NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 6: Dentang Bel Kematian : Kehampaan di Bawah Naga Berdarah

Fajar belum menyingkapkan cahayanya ketika langit di atas Desa Hijau menghitam lebih cepat dari seharusnya. Hening yang lembut seperti selimut di pagi musim semi tiba-tiba terkoyak oleh desis samar, seperti bisikan ular di balik kabut.

Dari timur datang aroma logam yang getir, disusul panas lembap yang tak lazim bagi jam-jam sedingin itu. Liang Chen terbangun bahkan sebelum ayam berkokok; sesuatu di dadanya berdenyut, bukan seperti rasa nyeri manusia, melainkan seperti sebuah panggilan yang datang dari dalam bumi.

Ia duduk di ranjang bambu, napasnya tertahan. Rumah kecil itu senyap. Hanya terdengar dengus napas ayahnya di kamar sebelah dan desahan lembut ibunya yang masih tertidur.

Namun di luar, udara berubah. Kabut pagi bergulung aneh, membawa percikan merah gelap yang menari-nari di antara awan. Saat itu juga Liang Chen tahu, ketenangan yang mereka perjuangkan selama berminggu-minggu telah berakhir.

Ia melangkah keluar. Tanah di bawah kakinya terasa bergetar lembut, seperti detak jantung raksasa yang sedang bangun dari tidur panjang. Dari kejauhan, terdengar bunyi serangga berhenti serentak, lalu sunyi.

Sesuatu melintas di langit: titik hitam kecil yang bergerak lambat namun pasti, menebarkan gelombang panas yang membakar embun di dedaunan. Beberapa saat kemudian, suara berat menggema, seperti lonceng raksasa yang dipukul jauh di bawah tanah, bunyi yang tak memiliki sumber tetapi bergema di dada setiap orang.

Ayahnya keluar dengan wajah tegang. Di tangannya tergenggam pedang tumpul yang telah lama menjadi lambang keteguhan keluarga itu. “Chen’er,” katanya lirih, “bangunkan ibumu. Kumpulkan semua orang di halaman. Apa pun yang terjadi, kau jangan pisah dariku.”

Liang Chen menuruti, jantungnya berdebar tak beraturan. Ia menemukan ibunya yang sedang berlutut di dapur, memeluk periuk yang masih hangat seolah itu bayi kecil. “Chen’er,” bisiknya, “ada apa di luar? Aku mendengar udara mendesis.” Liang Chen tidak menjawab. Ia hanya membantu ibunya berdiri, menuntunnya ke halaman tempat beberapa tetangga sudah berkumpul dengan wajah pucat.

Suara itu semakin jelas, bukan angin, bukan juga guruh. Itu adalah desis energi yang terkompres, suara khas jurus kultivasi. Tak lama kemudian, dari ujung jalan batu yang menuju hutan, muncul cahaya merah kehitaman.

Langkah-langkah berat terdengar, berirama seperti drum perang. Enam sosok berpakaian jubah gelap muncul dari kabut, dan di tengah mereka berjalan seorang pria tinggi berwajah pucat dengan mata seperti bara. Di sekeliling tubuhnya berputar kabut darah yang menggeliat lembut, seakan hidup.

Penduduk desa mundur serempak. Ayah Liang Chen berdiri di depan, wajahnya keras namun tenang. “Kami hanya petani,” katanya lantang. “Tidak ada harta ataupun kultivasi di sini. Pergilah, Tuan-tuan.”

Pria bermata bara itu tersenyum dingin. “Petani? Di tempat sekecil ini, energi yang bahkan bisa kurasakan dari tiga lembah jauhnya? Jangan menipu kami, orang tua.” Suaranya bergema, membuat udara bergetar.

Ia mengangkat tangannya sedikit, dan di ujung jarinya muncul pusaran energi hitam yang mendesis, memancarkan panas sampai rumput di sekitar kaki mereka layu seketika. “Kami dari Sekte Raja Naga Berdarah. Kami datang mencari sesuatu yang kalian sembunyikan. Serahkan, dan kalian mungkin masih hidup untuk menyaksikan matahari.”

Ayah Liang Chen tak bergeming. “Tidak ada yang kami sembunyikan.”

Pria itu tertawa rendah. “Jawaban yang berani. Tapi Langit tidak menilai keberanian, hanya kekuatan.” Ia menurunkan tangannya. Gelombang udara meledak, menghantam tanah di depan rumah pertama. Debu, batu, dan api melonjak tinggi. Teriakan memecah fajar.

Liang Chen melangkah maju secara naluriah. Ia meraih Pedang Tumpul di tangan ayahnya dan berdiri sejajar dengannya. Otot-ototnya menegang; latihan berbulan-bulan membuat tubuhnya kuat, tetapi ia tahu kekuatannya fana. Walau demikian, di dalam hatinya tidak ada ketakutan—hanya keinginan melindungi.

“Chen’er,” ujar ayahnya pelan, “ingat yang Ayah ajarkan. Jangan menyerang lebih dulu. Bertahan, dan lindungi ibumu.”

Namun kata-kata itu baru saja keluar ketika tiga orang berpakaian gelap berlari ke depan, melepaskan serangan serentak. Cahaya merah membentuk cakar-cakar raksasa di udara, mengoyak atap rumah dan pagar kayu.

Liang Chen melompat, mengayunkan Pedang Tumpulnya. Benturan keras memekakkan telinga; percikan api meledak di udara, dan tubuhnya terpental mundur, jatuh ke tanah dengan tangan gemetar.

Ia bangkit lagi. Di sudut matanya, ia melihat ayahnya menangkis serangan dengan arit logam, gerakannya cepat dan tepat, tetapi setiap benturan menggores kulit tangannya. Darah menetes di tanah, bercampur dengan embun pagi.

Di tengah kekacauan itu, ibunya berlari memanggil nama mereka, namun suara tercekik oleh asap dan debu. Liang Chen berlari menghampiri, menarik ibunya ke belakang reruntuhan dinding.

“Ibu, jangan keluar!” serunya. Perempuan itu menggenggam bahunya dengan kedua tangan yang gemetar. “Liang Chen, jangan lawan mereka. Bawalah aku pergi ke hutan. Tolong, dengarkan Ibu.”

Liang Chen menatap mata ibunya yang basah. Dalam dirinya bertarung dua suara: keinginan untuk bertahan hidup, dan tekad untuk tidak membiarkan siapa pun menginjak tanah kelahirannya. “Aku tidak bisa pergi, Ibu,” jawabnya lirih. “Ayah masih di sana.”

Liang Chen berlari kembali ke halaman utama. Asap dan abu menutupi pandangan. Teriakan bergema di antara dinding-dinding bambu yang runtuh. Ia melihat ayahnya masih berdiri di tengah jalan batu, tubuhnya penuh luka bakar ringan, namun tatapan matanya tetap jernih. Pedang Tumpul berada di tangannya, menghitam karena panas serangan spiritual.

“Ayah!” seru Liang Chen, berlari menghampiri.

Sebelum ia tiba, seorang kultivator Sekte Raja Naga Berdarah melompat ke depan ayahnya. Pria itu tertawa kecil, tangannya membentuk segel. “Kau berani menentang kami, manusia rendah?” Energi merah pekat berkumpul di sekitar lengannya, membentuk tombak dari kabut darah.

Ayah Liang Chen menangkis dengan Pedang Tumpulnya. Benturan keras terdengar, logam melengking. Pedang itu tidak patah, tapi ayahnya terhuyung mundur, darah mengalir dari ujung bibirnya. Ia masih tersenyum. “Kau pikir hanya karena bisa menyalakan cahaya merah di tanganmu, kau sudah jadi dewa?” katanya parau. “Anakku akan tumbuh melampauimu, suatu hari nanti.”

Tombak itu berputar, menghantam bahunya. Tubuh ayahnya terlempar ke tanah, menabrak pagar. Liang Chen berteriak dan berlari, menyerang pria itu dari belakang. Ia tidak punya teknik, tidak punya energi spiritual, hanya kekuatan tubuh.

Pedang Tumpul di tangannya berayun ke arah kepala musuh, tapi kultivator itu menangkisnya dengan satu jari, seolah menepis daun kering. Liang Chen terpental lagi.

Di tanah, ia menggigit bibirnya hingga berdarah. Getaran halus di dadanya kembali muncul, tetapi ia menolak memperhatikannya. Ia bangkit, menyerang lagi, berkali-kali, walau setiap kali tubuhnya semakin remuk.

Elder berwajah pucat memperhatikan dari kejauhan, matanya tenang seperti kucing yang menonton tikus bermain. “Menarik,” gumamnya. “Ada sesuatu di dalam anak itu.” Ia melangkah maju. Setiap langkahnya membuat udara bergetar, dan aroma darah memenuhi udara.

Ayah Liang Chen menatap ke arah suara itu. Ia mencoba berdiri lagi, menahan luka di bahunya. “Jangan sentuh anakku,” katanya.

Elder itu tersenyum tipis. “Anakmu? Oh, dia bukan milikmu. Ia adalah wadah yang dipilih oleh takdir. Artefak itu bersembunyi di dalam tubuhnya, dan kau hanya manusia yang kebetulan melahirkannya.”

Liang Chen menatap lelaki itu, tidak mengerti. “Apa yang kau bicarakan?”

Elder mengangkat tangannya. “Kau akan tahu sebentar lagi.”

Tiba-tiba, udara di sekitar Liang Chen bergetar. Dari dada kirinya muncul panas yang menusuk, seperti bara yang menyala. Ia menatap kebingungan, tangannya bergetar di atas dadanya sendiri. Dari kulitnya terpancar cahaya samar merah kehitaman yang berdenyut perlahan, seperti jantung kedua yang baru bangun.

Ayah dan ibu Liang Chen melihatnya bersamaan. Mata mereka melebar, antara kagum dan takut. Elder itu tertawa kecil, suara tawanya dingin. “Benar, ini dia. Warisan Asura. Tidak kusangka tersembunyi di tubuh seorang anak petani.”

Tanah di sekitar mereka mulai retak. Energi aneh merembes keluar, menimbulkan tekanan berat yang bahkan membuat kultivator tingkat rendah di belakang Elder itu berlutut. Liang Chen menggigil. “Apa ini…?”

Ayahnya bergerak cepat. Ia berlari ke arah anaknya, memeluknya dari belakang, mencoba menahan aura itu dengan tubuhnya sendiri. “Chen’er, jangan biarkan mereka mengambil apa pun darimu!” teriaknya. “Apa pun itu, itu milikmu!”

Elder mengulurkan tangannya. Gelombang energi padat seperti angin badai meluncur ke arah mereka. Ayah Liang Chen memutar tubuhnya, menahan dengan punggung terbuka. Ledakan besar mengguncang seluruh halaman.

Debu dan darah bercampur di udara. Liang Chen terlempar beberapa langkah ke belakang. Tubuh ayahnya tergeletak di tanah, dada dan punggungnya hangus terbakar. Pedang Tumpul tergeletak di sampingnya, bergetar pelan seolah ikut menangis.

Liang Chen merangkak mendekat, mengguncang bahu ayahnya. “Ayah! Ayah bangun!”

Pria itu membuka matanya perlahan. Suaranya serak, hampir tak terdengar. “Chen’er… lindungi ibumu…” Senyum tipis terukir di wajahnya. “Keteguhan, ingat itu… keteguhan…”

Kepalanya miring perlahan, dan napasnya berhenti.

Suara Liang Chen pecah di udara. Ia menjerit, tetapi jeritannya tenggelam oleh suara api yang menyala di rumah-rumah sekitar. Langit berubah merah, bukan oleh fajar, tetapi oleh nyala pembakaran.

Elder memandangi pemandangan itu dengan dingin. “Sungguh menyentuh. Namun kasih sayang fana tidak bisa menahan jalan para dewa.” Ia mengangkat tangannya lagi, mengarahkan serangan baru.

