Istri penurut diabaikan, berubah badas bikin cemburu.
Rayno, pria yang terkenal dingin menikahi gadis yang tak pernah ia cintai. Vexia.
Di balik sikap dinginnya, tersembunyi sumpah lama yang tak pernah ia langgar. Ia hanya akan mencintai gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya.
Namun ketika seorang wanita bernama Bilqis mengaku sebagai gadis itu, hati Rayno justru menolak mencintainya.
Sementara Vexia perlahan sadar, cinta yang ia pertahankan mungkin hanyalah luka yang tertunda.
Ia, istri yang dulu lembut dan penurut, kini berubah menjadi wanita Badas. Berani, tajam, dan tak lagi menunduk pada siapa pun.
Entah mengapa, perubahan itu justru membuat Rayno tak bisa berpaling darinya.
Dan saat kebenaran yang mengguncang terungkap, akankah pernikahan mereka tetap bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Antara Gengsi dan Ego
“Apa?” tanya Rayno dengan suara rendah, berat, nyaris seperti bisikan yang mengguncang udara di antara mereka.
Namun alih-alih melakukan sesuatu yang gila seperti yang dibayangkan Vexia, Rayno hanya menunduk sedikit.
“Klik!”
Ia menarik sabuk pengaman dan menguncinya di dada Vexia.
Gerakannya cepat, tenang, nyaris membuat Vexia kehilangan napas. Ia sempat terpaku saat jari-jari Rayno menyentuh bahunya sebelum pria itu menatapnya datar.
“Diam di situ,” ucapnya pendek.
Tanpa memberi kesempatan Vexia menjawab, Rayno kembali ke kursinya, menyalakan mesin, seolah tak terjadi apa-apa.
Vexia hanya bisa mendengus, menoleh ke arah jendela untuk menyembunyikan wajahnya yang merona.
Pipinya panas, jantungnya masih berdegup tak karuan.
“Sial,” gumamnya pelan. “Memalukan sekali… apa yang kupikirkan tadi?”
Mobil mulai menderu pelan. Suara hujan tipis di luar menyusup lewat kaca depan, memecah keheningan yang menggantung.
Sementara di dalam kabin yang sempit itu, udara terasa aneh. Hangat, padat, dan penuh dengan sesuatu yang tak seorang pun berani sebut sebagai rasa.
Rayno menatap lurus ke depan, satu tangannya menggenggam setir, yang lain bertumpu di tuas persneling. Rahangnya masih mengeras, namun napasnya perlahan mulai tenang.
***
Sementara itu, di Klub Malam.
Lampu neon menari di antara dentuman bass yang mengguncang dada. Gelas-gelas beradu, tawa bersahutan, namun satu meja kini terasa janggal.
Bira menatap kursi kosong di sebelahnya, tempat Vexia duduk sebelumnya. Alisnya berkerut, jari telunjuknya mengetuk meja pelan.
“Dari tadi gak balik-balik…” gumamnya lirih, matanya menyapu kerumunan.
Tak jauh darinya, para staf wanita masih bersorak heboh di depan tiga host pria yang jadi pusat perhatian malam itu.
Sorakan, siulan, dan tawa mereka menenggelamkan apa pun, termasuk firasat aneh yang mulai menggelayut di dada Bira.
“Mau ke mana, Bir?” tanya Dimas, suaranya hampir tenggelam oleh dentuman musik, saat melihat rekannya bangkit dari kursi.
“Mau cari Vexia. Dia ke toilet dari tadi gak balik-balik, gue takut kenapa-napa.”
Dimas ikut berdiri. “Gue ikut.”
Keduanya berjalan melewati kerumunan, aroma alkohol dan parfum menyengat bercampur dalam udara. Musik berganti lagu, tapi di kepala Bira hanya ada satu hal: perasaan tak enak.
Begitu sampai di lorong menuju toilet, mereka hampir bertabrakan dengan seseorang yang baru keluar dari arah sana.
“Pak Dani?” panggil Bira cepat, mengenali sosok lelaki itu.
Dani menoleh. Kemeja gelapnya tampak sedikit kusut, lengan digulung hingga siku, tapi tetap rapi khas dirinya. Terlihat kontras dengan suasana klub yang ramai.
“Oh, kalian...” ujarnya datar, nada suaranya nyaris tenggelam oleh dentuman musik.
Bira dan Dimas mengangguk sopan.
“Pak, Bapak lihat Vexia? Dari tadi dia belum balik ke meja.” Nada suara Bira terdengar khawatir.
Dani sempat diam beberapa detik. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya sedikit beralih ke samping, seolah menyusun jawaban di kepalanya.
