Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebaikan salah sasaran
“Namanya Gilang, Nyonya.”
Sebuah nama. Hanya sebuah nama. Asing, tak berarti, dan sama sekali tidak terhubung dengan dosa yang sedang coba ia tebus. Sejenak, Laras berharap operator itu akan menyebut nama lain, nama yang ia kenal, nama yang bisa memberinya semacam koneksi kosmik, sebuah pertanda bahwa semesta mengerti niatnya.
Namun, yang datang hanyalah kekosongan. Gilang. Seorang anak laki-laki tak dikenal yang akan menjadi wadah bagi penebusan dosanya yang tergesa-gesa.
“Ya. Dia,” kata Laras, suaranya lebih tegas sekarang, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
“Saya akan menanggung semua biaya yang dibutuhkan untuk perawatannya menjelang transplantasi. Kirimkan saja rinciannya ke surel asisten saya. Tolong pastikan… tolong pastikan dia mendapatkan yang terbaik.”
“Baik, Nyonya. Atas nama Gilang dan pihak rumah sakit, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Bantuan ini… ini adalah sebuah keajaiban baginya,” jawab sang operator, nadanya tulus dan penuh haru.
Keajaiban. Laras hampir tertawa getir. Ini bukan keajaiban. Ini adalah transaksi. Sebuah upaya pengecut untuk membeli ketenangan jiwa dengan mata uang yang sama yang pernah ia gunakan untuk menjual jiwa putranya sendiri. Ia menutup telepon tanpa mengucapkan selamat tinggal, lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa kulit yang dingin.
Di luar, suaminya mungkin sudah dalam perjalanan menuju bandara, menuju kehidupan gemerlap yang telah ia pilih. Di sini, di dalam sangkar emasnya, Laras baru saja melemparkan segepok uang ke dalam jurang penyesalannya, berharap gema yang kembali bukanlah jeritan seorang anak laki-laki bernama Angkasa.
.
.
.
.
.
Harapan adalah komoditas langka di kamar 702. Ia datang dan pergi seperti sinyal ponsel yang lemah, terkadang muncul sekelebat lalu hilang ditelan dinding-dinding keputusasaan. Namun, pagi itu, harapan datang dalam wujud seorang wanita paruh baya dari bagian administrasi yang mengetuk pintu dengan senyum lebar yang tampak tidak pada tempatnya di koridor yang berbau antiseptik itu.
“Permisi, Mbak Lila? Boleh saya bicara sebentar?”
Lila, yang sedang telaten membersihkan sudut mulut Gilang yang menolak sarapan, menoleh.
“Ya, Bu? Ada apa?”
“Ada kabar baik, Mbak. Sangat baik,” kata wanita itu, matanya berbinar.
“Tadi malam, ada seorang donatur anonim yang menghubungi rumah sakit. Beliau… beliau setuju untuk menanggung seluruh biaya perawatan pra-transplantasi untuk Gilang.”
Dunia yang tadinya hanya berputar di antara monitor EKG dan kantong infus sejenak berhenti. Lila meletakkan mangkuk bubur itu dengan gerakan lambat.
“Maaf… maksud Ibu?”
“Seluruh biaya, Mbak. Obat-obatan penopang jantung yang mahal itu, biaya kamar intensif jika diperlukan, tes-tes lanjutan, semuanya. Beliau hanya berpesan agar Gilang mendapatkan perawatan terbaik selagi menunggu donor.”
Gilang, yang tadinya bersandar lesu, kini menegakkan tubuhnya sedikit.
“Hah? Serius? Siapa?” tanyanya dengan nada sinis yang biasa, meski ada secercah rasa ingin tahu di matanya.
“Orang kaya mana yang lagi iseng buang-buang duit?”
“Kami tidak bisa memberitahukan identitasnya, Dik. Beliau minta dirahasiakan,” jawab petugas itu ramah.
“Anggap saja ini rezeki.”