Tiba-tiba seseorang berdiri di antara Liang Chen dan cahaya gelap itu. Ibu Liang Chen. Rambutnya berantakan, matanya merah oleh air mata, namun tatapannya tenang. “Cukup sudah,” katanya pelan, “Jika kalian ingin anakku, ambil nyawaku dulu.”

Energi itu menghantamnya. Liang Chen menjerit lagi, mencoba menahan tubuh ibunya yang terlempar ke tanah. Ia memeluknya erat, darah panas membasahi tangannya. “Ibu… Ibu, tolong buka mata…”

Perempuan itu mengangkat tangannya yang lemah, menyentuh wajah anaknya. “Chen’er… jangan benci dunia… bencilah kejahatan, tapi jangan hilangkan cahayamu…” Bibirnya bergetar, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kau adalah terang yang terakhir dari rumah ini.”

Kemudian tangannya jatuh perlahan, dan dunia menjadi sunyi.

Udara menjadi berat, seperti langit menekan seluruh desa. Api dari rumah-rumah yang terbakar menjilat udara, mengirim percikan merah ke langit kelabu. Liang Chen berlutut di antara dua tubuh yang ia cintai, dunia di sekelilingnya berubah menjadi kabut tebal darah dan debu.

Waktu seakan berhenti. Tidak ada lagi jeritan, hanya desiran angin yang membawa bau daging terbakar dan kayu yang retak.

Di dadanya, panas itu kembali muncul, lebih kuat dari sebelumnya. Namun kini rasanya bukan seperti panggilan, melainkan seperti amarah yang ingin pecah. Ia menatap Pedang Tumpul di tanah, memungutnya dengan tangan gemetar.

Bilahnya yang kusam memantulkan nyala api, dan di pantulan itu ia melihat wajahnya sendiri, pucat, mata lebam, namun di kedalaman mata itu ada sesuatu yang bergetar seperti bara.

Langkah kaki mendekat. Elder Inti Berputar berhenti beberapa langkah di depannya, menatap pemandangan itu tanpa ekspresi. “Lihatlah, anakku,” katanya dengan suara yang dingin dan merendah. “Begitulah dunia bekerja.

Yang lemah akan selalu menjadi abu bagi yang kuat. Sekarang serahkan artefak itu, dan aku akan memberikanmu kematian yang cepat.”

Liang Chen menatapnya. Tidak ada kata yang keluar, hanya napas kasar dan tatapan yang kosong. Elder itu menghela napas. “Diam juga bukan jawaban.” Ia mengangkat tangannya perlahan, mengumpulkan energi hitam di telapak tangannya.

Cahaya itu berputar seperti pusaran darah, mengeluarkan suara rendah seperti genderang perang. “Baiklah, biarkan aku mengeluarkan benda itu sendiri.”

Dalam sekejap, energi itu melesat menuju Liang Chen. Udara di antara mereka terbelah, dan tekanan spiritual membuat tanah bergetar. Liang Chen mencoba bergerak, tetapi tubuhnya sudah terlalu lemah. Ia hanya bisa memandangi datangnya serangan itu, seperti menatap badai dari tepi jurang.

Waktu melambat. Ia melihat wajah ayahnya di tanah, tersenyum dengan luka terbuka di dadanya. Ia melihat tangan ibunya yang masih terulur ke arahnya, jari-jarinya membeku dalam keheningan. Hatinya menjerit, tetapi suaranya tidak keluar.

Dalam detik itu, ia tidak lagi merasakan takut. Hanya kehampaan yang luas. Semua yang ia cintai telah direnggut, dan yang tersisa hanyalah ruang kosong di dadanya, ruang yang terlalu besar untuk diisi oleh manusia mana pun.

Ketika energi hitam itu hampir menyentuhnya, panas di dadanya tiba-tiba meledak. Cahaya merah kehitaman menyalak seperti matahari mini, menembus udara dan memecahkan pusaran energi Elder itu. Suara keras mengguncang udara. Elder Inti Berputar mundur satu langkah, wajahnya berubah. “Apa ini…?” gumamnya.

