“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 16
“Kangmas, Apa yang terjadi? Kenapa lehermu merah begini?!” Amina menyambut dengan raut panik saat melihat Kartijo terkulai lemas di kursi teras rumah mereka.
“Jangan banyak tanya! Ambilkan aku minum!” bentak Kartijo, napasnya tersengal, dadanya naik turun menahan amarah.
Amina menuangkan air ke dalam gelas kaca. Tangannya gemetar—sedikit kaget, bibirnya mengatup samar, dengan tergesa dia menyodorkannya pada Kartijo.
“Ini air minumnya,” ujarnya pelan. Amina kemudian memijat lembut pundak Kartijo. “Kangmas itu kenapa? Pulang-pulang kok langsung ngamuk, dan kenapa dengan lehermu?”
Kartijo berdecak kasar. “Londo bajingan itu! Berani sekali dia mencari masalah denganku?!” geramnya sambil meletakkan gelas dengan keras.
Amina mengerutkan alisnya, sudut matanya menyipit. “Apa maksud, Kangmas?”
“Cih, bagaimana bisa dia membuat Sulastri jadi begitu berani … batu permata … cuih!” desisnya, seolah tak mendengar pertanyaan dari sang gundik.
Amina memutar bola matanya malas. ‘Jadi karena wanita sialan itu, kurang ajar!’ batinnya muak.
Ia kemudian terbatuk pelan. “Kangmas, sudah menemukan Mbak Lastri?”
“Hem!” jawab Kartijo singkat.
Amina mengerjap singkat, senyum munafik terulas di bibirnya. “Apa mereka baik-baik saja? Kenapa Kangmas tidak mengajaknya pulang?”
“Londo Bajingan itu menghalangi.” Kartijo menggertakkan giginya, bayangan Petter mencium bayinya serta tatapan hangat pada Sulastri kembali menari di pelupuk mata.
Amina mengerucutkan bibirnya, langkahnya pelan berjalan ke depan Kartijo. “Kangmas itu ‘kan suami sah Mbak Lastri, harusnya lebih berhak untuk membawanya pulang,” ujarnya sengaja memancing kembali amarah Kartijo.
Kartijo mengusap wajahnya kasar, lalu merogoh rokok di sakunya. Emosi laki-laki itu kembali meledak karena hanya menemukan bungkus kosong di sana.
“Ambilkan rokok di rumah utama” titahnya kemudian tanpa mengindahkan perkataan Amina.
Amina berdecak kesal, kemudian pergi menuju rumah utama—Joglo tengah. Namun, wanita itu kembali dengan tangan kosong.
“Romo dan Biyung tidak ada, rumah dikunci semua.”
“Kenapa tiba-tiba rumah dikunci?! Selama ini meskipun mereka pergi berhari-hari tidak pernah mengunci pintu. Bahkan menutupnya pun tidak?” tanya Kartijo, heran.
Amina mencebikkan bibirnya, tangannya bersedekap di depan dada. “Entahlah, Kangmas ‘kan tau aku tidak diizinkan keluar masuk rumah utama, mungkin mereka takut aku masuk diam-diam. Atau mungkin …,” Amina sengaja menggantung ucapannya, membuat Kartijo menatap penuh selidik seketika.
“Atau apa?!”
“Ada rahasia yang disembunyikan,” sahut Kasman, dari belakang. “Niki(ini), Den pakai rokok saya dulu,” tawarnya sembari menyodorkan sebungkus rokok kretek dengan merek ternama.
Kartijo melirik tajam, diambilnya satu batang kretek kemudian menyulutnya. “Kau sepertinya lebih banyak tau isi rumah ini ketimbang aku, Man?” tanyanya lalu menghisap dalam kretek di jarinya.
Kasman tertawa sumbang. “Saya ini centeng, jadi harus tau setiap sudut rumah,” dustanya.
“Lagi pula Kangmas juga jarang di rumah, jelas tidak banyak tau,” timpal Amina.
Kartijo menatap datar, sudut bibirnya terangkat tipis. “Memang apa yang tersembunyi di dalam rumah, selain tumpukan panenan?”
Laki-laki berkumis tebal itu kembali berdusta. “Ada rahasia besar, bahkan lebih besar dari seluruh panenan!” ucapnya tajam.
Kartijo mengernyitkan dahi, sorot matanya menajam — penasaran. “Rahasia apa?!”
Kasman menatap sekitar, jari-jari memelintir kumis tebalnya. “Nanti juga, Den bagus akan tau sendiri.”
Amina tersenyum samar. “Kamu ini kalau tidak niat memberi tau seharusnya jangan cerita, Man. Bikin orang penasaran saja,” cicitnya sembari melirik Kartijo yang mulai gusar.
Kasman berjongkok di halaman depan teras rumah itu, sembari mencabuti rumput teki yang tumbuh liar.
“Ada yang lebih penting dari rahasia rumah utama,” sahut Kasman. “Apa Den bagus juga tau, kalau nama anak Sulastri memakai nama keluarga Londo itu, bahkan wajah mereka juga mirip?” lanjutnya.
“Bagaimana kau bisa tau?!”
“Kekasihku yang bercerita. Dia bekerja di kebun milik Londo itu, bahkan sore ini tadi dia melihat Sulastri dan si Londo ambung-ambungan(ciuman) di jendela.” Lancar sekali mulut Kasman memanas-manasi.
Kartijo seketika membeliak, gurat murka di wajahnya semakin menjadi-jadi. “Bajingan!” umpatnya.