Dimas ikut bicara, suaranya lebih cepat. “Bapak tahu 'kan, Vexia anak baru dari divisi administrasi. Dia ditugaskan mengkoordinasi laporan proyek lintas-divisi.”
Dani menghela napas perlahan. “Saya tahu.”
“Jadi... Bapak lihat dia?” desak Bira, kini makin cemas.
Dani menatap mereka bergantian sebelum akhirnya berkata tenang, “Dia sudah pulang. Dijemput keluarganya.”
“Hah?” Bira dan Dimas saling pandang, kaget.
Mereka refleks berpikir soal tagihan yang telah dijanjikan akan dibayar Vexia.
Dani menatap keduanya, lalu tersenyum tipis. “Jangan khawatir soal tagihan. Nona Vexia sudah menitipkan pembayaran pada saya.”
Kedua pria itu langsung mengembuskan napas lega bersamaan.
“Syukurlah,” ujar Dimas cepat. “Saya kira dia kabur.”
Dani menepuk bahu Dimas pelan. “Lanjutkan saja pestanya. Tapi jangan terlalu malam, besok masih kerja. Jangan bikin masalah baru.”
Ia berkata tenang, tapi dengan tatapan khas orang yang terbiasa memberi perintah tanpa meninggikan suara. Lalu melangkah pergi, meninggalkan keduanya yang hanya bisa saling pandang.
Dimas mengusap dada. “Gue hampir jantungan. Kalau Vexia kabur, kita harus sokongan bayar tagihan. Gue gak punya tabungan.”
Bira terkekeh kecil. “Tenang, Dim. Gue yakin dia gak bakal kabur. Lagian, yang ngomong tadi Pak Dani, tangan kanan bos besar. Gak mungkin bohong.”
“Ya, juga sih,” gumam Dimas, menatap arah Dani pergi. “Tapi tetap aja... rasanya aneh.”
“Udah, balik aja. Ntar yang lain nyusul, dikira kita mabuk di toilet,” sahut Bira meski merasakan hal yang sama. Ia menarik lengan temannya. Mereka berdua tertawa hambar, mencoba mencairkan suasana.
Beberapa menit kemudian
Dani baru saja kembali ke area bar saat seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
“Eh, Dani? Kamu di sini?” suara Yovie terdengar. Ramah tapi heran.
Dani menunduk sopan. “Tuan Yovie.”
“Bos kamu di mana? Dari tadi gak balik-balik dari toilet.”
Dani menatapnya sekilas, ekspresinya netral. “Tuan ada urusan mendadak. Jadi pulang duluan. Saya baru mau menyampaikan hal itu pada Anda.”
Yovie mengernyit. “Urusan mendadak? Malam-malam begini?”
Dani tersenyum tipis, nyaris seperti orang yang tahu sesuatu tapi memilih bungkam. “Urusan hati, Tuan.”
Dahi Yovie berkerut makin dalam. “Urusan… hati?”
Dani mengangguk sekali, sopan namun penuh makna. “Ya, Tuan. Untuk lebih jelasnya… mungkin Anda bisa bertanya langsung pada beliau.”
Ia menunduk hormat, lalu berlalu dengan langkah tenang, meninggalkan Yovie yang hanya bisa menatap punggungnya dengan rasa penasaran yang menebal di wajah.
Yovie bergumam pelan, “Urusan hati? Malam-malam begini?"
Musik klub masih berdentum, tapi suara itu perlahan memudar. Lampu-lampu neon berganti dengan pantulan cahaya kota yang basah oleh hujan di kaca mobil.
Suara bass yang berat berubah menjadi bunyi wiper yang berayun pelan, menyapu sisa air dari kaca depan.
Di dalam mobil hitam.
Suasana hening. Hanya suara hujan yang menetes di luar dan deru mesin yang stabil.
Vexia menyilangkan tangan di dada, wajahnya menatap keluar jendela.
Suaranya dingin tapi tegas.
“Aku gak suka dipaksa seperti ini,” ujarnya dingin tanpa menatap. “Jangan mentang-mentang kau lebih kuat lalu menindasku kayak gini.”
Rayno tetap fokus ke jalan, rahangnya mengeras.
Beberapa detik hanya diisi suara mesin dan hujan yang menampar kaca.
“Jangan ulangi,” ucapnya datar tapi tajam. “Aku gak akan diam kalau istriku jadi tontonan publik.”
Vexia langsung menoleh, menatapnya tajam.
“Tontonan?” suaranya meninggi sedikit. “Itu gathering kerja, bukan catwalk murahan. Semua orang tahu itu.”
