Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
Baru beberapa detik kaki Edward menyentuh tanah, seseorang berlari menghampirinya dengan langkah tergesa.
“Edward!” teriak Julia, lalu tanpa menunggu, wanita itu langsung memeluk tubuh pria itu erat-erat.
“Aku merindukanmu, Ed. Sangat merindukanmu,” ucapnya. “Maaf karena aku pergi meninggalkanmu waktu itu. Itu semua karena aku dijebak… aku tidak punya pilihan…”
Tangis Julia terdengar memilukan, tapi air matanya jatuh terlalu sempurna, seolah sudah dilatih di depan cermin.
Dari kejauhan, Alex yang berdiri bersandar di tiang gerbang menatap pemandangan itu dengan tatapan malas.
Alex mendengus pelan.
“Pandai sekali wanita itu berakting,” gumamnya dingin. “Kalau ini film, dia pasti menang penghargaan.”
Edward mengurai pelukan Julia perlahan. Saat tubuh wanita itu menjauh darinya, entah kenapa ia merasa asing.
Sentuhan Julia yang dulu membuatnya nyaman, kini terasa aneh. Ia tidak tahu kenapa.
“Ed, ada apa?” tanya Julia dengan suara lembut, mengelus dada pria itu. “Kau tidak merindukanku? Dulu kau selalu menunggu pesanku, sekarang bahkan menatapku pun kau seperti orang asing.”
“Bukan begitu,” jawab Edward singkat.
Julia menggigit bibir. “Apa karena ada wanita lain di hatimu sekarang?” tanyanya dengan nada getir. “Kau bahkan tidak mau menyentuhku lagi.”
Alex yang sejak tadi hanya menatap mereka nyaris tertawa.
“Astaga, adegan dramanya mulai,” gumamnya. “Kapan kredit filmnya muncul, ya?”
Julia menoleh sekilas menatap Alex dengan tatapan sinis, tapi ia menahan diri. Ia tahu bocah itu bukan lawan yang mudah.
Edward menarik napas panjang, menatap Julia tanpa banyak bicara.
“Paman,” ucap Alex polos. “Kenapa di lehermu ada tanda merah sebanyak itu? Apa paman baru saja digigit nyamuk?”
Hening seketika.
Julia membeku di tempat, matanya membulat menatap Edward. Sedangkan Edward, yang jelas tak menduga pertanyaan itu, langsung menutup kerah kemejanya dengan tangan terburu-buru.
“Alex!” serunya sedikit keras.
Tapi bocah itu hanya mengangkat bahu santai. “Kenapa? Aku cuma bertanya.”
“Benarkah, Ed? Aku meninggalkanmu sebentar, tapi kau sudah tidur dengan wanita lain?!” teriaknya, matanya berair, tapi kali ini bukan karena sedih melainkan cemburu membabi buta.
“Julia, tolong jangan buat keributan di sini.” Edward mengusap wajahnya lelah.
“Tentu saja aku marah!” bentaknya. “Selama bersamaku kau bahkan tidak pernah menyentuhku, Ed! Bahkan untuk menciumku saja selalu aku yang memaksa. Tapi sekarang,” ia menatap tajam leher pria itu, “kau tampak begitu bahagia dengan yang lain!”
Alex menatap adegan itu dengan geli, lalu berkata pelan sambil bersedekap.
“Dan babak dua pun dimulai…”
Edward menoleh ke arah keponakannya itu dengan tatapan tajam, tapi tak bicara apa-apa. Ia tahu, Alex sengaja memancing situasi.
“Ini pasti ulahmu! Kau bocah nakal yang manipulatif!” Julia menunjuk Alex.
“Manipulatif?” Ia mendekat dua langkah. “Mungkin. Tapi aku tidak pernah memanipulasi dengan air mata palsu sepertimu.”
“Alex!” tegur Edward cepat. “Dia masih orang dewasa, jangan bicara seperti itu.”
Alex menatap pamannya, lalu tersenyum kecil. “Aku cuma bicara jujur, Paman. Kalau menurut paman kejujuran itu dilarang, aku akan diam.”
Edward menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan ini tak akan selesai kalau diteruskan.
Edwars mengurai pelukan Julia yang mencoba mendekat lagi dan beralih menghampiri Alex.
“Kenapa tidak memberi tahu Paman kalau kau mau datang ke sini?” tanya Edward sambil berjongkok agar sejajar dengan mata keponakannya. “Apa Ayahmu tahu kau di sini?”
Alex menatapnya dengan mata jernih tapi licik. “Kalau aku bilang, bukan kejutan namanya, Paman.”
Edward menghela napas dan tertawa kecil, lalu mengusap kepala bocah itu dengan lembut.
“Baiklah. Ayo masuk. Sudah sore.”
Alex mengangguk patuh. “Baik, Paman.” Ia berjalan lebih dulu ke arah pintu mansion, seolah tak terjadi apa-apa.
Julia menatap punggung keduanya dengan wajah kesal luar biasa.
“Setelah sekian lama tidak bertemu, dia malah mengabaikanku?” gumamnya geram. “Biasanya Edward langsung mencium ku, kenapa sekarang tidak?”
Julia menghentakkan kakinya, lalu menyusul mereka masuk.
“Ed, aku ingin bicara berdua saja,” ujarnya dingin.
Edward menatapnya sebentar. “Tidak sekarang. Aku lelah.”
“Tapi—”
“Aku bilang tidak, Julia!” potong Edward dengan nada lebih tegas. “Aku tidak ingin membahas masa lalu kita malam ini.”
Julia terpaku, matanya bergetar. “Masa lalu?” gumamnya lirih.
“Sebaiknya tante dengarkan ucapan pamanku. Kadang, kenangan lama memang lebih baik dikubur, sebelum mereka menggali kuburannya sendiri,” sahut Alex yang duduk di sofa sembari menggoyang kakinya santai.
Julia berbalik, menatap bocah itu dengan amarah yang nyaris meledak.
Sementara Edward sudah melangkah ke lantai atas, meninggalkan mereka berdua.
Bocah itu menatap Julia sebentar, lalu tersenyum kecil. Senyum yang membuat bulu kuduk wanita itu merinding.
“Aku harap kunjunganmu kali ini tidak sependek dulu, saat pertama kali kita bertemu, tante gatal,” ucap Alex dalam hatinya.
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul