namun, di tengah kepanikan itu, Areum tetap memutuskan untuk berangkat—rencananya hari ini ia sekalian ingin meminta izin kepada Minjoon atau setidaknya menejer untuk pulang ke Yeonnam-dong dan menginap di rumah orang tuanya akhir pekan ini.
Areum keluar dari kamarnya sambil menenteng tas, sepatu sneakers sudah setengah terpasang di kaki. Dia berlari kecil menuju halte, napasnya sedikit memburu karena khawatir terlambat. Udara pagi Cheongdam-dong masih segar, meski jalanan mulai ramai oleh pekerja kantoran dan mahasiswa yang bergegas.
Begitu sampai di depan Min Pour L’Amour, Areum menarik napas lega. Kafe itu berdiri elegan dengan dinding kaca lebar dan aksen kayu hangat—salah satu cabang milik Kim Minjoon yang terkenal di seluruh Gangnam. Cabang ini tidak sebesar yang di Apgujeong, tapi punya suasana yang lebih intim dan mewah, sering jadi tujuan para sosialita yang ingin menyeruput kopi di pagi hari. Ia mendorong pintu kaca, disambut dentingan lonceng kecil. Aroma kopi panggang langsung menyergap, bercampur wangi roti croissant yang baru keluar dari oven. Di dalam, manajer Park Ill-sun—pria paruh baya dengan kemeja rapi dan kacamata tipis—sudah berdiri di belakang counter sambil memeriksa order list.
“Oh, Asisten Min. Tepat waktu seperti biasa,” sapanya tanpa mengalihkan pandangan dari kertas.
“Pagi, Sajangnim. Maaf kalau agak buru-buru. Saya langsung mulai saja.” ujar Areum yang langsung memulai rutinitasnya dimulai: memeriksa stok bahan di dapur, mengecek kebersihan meja, memastikan machine grinder siap digunakan, lalu menata buku catatan untuk reservation. Setelah itu, ia membantu barista mengatur gelas-gelas kaca di rak.
Jam baru menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh ketika pintu mulai terbuka satu per satu. Pelanggan pertama biasanya para pegawai kantoran dari sekitar Cheongdam, lalu diikuti ibu-ibu yang mengenakan gaun kasual mewah. Areum sigap menyapa, senyumnya terlatih, meski sisa rasa kantuk masih menggantung di pelupuk mata. Di tengah kesibukan itu, pikirannya sesekali teringat kembali pada pasangan asing yang dilihatnya semalam. Perasaan berat di dadanya belum sepenuhnya pergi.
Setelah seharian bekerja, melakukan segalanya dengan teliti, Areum akhirnya bersandar lemah di kursi yang memang tersedia di ruangannya. Ia bolak-balik mengecek barang-barang yang datang, memastikan semuanya sesuai catatan. Hingga tiba saatnya ia akan pulang, ia masuk ke ruang manajer, Ill-sun, lalu berkata pelan.
“Ini data laporan bahan-bahan yang masuk dan diterima hari ini, Manager-ssi,” ujar Areum, menunduk sopan. Ill-sun, pria muda yang mungkin hanya beberapa tahun lebih tua darinya, mengangguk pelan.
“Letakkan di sana, ouh ya, Areum-ssi… Minjoon Sajangnim meminta laporan ini ditandatangani. Aku tidak bisa mengantarkan langsung karena banyak urusan. Aku sudah bicara dengan beliau, dan beliau bilang aku harus menyuruhmu. Tolong antarkan sendiri, ya? Beliau bilang kau tahu apartemen kakaknya—cukup serahkan dan minta tandatangan,” jelas Ill-sun sambil menatap Areum serius, namun ada nada ringan yang membuatnya lega. Areum mengangguk, menenangkan napasnya yang sedikit memburu.
“Baik, manager-ssi.” ujar nya yang membuat Ill-sun tersenyum tipis, lalu menambahkan.
“Ouh ya, Minjoon sajangnim juga menitipkan salep ini,” sambil menyerahkan sebuah kantong kecil berlogo apotek pada Areum.
“Akhh, baik, manager-ssi,” jawab Areum sambil mengambil map tersebut di tangan kanan dan kantong kecil di tangan kiri. Ia melangkah keluar dari ruangan, namun langkahnya sedikit melambat ketika melewati meja kasir, memastikan semua catatan penjualan hari itu sudah aman tersimpan.
Suasana kafe kini jauh lebih tenang; hanya tersisa beberapa pelanggan yang duduk santai, menyesap minuman terakhir sebelum penutupan. Areum menarik napas panjang, menenangkan tubuhnya yang lelah, dan bergumam pelan.
“Aigoo… hari ini benar-benar panjang…” sambil menatap langit-langit kafe yang mulai redup oleh lampu hangat.
Areum berpamitan pada staf yang masih bertugas, lalu mengganti apron dan topinya di ruang ganti. Rambutnya ia ikat seadanya, tak ingin membuang waktu lebih lama. Di luar, langit Cheongdam-dong mulai gelap, lampu jalan memantulkan cahaya ke aspal yang masih lembap sisa hujan sore tadi.
Sambil berjalan menuju halte, Areum menatap map di tangannya. Apartemen kakaknya Tuan Minjoon… Ia tahu persis tempat itu—bukan karena pernah diundang secara pribadi, tapi karena ia pernah mengantarkan Minjoon ke sana. Ada sesuatu yang… entah kenapa membuat dadanya agak berat setiap mengingat area itu. Bus datang, dan ia segera naik, memilih duduk di kursi dekat jendela. Pemandangan malam Gangnam yang sibuk melintas cepat, tapi pikirannya malah mengembara—tentang pertemuan yang mungkin singkat, atau mungkin malah meninggalkan bekas dalam benaknya.
...
"Makan cepat, jangan banyak bertingkah,” ujar Jihoon sambil menatap Minjoon yang sedang makan, meski terlihat setengah hati. Sudah hampir tiga hari sejak kejadian itu, Minjoon tak bisa berjalan leluasa karena kakinya terkilir.
“Ini juga sedang makan…” ucap Minjoon, namun kalimatnya terhenti ketika suara bel apartemen tiba-tiba terdengar, memecah keheningan.
“Siapa yang bertamu?” tanya Jihoon, alisnya terangkat, menatap Yoonjae—karena ini memang apartemen Yoonjae.
“Aku tidak punya tam—” jawab Yoonjae, tapi kalimatnya disela Minjoon.
“Itu Areum. Aku meminta data laporan yang harus aku tandatangani,” ujar Minjoon, lalu kembali menyuapkan sup buatan Jihoon ke mulutnya dengan perlahan.
“Yang mengantarkan mu beberapa hari lalu?” tanya Yoonjae, membuat Minjoon mengangguk. Jihoon hanya diam, tak memahami konteksnya.
"Iya… Hyung, bisa tolong bukakan pintu? Aku sulit berjalan,” ujar Minjoon sambil tersenyum tipis. Yoonjae mengangguk tanpa banyak bicara, lalu melangkah menuju pintu. Namun, begitu pintu terbuka, tubuh Yoonjae seolah membeku. Matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu.
“Hyung, kenapa?” tanya Minjoon dari ruang makan, namun Yoonjae tidak menjawab. Jihoon yang penasaran akhirnya bangkit, melangkah menghampiri pintu.
“Yoon, wae—” ucapnya, tapi kata-katanya terputus. Di hadapannya kini berdiri sang bibi, Hyo-jin, yang baru semalam bersitegang dengannya. Walau suasana terasa kaku, Yoonjae tetap mempersilakan istri kakak ayahnya itu masuk.
Beberapa kali Hyo-jin menghela napas panjang, pandangannya bergantian menyapu wajah ketiga keponakannya. Mereka kini duduk di ruang tamu apartemen Yoonjae, saling diam. Hingga akhirnya, Hyo-jin memecah keheningan dengan suara berat, seolah baru saja menurunkan beban yang ia pikul bertahun-tahun.
“Sukmo memang membuang bayi itu bersama Samcheon kalian… karena Abeoji tidak ingin ada anak perempuan di keluarga Kim,” ucapnya.
“Itu benar? Kenapa Sukmo tega?” tanya Jihoon, tatapannya tak lepas dari wajah wanita di depannya.
“Sukmo tidak punya pilihan saat itu, adeul… Abeoji memaksa kami membawa bayi itu sejauh mungkin, dan kami hanya mengikuti perintahnya,” jawabnya pelan, membuat Yoonjae menatap tajam.
“Kalian buang dia di mana? Aku sudah cari di seluruh Gangnam, tapi tidak ada panti asuhan yang menerima bayi atas nama kalian di tanggal itu. Jangan bilang kalian membuangnya di jalanan?” tuduh Yoonjae, nadanya meninggi. Hyo-jin menatap keponakannya itu, lalu menggeleng.
“Kami tidak buang di jalan atau di panti asuhan.” ujar nya yang membuat Minjoon menyahut cepat.
“Lalu di mana?” Minjoon memotong cepat, tapi ia menahan kalimatnya, seolah takut mendengar jawabannya.
“Kami titipkan pada orang… sepasang suami-istri, tapi jelas bukan di Gangnam,” jawab Hyo-jin.
“Di mana?” tanya Jihoon cepat.
“Mapo-gu. Dulu kami titipkan pada suami-istri yang tinggal di Yeonnam-dong. Tapi sekarang, kami tidak tahu apakah mereka masih di sana atau tidak. Beberapa tahun pertama kami masih sering mengunjunginya—sekadar melihatnya dari jauh. Tapi setelah usianya lewat lima tahun, kami berhenti datang… dan setelah itu, kami tidak tahu apa yang terjadi padanya.” ujar Hyo-jin menunduk, suaranya bergetar.
Awalnya ia tidak ingin mengungkapkan semua ini, tapi perkataan Jihoon semalam—yang mengancam akan membenci mereka jika tahu kebenarannya sendiri—membuat hatinya goyah. Lagi pula, di dalam hatinya, ia sudah menganggap Jihoon, Yoonjae, dan Minjoon sebagai anaknya sendiri.
Dia tidak pernah bisa hamil, bahkan setelah bertahun-tahun menikah. Kadang ia dan suaminya bertanya-tanya… apakah ini karma karena telah melakukan dosa sebesar itu? Membuang bayi tak berdosa, yang akhirnya membuat orang tuanya kehilangan nyawa. Hari ini, ia ingin memperbaiki segalanya, meski mungkin sudah terlambat—karena puluhan tahun telah berlalu.
“Jangan benci Sukmo dan Samcheon, adeul… saat itu kami benar-benar tidak punya pilihan. Abeoji memaksa kami, dan kami tidak bisa menolak,” ujarnya.
Ketiganya terdiam. Di satu sisi, ada rasa lega karena kegelapan yang membayangi mereka selama bertahun-tahun mulai menemukan titik terang. Tapi di sisi lain, rasa ragu muncul—apalagi saat mendengar bahwa sang bibi pun tidak yakin dengan kondisi adik mereka sekarang.
“Sukmo… jujur saja, kami kecewa dengan perbuatan kalian. Bagaimanapun, kami sudah menganggap Sukmo dan Samcheon sebagai pengganti Eomma dan Appa. Tapi saat aku tahu kalianlah yang membuat kami kehilangan segalanya… kami jelas kecewa,” ujar Jihoon dengan suara berat. Hyo-jin hanya menunduk, menerima setiap kata yang keluar dari mulut keponakannya itu.
“Sukmo tahu… itu yang menjadi penyesalan Sukmo seumur hidup. Andaikan saat itu Sukmo menolak, dan berani melawan Abeoji, mungkin semua ini tidak perlu terjadi. Sekarang… jika kalian masih ingin membenci Sukmo, tidak masalah. Sukmo paham, kesalahan Sukmo sudah menghancurkan hidup kalian. Kalian tidak akan semudah itu memaafkan kami… setelah semua yang terjadi,” ucapnya lirih, sedangkan itu Jihoon mengangguk pelan, meski sorot matanya tetap dingin.
“Sukmo masih ingat di mana rumah tempat Sukmo dan Samcheon… membuang Ara?” tanya Yoonjae lagi.
“Iya… tapi Sukmo tidak tahu apakah mereka masih di sana, atau sudah pindah.” Ujar Hyo-jin mengangguk pelan. Minjoon tampak hendak membuka suara, namun bunyi bel pintu memotong percakapan itu.
“Siapa?” tanya Yoonjae, menoleh pada Minjoon.
“Mungkin itu Areum. Coba lihat, hyung,” ujar Minjoon.
Yoonjae bangkit dan berjalan ke pintu. Tak lama, ia kembali bersama seorang gadis yang tampak gugup memasuki ruangan. Areum melangkah pelan, matanya menyapu wajah-wajah asing di ruangan itu.
“Oh, Areum-ssi… terima kasih sudah datang. Maaf mengambil waktu pulang mu,” ujar Minjoon, suaranya lebih lembut dari biasanya. Areum mengangguk, mencoba tersenyum tenang meski telapak tangannya mulai berkeringat dingin.
“A-akh iya… ini yang sajangnim minta,” ucapnya, menyerahkan sebuah map putih serta salep yang tadi dititipkan oleh manajer Ill-sun.
“Hyung, minta tolong ambilkan bolpoin, untukku.” pinta Minjoon.
Tanpa banyak bicara, Yoonjae mengambilkan bolpoin. Minjoon mulai menandatangani dokumen di map itu tanpa membacanya, lalu menyerahkannya kembali pada Areum.
“Ini… terima kasih. Nanti berikan itu pada Ill-sun,” ucap Minjoon yang membuat Areum langsung mengangguk patuh. Lalu, dengan suara sedikit ragu, ia memberanikan diri berbicara.
“Sajangnim… saya minta maaf, tapi… saya ingin sekalian izin cuti untuk tiga hari ke depan. Saya ingin pulang ke mapo-gu. Eomma saya sedang tidak sehat.” ujar Areum sorot matanya bergeser sesaat pada Minjoon, lalu pada orang-orang lain di ruangan itu, sebelum ia menunduk lagi. Meskipun gugup karena diperhatikan banyak orang, Areum tetap berusaha menyampaikan maksudnya.
Sementara itu reaksi Jihoon, Yoonjae dan Hyo-jin begitu mendengar kata Mapo-gu, secara refleks saling bertatapan. Ada jeda hening yang terasa aneh—bukan karena mereka langsung mengira Areum adalah Ara, tapi karena kaget saja, mengingat nama itu baru saja keluar dari mulut Hyo-jin beberapa menit lalu. Minjoon sempat melirik sekilas ke arah Yoonjae, lalu ke Jihoon, dan sang bibi karena bingung dengan reaksi mereka, namun ia cepat-cepat mengalihkan pandangan agar tidak menimbulkan ketidak nyamanan pada Areum.
Di sisi lain, Areum mulai merasa suasana jadi sedikit tegang. Tangannya yang memegang map terasa semakin licin oleh keringat. Ia menelan ludah, mencoba menegakkan punggung, tapi jemarinya tanpa sadar saling meremas di depan perut. Minjoon menyandarkan punggung ke sofa, menatap Areum cukup lama—terlalu lama untuk ukuran jawaban sederhana. Sorot matanya tidak tajam, tapi seolah menimbang sesuatu yang Areum sendiri tak mengerti.
“Mapo-gu, ya? Di Yeonam-dong kan?” ucap Minjoon akhirnya, nada suaranya datar tapi ada sedikit penekanan di akhir kalimat.