“Sampean sepertinya banyak sekali kecolongan, Kangmas. Mbak Lastri yang tiba-tiba berada di rumah Londo, lalu anakmu memakai nama kelurganya yang tidak sembarangan bisa diberikan. Apa mungkin itu sebuah kebetulan? Atau jangan-jangan …?”
“Kalau bukan keturunannya, ya, tidak mungkin bisa memakai nama keluarga!” sahut Kasman.
Kartijo beranjak dari duduknya, tangannya mengepal kuat. “Londo itu benar-benar nantang rupanya?!” berangnya, tatapannya mengilatkan amarah.
“Ada satu lagi, Den. Ini tidak kalah penting,” ujar Kasman sembari mengambil sebatang rokok yang tergeletak di meja.
Kartijo berbalik ke arah Kasman, alisnya mengerut tajam. “Opo?!”
Kasman menghisap rokoknya dalam, asap putih mengepul pelan. “Londo itu sepertinya mulai mengusik petani kita, beberapa hari ini aku lihat jongos kepercayaannya keliling desa.”
“Kurang ajar! Kau awasi mereka, jangan sampai petani-petani bodoh itu masuk perangkap Londo sialan itu!”
“Baik, Den,” jawab Kasman sembari mengangguk mantap.
“Ambilkan rompiku yang berwarna abu-abu!” titahnya pada Amina.
“Kangmas, mau kemana?” sahut wanita itu, penasaran.
“Cari rokok. Sudah cepat ambilkan!”
Amina melangkah gontai masuk ke dalam kamar, meraih rompi yang tergantung di pintu lemari, lalu memberikannya pada Kartijo yang sudah menunggu.
“Kangmas, sudah dua hari tidak tidur di rumah, apa malam ini juga masih mau pergi?” protes Amina, bibirnya mengerucut— sinis.
“Cerewet!” geram Kartijo sembari berlalu pergi.
Amina mendengus kesal, tangannya mengepal diam-diam. “Dasar lanang bejat!” geramnya.
Kasman yang masih berdiri di tempat itu terkekeh melihat Ndoronya yang menggumal—kesal.
“Biar saja dia pergi, kita bisa bersenang-senang sendiri,” celetuknya.
Amina melirik sinis. “Aku sedang tidak selera!”
Kasman menghampiri Amina yang masih mematung, kumis tebalnya menempel di telinga kiri wanita itu. “Benarkah? Padahal batangku sudah menantikannya sejak melihatmu mandi pagi tadi,” bisiknya.
Amina meremang seketika, satu tinjunya memukul dada Kasman pelan. “Baik, tapi sebentar saja!”
Kasman tersenyum nakal, kemudian menggendong tubuh semok Amina menuju kamar, kaki kanannya menendang pintu hingga tertutup rapat.
Di tempat berbeda, remang merayap, aroma tuak menguar beradu dengan kepulan asap kretek bercampur kemenyan. Di sudut-sudut ruangan suara cekikikan gadis-gadis penghibur yang digoda para juragan menggema nakal.
Meja-meja judi riuh dengan kartu dan koin sen yang terlempar kasar, gelas tuak berdenting. Kelakar para penjudi memenuhi ruangan, yang menang tertawa girang—yang kalah mengumpat kasar.
Di pintu masuk, Kartijo melangkah tegas, penampilannya necis. Matanya menatap sekitar, mencari tempat yang kosong.
“Jo, rene. Kurang satu ini,” teriak Warsito, dari meja judi yang berada di tengah ruangan.
Kartijo hanya melambaikan tangan tanda menolak, laki-laki itu memilih mendudukkan bokongnya di bawah jendela yang ada sudut ruangan, berdiam diri sembari menikmati tuak aren dan kretek srinti.
Pikirannya menerawang bukan pada ucapan Kasman dan Amina, tapi wajah Sulastri yang ditemuinya siang tadi. “Wanita itu tidak berubah, malah semakin cantik dan menggoda,” gumamnya, sembari tersenyum getir.
Joko— pemilik kedai menghampiri Kartijo dengan tuak aren di tangannya. “Ndoro malem ini mau ngamar lagi? Ada barang baru, Masih kinyis,” tawarnya sembari menuangkan tuak aren ke gelas.
Kartijo menyesap tuaknya, terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan suara dingin.
“Endi?!”
“Itu, yang pakai kebaya merah jambu, kalau Ndoro mau, saya siapkan kamar,” sahut Joko sembari menunjuk gadis yang di maksud.
Kartijo menaikkan sudut bibirnya, matanya menatap tajam. “Siapkan kamar, jangan lupa beri wangi dupa.”
Joko mengangguk pelan, lalu menghampiri gadis itu, membisikan sesuatu sebelum membawanya masuk ke sebuah kamar yang ada di area belakang kedai itu.
Kartijo membuang asal putung rokoknya, menginjak kasar sembari berjalan menyusul Joko dan gadis pilihannya.
Wangi dupa mawar menyambut bersama gadis ayu yang duduk malu-malu di pinggir ranjang reyot.
Kartijo tersenyum penuh minat. Tatapannya nakal, tangannya terangkat — menyentuh lembut paha gadis yang memakai kebaya merah jambu.
Kepalanya semakin mendekat nyaris tak bejarak, sorot matanya bergetar sayu — menahan dorongan napsu. “Siapa namamu, Wong ayu?”
Gadis itu tersipu malu, melirik sejenak juragan kaya di hadapannya. “Marni, Juragan."
Bersambung.
Amina dan Kasman