NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2,Jarak yang Sengaja Diciptakan

​Aku terbangun dengan perasaan yang berat, seolah udara malam tadi masih menempel di kulit dan pikiran. Jam di dinding kamarku menunjukkan pukul enam pagi. Malam yang seharusnya kulewatkan dengan tidur nyenyak kini terasa seperti kulewati sambil berdiri di ambang pintu sebuah rahasia.

​Suara-suara berisik dari dapur sudah terdengar. Itu pasti Kak Naira. Sejak semalam, kami berdua tidak berbicara tentang apa pun, dan aku bersyukur Naira tidak menyinggung alasanku lama-lama di ruang kerja.

​Aku bergegas mandi. Sambil memilih pakaian, aku sempat berdiri di depan cermin. Wajahku terlihat sama, tapi mataku... mataku terasa lebih hidup, sekaligus lebih takut. Aku memutuskan mengenakan pakaian yang paling kasual—jeans longgar dan kaus abu-abu. Tujuanku: menjadi sejelas dan senormal mungkin, agar bayangan intense yang kurasakan semalam bersama Raka hilang.

​Ketika aku tiba di dapur, Kak Naira sedang menyiapkan nasi goreng dengan cekatan. Aroma bawang dan cabai menyebar, namun itu tidak cukup mengusir cologne Raka yang masih terbayang. Raka sudah duduk di meja makan, membaca koran bisnisnya yang terlipat rapi sambil menyesap kopi hitam tanpa gula—kebiasaan yang baru kuketahui semalam. Ia mengenakan kemeja biru muda yang disetrika licin, kontras dengan image berantakan dan lelah di ruang kerja kemarin.

​Dia menoleh saat aku duduk. Pandangan kami bertemu sekejap, dan dalam detik yang singkat itu, aku mencari-cari sisa ketegangan malam tadi di matanya. Tidak ada. Matanya tenang, dingin, dan profesional, seolah percakapan tentang "hal-hal yang lebih pribadi" hanyalah ilusi yang kubuat-buat, bagian dari imajinasiku yang terlalu liar.

​"Pagi, Aluna," sapanya dengan nada datar yang sopan, seperti sapaan seorang kakak ipar normal kepada adik iparnya.

​"Pagi, Mas," jawabku, berusaha keras menyamai kenormalannya, meski tenggorokanku terasa tercekat.

​Aku menelan kekecewaan aneh yang muncul. Apakah aku berharap ada tanda-tanda rahasia di sana? Sebuah kedipan mata? Senyum samar? Ternyata Raka adalah aktor yang jauh lebih baik daripada dugaanku. Dia adalah pria yang tahu betul bagaimana memasang jarak aman di depan umum.

​Kak Naira meletakkan piring di depan Raka dan kemudian di depanku. "Kenapa mukamu kusut, Lun? Semalam tidurnya nyenyak?" tanyanya sambil duduk di sebelah Raka. Ada sedikit keceriaan dalam nada suaranya.

​"Nyenyak kok, Kak. Mungkin masih kaget sama suara petir semalam," dalihku. Aku mulai makan, berharap kesibukan mengunyah bisa menutupi kegugupanku.

​Raka tidak berkomentar, hanya fokus pada korannya. Tapi aku bisa merasakan, setiap hening di meja itu terasa seperti jeda yang terlalu lama, menanti satu kesalahan kecil dariku atau Raka.

​"Oh iya, semalam Mas Raka kerja sampai larut lagi ya?" tanya Naira sambil menyuap nasi goreng. "Aku pulang jam sembilan, kamu sudah tidur pulas, Mas Raka baru selesai mandi."

​Raka melipat korannya dengan gerakan teratur. "Iya. Tiba-tiba laptopku error di bagian data klien penting. Tapi akhirnya beres kok, setelah kurevisi ulang. Untungnya ada yang menemaniku sebentar, jadi tidak terlalu sunyi."

​Naira tersenyum. "Syukurlah. Kamu selalu begitu kalau sudah deadline. Untung ada kamu di sini, Lun. Kamu ngapain semalam? Sampai ke ruang kerja?"

​Jantungku berdebar lagi. Situasi ini adalah jebakan. Aku tidak mungkin berbohong, tapi aku juga tidak bisa jujur tentang kedekatan yang terlarang itu.

​"Aku... aku cuma bikin teh melati buat Mas Raka," jawabku cepat, nadaku terdengar terlalu defensif. Aku harap Naira tidak menyadari nada suaraku yang sedikit lebih tinggi dari biasa. "Terus Mas Raka minta kubuatkan juga dan diajak ke ruang kerja sebentar, katanya sunyi."

​"Lho, kenapa tidak di ruang tengah saja, Mas?" tanya Naira, kini tatapannya beralih pada Raka. Ada sedikit guratan curiga di sana, atau mungkin itu hanya perasaanku yang paranoid.

​Raka mengangkat bahu, sangat santai, seolah hal ini tak penting. "Ruang tengah terlalu berisik, Sayang. Aku tidak bisa fokus dengan suara TV. Lagipula Aluna cuma sebentar, menemaniku minum teh. Kamu tahu aku butuh ketenangan total kalau sedang revisi dokumen, apalagi kemarin masalahnya lumayan pelik."

​Naira mengangguk, tapi matanya masih menatap Raka sejenak sebelum beralih ke aku. Raut wajahnya melembut, seolah sudah puas dengan penjelasan logis suaminya.

​"Ya sudah. Jangan sering-sering ya, Lun. Mas Raka itu kalau sudah fokus, suka lupa waktu. Nanti kamu jadi ikut lembur." Ada senyum di bibir Kak Naira, tapi di matanya, aku melihat semacam peringatan terselubung yang mendasar. Jangan terlalu dekat dengan suamiku.

​Aku hanya mengangguk, mati-matian tidak menatap Raka. Aku tahu dia sedang menyimak setiap detail percakapan kami.

​Raka berangkat ke kantor tepat pukul delapan. Aku menghela napas lega saat suara mesin mobilnya menjauh.

​Setelah dia pergi, Naira membantuku membereskan piring-piring. Kami melakukan rutinitas biasa, namun keheningan terasa berbeda.

​"Lun, kamu ada masalah?" tanya Naira tiba-tiba, suaranya pelan saat kami berdiri berdekatan di wastafel.

​"Masalah apa, Kak?" Aku mencoba membuat suaraku terdengar polos.

​"Aku perhatikan kamu. Kamu seperti... gelisah. Dan semalam, kamu diam sekali saat aku pulang. Kamu sudah tidur, tapi rasanya kamu seperti orang yang menyimpan sesuatu." Naira mengeringkan tangannya. "Bicara padaku. Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

​Aku tahu aku harus berbohong lagi, demi melindungi rahasia kami—atau lebih tepatnya, demi melindungi perasaanku.

​"Enggak ada apa-apa, Kak. Aku cuma... kaget saja karena Mas Raka sering pulang malam. Aku khawatir kalian bertengkar," kataku, memutar balik kekhawatiran yang Raka ucapkan padaku, menjadikannya milikku.

​Naira menyandarkan tubuhnya ke meja dapur, matanya lurus menatapku. Ia terlihat lelah, bukan hanya fisik, tapi emosional. "Kami tidak bertengkar, Lun. Well, kami jarang bertengkar secara eksplisit. Tapi akhir-akhir ini memang agak jauh."

​"Jauh?" Tanyaku, sengaja memasang raut penasaran yang wajar.

​"Iya. Mas Raka sibuk sekali, kamu lihat sendiri. Kami jarang punya waktu bicara yang berkualitas, apalagi mesra-mesraan. Kadang aku merasa seperti... kami menikah, tapi hanya sekadar teman serumah. Kami tidur di ranjang yang sama, tapi pikirannya entah ke mana." Naira tersenyum pahit, ada kesedihan mendalam di matanya. "Mungkin itu sebabnya dia butuh teman bicara semalam. Dan itu kamu."

​Mendengar pengakuan Naira, alih-alih merasa bersalah karena telah menjadi tempat curhat terlarang suaminya, hatiku justru merasakan sedikit kemenangan yang licik. Perasaan bersalah itu terkubur oleh justifikasi: Raka juga merasa kesepian, dan aku mengerti kesepiannya lebih baik dari istrinya sendiri.

​"Aku cuma mendengarkan, Kak. Mas Raka hanya cerita tentang kerjaannya. Dia sangat stres dengan perusahaannya," kataku meyakinkan.

​Naira mendekat dan memelukku sejenak. "Terima kasih sudah menemaninya, ya. Kamu memang adik kesayanganku. Tapi, kamu jangan ikut-ikutan jadi serius. Anggap saja Mas Raka sedang bad mood karena deadline. Dia memang begitu orangnya, terlalu fokus."

​Aku membalas pelukannya, tapi pikiranku jauh. Bukan masalah deadline, Kak. Dia bicara tentang kebahagiaan yang hilang, kebahagiaan yang tidak kamu berikan.

​Siang itu, aku menghabiskan waktu dengan menonton TV di ruang tengah. Aku mencoba fokus, tapi pikiranku terus kembali ke percakapan di ruang kerja dan pengakuan Naira.

​Aku mengambil ponselku dan membuka aplikasi chat. Aku tahu, aku seharusnya tidak melakukannya. Logika menyuruhku menghapus nomornya. Tapi ada dorongan tak tertahankan untuk memastikan Raka baik-baik saja, atau lebih tepatnya, memastikan dia mengingat apa yang terjadi semalam.

​Aku mengetik, dengan jari yang gemetar:

​Aluna: Mas, dokumen yang semalam Mas revisi sudah clear semua? Tidak ada masalah lagi, kan?

​Aku menahan napas. Ini adalah pesan paling berani yang pernah kukirim padanya. Ini bukan hanya tentang dokumen, ini tentang mencari tahu, apakah ada 'kami' di matanya.

​Dalam waktu kurang dari satu menit, ponselku bergetar. Sebuah balasan yang singkat, tapi menghancurkan semua usahaku untuk bersikap normal.

​Raka: Belum. Masih ada sedikit yang harus kucocokkan lagi.

​Raka: Tapi... sudah kubilang kan. Terima kasih untuk tehnya. Aku jadi lebih fokus setelah bicara sebentar denganmu.

​Raka: Omongan kita soal yang pribadi, nanti malam kalau Naira sudah tidur ya. Jangan sekarang. Aku tidak mau dia curiga.

​Pesan terakhir itu membuat tubuhku panas dingin. Jantungku berdentum keras, rasa takut dan euforia bercampur menjadi satu. Dia tidak melupakan. Dia mengingat, dia menantikannya, dan yang terburuk... dia ingin menyembunyikannya dari Naira.

​Aku cepat-cepat menghapus notifikasi dan mematikan data seluler. Aku harus terlihat normal. Aku harus meyakinkan diriku bahwa ini hanyalah obrolan biasa.

​Namun, saat aku menatap pantulan diriku di layar TV yang gelap, aku menyadari satu hal yang mengerikan.

​Aku tidak lagi berharap perasaanku adalah salah paham. Aku sengaja menunggu datangnya kegelapan, dan malam ini, aku siap menerima apa pun konsekuensinya agar aku bisa kembali berbicara dengan suami kakakku.

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!