Setelah petugas itu pergi, keheningan yang aneh menyelimuti ruangan. Lila menatap Gilang, lalu menatap Angkasa yang duduk diam di ranjangnya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Lila, bukan air mata duka, melainkan air mata kelegaan yang begitu murni hingga terasa menyakitkan.
“Mas… kamu dengar itu?” bisiknya pada Angkasa, suaranya bergetar.
Angkasa mengangguk, sebuah senyum tulus terukir di wajahnya yang pucat.
“Aku dengar, La. Syukurlah.”
Ia merasakan kebahagiaan yang aneh, kebahagiaan yang murni untuk mereka. Seolah beban berat yang selama ini menekan bahu Lila terangkat sebagian.
Kini, satu-satunya penghalang yang tersisa bagi Gilang adalah waktu dan takdir, bukan lagi tumpukan tagihan yang menggunung. Ironisnya, ia merasa ikut lega, seolah kebaikan tak terduga ini adalah secercah cahaya untuk mereka semua. Ia tidak tahu bahwa cahaya itu datang dari bayangan tergelap di masa lalunya.
“Gila,” gumam Gilang, menatap langit-langit.
“Jadi… gue sekarang anak asuh orang kaya, nih?” Ia mencoba melucu, tetapi suaranya pecah di akhir kalimat. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ada binar kehidupan di matanya yang lelah.
Lila tertawa sambil menangis, memeluk adiknya erat.
“Kamu tinggal fokus sembuh sekarang, oke? Nggak usah mikirin yang lain. Kakak yang urus.”
Angkasa hanya memandang pemandangan itu, hatinya menghangat. Di tengah neraka pribadinya, menyaksikan momen kebahagiaan kecil ini terasa seperti seteguk air di padang gurun. Mungkin, memang masih ada kebaikan di dunia. Mungkin perjuangan mereka tidak sepenuhnya sia-sia.
Pintu kamar diketuk lagi. Kali ini Dokter Hendrawan, hematolog yang menangani Angkasa, yang masuk. Wajahnya serius seperti biasa, memegang sebuah map berisi hasil tes terbaru.
“Selamat pagi,” sapanya. Ia melirik sekilas ke arah Lila dan Gilang yang masih berpelukan.
“Lila, Gilang. Mas Angkasa, bisa kita bicara sebentar? Berdua saja.”
Napas Lila tertahan. Kalimat “berdua saja” dari seorang dokter tidak pernah berarti baik. Ia melepaskan pelukannya dari Gilang, menatap Angkasa dengan cemas.
“Kenapa, Dok? Ada masalah?”
“Hanya evaluasi rutin,” jawab Dokter Hendrawan dengan nada datar yang tidak meyakinkan.
“Sebentar saja.”
Angkasa mengangguk pada Lila, memberinya tatapan menenangkan.
“Nggak apa-apa, La. Kamu sama Gilang saja.”
Dengan berat hati, Lila menarik tirai pemisah di antara ranjang mereka, memberikan privasi yang terasa mencekam. Ia duduk di samping Gilang, tetapi telinganya menajam, mencoba menangkap setiap bisikan dari sisi lain tirai.
Dokter Hendrawan menarik kursi, duduk menghadap Angkasa. Ia membuka map di tangannya, tetapi tidak langsung menatap isinya. Ia menatap Angkasa.
“Bagaimana perasaanmu hari ini, Kasa?” tanyanya, menggunakan panggilan yang lebih personal.
“Seperti biasa, Dok. Sedikit lelah,” jawab Angkasa jujur.
Dokter Hendrawan menghela napas.
“Angkasa, hasil lab terbarumu sudah keluar. Juga hasil pemeriksaan sumsum tulang lanjutan yang kita lakukan tiga hari lalu.”
Angkasa menunggu. Jantungnya, satu-satunya organ sehat di tubuhnya, berdetak dengan ritme yang tenang dan mantap, seolah tidak menyadari bahwa seluruh sistem pendukungnya sedang runtuh.