Rayno melirik sekilas. Tatapan singkat tapi membakar.
“Dan kau merasa nyaman dikelilingi pria setengah telanjang seperti itu?”
Vexia mendengus, sinis.
“Jadi itu masalahnya? Kau cemburu?”
Rayno tak menjawab. Tapi tangannya mencengkeram setir makin kuat, bunyi kulit tangan beradu dengan kulit stir terdengar jelas di antara dentum hujan.
Senyum miring muncul di bibir Vexia, getir tapi menantang.
“Lucu. Pria yang selama ini bahkan gak pernah menyentuhku, tiba-tiba sibuk main suami posesif. Ada apa, Tuan Rayno Amartya? Tiba-tiba ingat aku istrimu?”
Rayno menghentikan mobil mendadak di tepi jalan. Hujan di luar menambah dramanya. Tatapannya menusuk, namun ada sesuatu yang lain di balik amarahnya. Rindu yang ia sembunyikan dengan buruk sekali.
Ia mendekat, jarak mereka kembali tipis, membuat jantung Vexia kembali' berdetak kencang.
Suara napas mereka bertemu di udara yang panas.
“Aku mungkin diam,” katanya perlahan, suara serak menahan emosi. “Tapi diam bukan berarti gak peduli.”
Vexia menatap balik. Matanya dingin tapi bergetar halus.
“Peduli?” ulangnya pelan. “Peduli itu ditunjukkan, bukan disembunyikan di balik diam dan gengsi.”
Rayno menatapnya lebih lama dari yang seharusnya, namun kemudian mengalihkan pandang. Ia kembali menggenggam setir, memutar kemudi dan melajukan mobil lagi tanpa berkata apa-apa.
Keheningan kembali menguasai kabin.
Vexia hanya bisa menghela napas panjang, menatap keluar jendela. Mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak terlalu cepat untuk disebut sekadar karena marah.
Hujan mengguyur makin deras, menari di atas kap mobil. Wiper bergerak cepat, sementara suasana di dalam kabin terasa menekan.
Vexia masih menatap ke luar jendela, wajahnya dingin.
Rayno di sisi lain diam membisu, tapi matanya terus melirik sekilas ke arah istrinya, seolah memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana.
“Turunin aku di depan,” kata Vexia akhirnya, pelan tapi tegas.
Rayno tetap menatap jalan, suaranya datar.
“Kenapa? Mau balik ke klub? Kau pikir aku bakal biarin kau balik ke sana lagi?”
Vexia menoleh cepat, matanya menyalak.
“Aku bukan anak kecil, Rayno. Dan aku gak butuh dikawal cuma karena kau baru sadar aku masih istrimu.”
Rayno tak menjawab. Tapi jemarinya mengetat di setir, seolah menahan sesuatu yang kalau lepas, bisa menghancurkan semuanya.
Rayno menoleh cepat, pandangannya tajam dan penuh bara.
“Dan aku bukan tipe orang yang bisa pura-pura tenang saat istriku… jadi bahan tontonan di tempat seperti itu.”
Vexia berbalik, suaranya meninggi, matanya menantang.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Langsung semangat empat lima bercocok tanam. Siapa tahu besuk tamunya tidak datang 😄 - yang datang kehidupan baru - bisa jadi kan Vexia hamil.
Dani telah menyelidiki - sindikat mereka cukup besar.
Ternyata pria yang melecehkan Vexia waktu di villa itulah si pencuri berlian.
Dikhawatirkan mereka balas dendam.
Penjagaan Vexia diperketat.
Kakek Gumilang khawatir dengan keselamatan Vexia.
Pasangan duo rubah betina tak ada habisnya mencari masalah.
Rango berebut berlian mahal sama Vexia, Bilqis berebut batu giok harga fantastis sama Rayno.
Si ulat bulu ngerencanain apalagi sih? Duo rusuh ga ada kapok2nya
Berakhir menyerah dengan tubuh babak belur.
Para staf yang sehari-hari diruangan yang sama tidak tahu Vexia yang sebenarnya.
Rango yang sekelas mafia saja heran siapa Vexia. Dilindungi banyak penjaga, bahkan bisa memimpin mereka.
Rayno marah karena khawatir keselamatan Vexia - kecupan singkat mendarat di bibir Rayno.
Vexia tak mau membahas lebih lanjut. Alamat tidur terpisah kalau Rayno masih membahas.
Marahnya Rayno wajar - ketakutan seorang suami ketika istrinya terancam nyawanya.
padahal kemarin dah hampir koit😆😆😆.. mau aja disuruh² ma si Bilqis..
KLO nanti ketahuan ketakutan lagi 😆😆😆