“I-iya, sajangnim… Eomma saya tinggal di sana. Sudah beberapa hari ini beliau sakit, jadi saya ingin menjenguk nya.” ujar Areum mengangguk cepat. Tatapan Yoonjae sekilas bergerak ke arah Hyo-jin, yang hanya menunduk sambil menggenggam jemarinya sendiri. Jihoon berpura-pura melihat ke meja, tapi rahangnya mengeras entah kenapa, sedangkan Minjoon hanya menghela napas pelan, lalu mengangguk.
“Baik. Tiga hari… pastikan pekerjaanmu sudah selesai sebelum pergi.” ujar Minjoon yang membuat Areum membungkuk dalam-dalam, rasa lega membanjiri wajahnya.
“Kamsahamnida, sajangnim.” ujar nya sembari melangkah mundur pelan, tidak sadar bahwa kepergiannya baru saja meninggalkan tanda tanya di kepala tiga pria di ruangan itu—tanda tanya yang belum siap mereka jawab, tapi sulit untuk diabaikan.
Begitu pintu apartemen tertutup, Yoonjae, Jihoon, dan Minjoon masih terdiam. Suasana yang tadinya penuh beban cerita Hyo-jin kini berganti menjadi rasa penasaran yang tak kalah menekan.
“Yeonnam-dong?” gumam Jihoon pelan, seolah mengulang untuk memastikan ia tak salah dengar. Minjoon menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ditutup.
“Ya… Yeonnam-dong,” ulangnya lirih, tapi nadanya berbeda—lebih seperti seseorang yang sedang mencoba merangkai potongan-potongan puzzle di kepalanya.
Sebenarnya, sejak pertama kali bertemu Areum, ada sesuatu yang mengusik Minjoon. Bukan semata karena wajahnya yang cantik dan manis atau caranya berbicara yang sopan, tapi… ada aura tertentu yang terasa familiar, meskipun ia tidak bisa menjelaskan kenapa. Itu juga alasan kenapa ia spontan menawarkan pekerjaan pada Areum, bahkan ketika ia tahu gadis itu masih bekerja di kafe milik Ji-sung, sahabat lamanya.
Dia ingat waktu pertama kali mereka bertemu di acara makan malam itu, entah kenapa dari ke tiga karyawan yang Ji-Sung tawarkan untuk pertukaran pegawai dia memilih Areum bukan karena dia mau tapi karena hati nya yang meminta seperti itu. Minjoon menganggapnya kebetulan, tapi tatapan Areum saat itu… entah kenapa membuatnya merasa seperti sedang menatap seseorang dari masa lalu.
Kini, mendengar gadis itu menyebut Yeonnam-dong, bagian kecil dalam diri Minjoon semakin yakin—ada benang merah yang menghubungkan Areum dengan rahasia yang baru saja dibongkar Sukmo. Yoonjae, yang menyadari perubahan ekspresi Minjoon, bertanya dengan hati-hati.
“Kau juga memikirkannya?” suaranya pelan, namun Minjoon tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, udara dingin dari jendela kecil apartemen menyentuh wajahnya, lalu berkata pelan.
“Entahlah… tapi sejak awal aku merasa Areum bukan orang yang kebetulan lewat di hidupku. Aku tahu dia tinggal di mana, bahkan rumahnya, tapi aku tidak pernah berpikir… jika dia Ara, adik yang kita cari,” ujar Minjoon, matanya menatap kosong seolah menimbang kemungkinan itu, membuat kedua saudaranya terkejut.
“Kau tahu rumah dia… dan dia tinggal di mana?” Tanya Jihoon, nada suaranya terselip kekagetan—Minjoon tak mungkin begitu detail tentang pegawainya tanpa alasan kuat.