Dari tubuh Liang Chen, kilatan merah gelap muncul, melingkar seperti pusaran darah yang hidup. Udara bergetar, dan tanah di bawahnya retak membentuk pola aneh seperti urat naga yang membara. Liang Chen berteriak, tapi suaranya bercampur dengan suara lain, dalam dan tua, seolah keluar dari dasar bumi.

Elder itu menyipitkan mata. “Warisan itu… mulai bangkit.” Ia tersenyum dingin. “Sempurna. Maka kita akan memaksanya keluar dengan kekerasan.” Ia mengangkat kedua tangannya ke langit, dan aura Inti Berputar menyembur keluar seperti gelombang hitam. Pohon-pohon di sekitarnya layu dalam sekejap, burung-burung jatuh mati dari udara.

Liang Chen tidak sempat menangkis. Serangan itu datang seperti dinding besar dari kegelapan. Ia mengangkat Pedang Tumpulnya sebagai naluri terakhir. Cahaya merah gelap dari dadanya tersedot ke pedang itu, membuat bilahnya bergetar keras dan menyalakan semburat merah samar di sepanjang tepinya.

Benturan terjadi. Suara keras menggema, seperti ribuan lonceng dipukul serentak. Energi hitam dan merah bertabrakan, menghasilkan kilatan cahaya yang menyilaukan seluruh lembah.

Tubuh Liang Chen terpental jauh. Ia menghantam tanah keras, darah mengalir dari hidung dan telinganya. Dunia berputar, tapi matanya tetap terbuka. Dalam pandangan yang kabur, ia melihat bayangan ibunya, ayahnya, rumah yang terbakar, dan langit yang merah membara.

Lalu suara itu datang, bukan dari luar, tapi dari dalam dadanya sendiri. Suara yang dalam, dingin, dan tak berperasaan.

Kemarahanmu… penderitaanmu… itulah kunci. Bukalah pintu, dan kekuatan akan menjadi milikmu.

Liang Chen mencoba menutup telinganya, tapi suara itu tidak hilang. Ia merasa seperti tenggelam dalam lautan darah, dan di tengah lautan itu ada sebuah mata besar berwarna merah gelap yang terbuka perlahan, menatapnya.

Elder di kejauhan masih berdiri tegak, tangannya terulur, tapi ekspresinya berubah menjadi tegang. “Apa yang… apa yang terjadi?”

Liang Chen merasakan tubuhnya ditarik ke arah kegelapan itu. Sakit, dingin, dan panas bercampur menjadi satu. Ia ingin menolak, tetapi di antara jeritan hatinya, ia mendengar kembali suara ibunya: Jangan hilangkan cahayamu…

Air mata menetes di pipinya, bercampur darah. Ia menggenggam pedangnya lebih erat, meskipun tangannya bergetar hebat. Cahaya merah di bilah pedang itu mulai memudar, digantikan oleh kegelapan yang pekat.

Elder mengerutkan kening, lalu menatapnya dengan tatapan penuh amarah dan keserakahan. “Cukup! Aku akan mengambilnya sekarang juga!” Ia melompat, membentuk pusaran energi terakhir di tangannya, jauh lebih besar dari sebelumnya.

Liang Chen mengangkat kepalanya, napasnya berat. Ia melihat serangan itu datang, cepat seperti kilat. Di dalam hatinya, satu kalimat bergema, entah dari dirinya sendiri atau dari kekuatan di dalamnya. Jika langit menolakmu, maka jadilah pedang yang menebas langit itu.

Serangan itu menghantam. Cahaya hitam menelan segalanya. Suara terakhir yang didengar Liang Chen adalah jeritan ibunya yang bergema di dalam pikirannya, dan dentang besi dari Pedang Tumpul yang terjatuh di atas batu.

Lalu dunia tenggelam dalam kehampaan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, hanya keheningan yang dalam seperti laut tanpa dasar.

Dan di tengah kegelapan itu, sesuatu terbuka perlahan, sebuah mata merah yang berputar pelan, memancarkan cahaya Asura yang pertama.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!