“Jumlah trombosit dan sel darah putihmu terus menurun, bahkan setelah transfusi. Respon tubuhmu terhadap obat imunosupresan juga minimal,” lanjut dokter itu, memilih kata-katanya dengan hati-hati.
“Dan hasil biopsi menunjukkan… sumsum tulangmu hampir sepenuhnya kosong. Sudah digantikan oleh jaringan lemak.”
Angkasa menelan ludah. Ia bukan dokter, tapi ia sudah cukup lama hidup di rumah sakit untuk mengerti arti kalimat itu.
“Jadi… transplantasi?” tanyanya pelan, satu-satunya kata yang masih mewakili harapan.
Di sinilah wajah Dokter Hendrawan berubah, dari serius menjadi penuh penyesalan.
“Itu masalahnya, Angkasa. Dengan kondisi tubuhmu yang sekarang, sistem imunmu sangat lemah. Terlalu lemah. Jika kita paksakan transplantasi sekarang, risiko infeksi pasca-operasi dan GvHD—penolakan organ oleh tubuh—terlalu tinggi. Kemungkinan tubuhmu tidak akan sanggup melewatinya.”
Udara di sekitar Angkasa terasa menipis.
“Maksud Dokter… transplantasi dibatalkan?”
“Bukan dibatalkan,” koreksi sang dokter lembut.
“Tapi ditunda sampai kondisi tubuhmu lebih stabil. Masalahnya adalah, kita kehabisan cara untuk menstabilkanmu.”
Keheningan yang jatuh setelah kalimat itu lebih nyaring dari alarm monitor mana pun. Angkasa menatap tangannya sendiri, punggung tangannya yang penuh bekas jarum suntik. Tubuh yang telah mengkhianatinya.
“Dokter,” kata Angkasa, suaranya serak.
“Tolong jangan berputar-putar lagi. Berapa lama lagi waktu saya?”
Dokter Hendrawan memejamkan matanya sejenak. Inilah bagian terberat dari pekerjaannya. Menjadi algojo yang memenggal harapan.
“Dengan perawatan paliatif untuk menjaga kualitas hidupmu… meredakan nyeri dan gejala lainnya…” Ia berhenti, lalu menatap lurus ke mata Angkasa.
“Perkiraan terbaik kami, kamu punya waktu beberapa bulan. Mungkin tiga, mungkin enam. Kita tidak bisa tahu pasti.”
Bulan. Bukan tahun. Bukan minggu. Sebuah satuan waktu yang terasa begitu konkret, begitu final. Vonis itu tidak datang seperti hantaman palu, melainkan seperti selembar kain basah yang dingin, yang perlahan-lahan diletakkan di wajahnya, membekap napasnya tanpa suara.
Ia tidak menangis. Ia tidak berteriak. Ia hanya merasakan ironi yang begitu kejam menusuk ulu hatinya. Di seberang tirai sana, Lila dan Gilang baru saja mendapatkan jangkar harapan, sebuah keajaiban dari donatur tak bernama. Sementara di sini, kapalnya baru saja dipastikan akan karam.
Setelah Dokter Hendrawan pergi dengan permintaan maaf yang tulus, Angkasa duduk membeku untuk waktu yang terasa seperti selamanya. Ia bisa mendengar tawa kecil Lila dari balik tirai, mungkin karena lelucon sinis Gilang. Suara tawa itu, yang beberapa menit lalu menghangatkan hatinya, kini terdengar seperti belati kaca.
Tirai itu tersibak. Wajah Lila muncul, matanya masih sedikit basah karena air mata bahagia, senyumnya penuh kelegaan. Ia menatap Angkasa, senyumnya sedikit memudar melihat ekspresi kosong di wajah pria itu.
“Mas?” panggilnya lembut, melangkah mendekat.
“Dokter bilang apa? Ada kabar baik soal donor sumsumnya?”