“Ya… aku lah yang membawanya dari Mapo ke Gangnam. Saat itu, seperti biasanya, aku menghadiri undangan Ji-Sung yang ingin menawarkan kandidat untuk pertukaran karyawan yang loyal. Dia termasuk salah satu dari ketiga orang itu. Saat pertama kali melihatnya… entah kenapa aku merasa harus memilih dia. Bukan karena suka, tapi hatiku seolah berbisik, ‘pilih dia.’ Akhirnya, aku memintanya bekerja padaku, dan dia setuju setelah lama berpikir, karena katanya orang tuanya tidak mengizinkan pergi ke Gangnam, apalagi sampai harus menetap di sini,” jelas Minjoon, matanya menatap jauh ke arah jendela, bayangan lampu jalanan menari di wajahnya, membuat Yoonjae terdiam.
“Aku merasakan hal yang sama. Pertama kali berkenalan dengannya di rumah sakit itu, aku juga merasa dekat dengan dia. Saat itu, aku pikir ini hanya perasaanku saja,” ujar Yoonjae, suaranya lembut tapi mantap, menambahkan kepastian.
“Jika dia memang Ara, setidaknya kita tahu… dia masih baik-baik saja,” ucap Sukmo, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan. Jihoon, Yoonjae, dan Minjoon mengangguk setuju, napas mereka serentak terasa lega, meski masih ada ketegangan di dada masing-masing.
“Sukmo, apa kita bisa pergi ke sana besok? Aku tidak ingin membuang waktu,” ujar Jihoon, nada tegasnya terselip sedikit permohonan. Sukmo menatap keponakannya lama, matanya menimbang-nimbang segala risiko. Lalu, ia mengangguk pelan, suara lembutnya terdengar di antara detak jam di ruang tamu.
“Baik. Besok pagi kita berangkat. Tapi… tempat itu mungkin sudah banyak berubah. Jangan terlalu berharap akan langsung menemukannya. Jika Areum itu memang Ara beruntung lah karena Minjoon bisa tahu rumah nya, tapi jika bukan...” Hyo-jin menghentikan ucapannya. Minjoon, yang sejak tadi hanya mendengar, ikut menyela dengan nada hati-hati.
“Kalau memang mereka masih di sana, itu akan mempersingkat segalanya. Tapi kalau tidak… kita mungkin harus mencari cara lain,” ujar Jihoon, matanya menatap sekilas ke arah Yoonjae, wajahnya serius namun sedikit tegang.
“Setidaknya sekarang kita menemukan titik terangnya, Sukmo… kami menghargai kejujuranmu, tapi tetap jujur… kami kecewa. Tidak menyangka jika kalian—yang aku anggap pelindung kami—ternyata adalah orang yang menghancurkan semuanya,” lanjut Jihoon, suaranya pecah tapi tegas, membuat Yoonjae mengangguk pelan, sedangkan Minjoon hanya diam, menatap sekilas wajah sang bibi dengan tatapan berat, penuh campuran perasaan.
“Sukmo mengerti. Setidaknya aku sudah jujur, meskipun terlambat. Semoga kalian bisa segera menemukan adik kalian,” jawab Sukmo, suaranya lembut tapi terselip penyesalan, sambil berdiri perlahan dari tempat duduknya.
“Kita pergi jam berapa besok?” tanya Hyo-jin, matanya menatap Jihoon dengan penuh perhatian.
“Eum… mungkin sekitar jam delapan. Lebih cepat lebih baik. Lagipula tidak terlalu jauh. Ouh ya, Sukmo… kalau bisa biar kami saja yang membawa mobil supaya tidak terlalu mencolok,” ujar Jihoon, nada tegasnya tetap mengandung sedikit urgensi. Hyo-jin mengangguk, menyetujui rencana itu.
“Baiklah…” ujar Sukmo sambil berlalu, diikuti Yoonjae yang mengantarnya ke pintu keluar. Minjoon tetap duduk di tempatnya, diam, matanya menatap kosong ke arah jendela. Ia tampak bergelut dengan pikirannya sendiri, napasnya sedikit memburu, dadanya sesak oleh perasaan campur aduk antara penasaran, harap, dan takut.
“Apa benar dia adikku?” gumam Minjoon, suaranya nyaris tak terdengar, namun memenuhi ruangan kecil itu dengan kegelisahan yang nyata.