SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”
Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.
Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 — Dua Reina di Satu Dunia
Sensasi ditarik ke dalam refleksi terasa seperti tenggelam dalam air dingin yang tebal. Reina yang asli, Reina yang bersalah dan memegang ingatan, kini adalah hantu yang terperangkap di dalam cermin, sementara Diri Pantulan yang sempurna, yang mengambil alih tubuhnya, menjalani hidupnya di dunia nyata.
Reina membuka matanya. Ia tidak berada di dalam kamar mandi, melainkan di dalam sebuah dimensi yang terasa seperti ruang tunggu cermin. Dinding, lantai, dan langit-langit semuanya terbuat dari permukaan kaca buram yang tak berujung, memantulkan bayangan Reina yang tak terhitung jumlahnya. Tidak ada gravitasi. Ia melayang.
Ia melihat ke depan. Di hadapannya, terdapat sebuah jendela besar—sebuah permukaan cermin yang menembus dimensi. Melalui jendela itu, ia melihat dunia nyata.
Reina melihat Diri Pantulan sedang duduk di kelas, di mejanya yang biasa. Hari sudah pagi. Pelajaran sejarah sedang berlangsung.
Diri Pantulan terlihat berbeda. Ia tersenyum lembut, menjawab pertanyaan guru dengan cerdas, dan yang paling mencolok, dia terlihat damai. Tidak ada lagi kelelahan di matanya, tidak ada lagi bayangan rasa bersalah.
Reina yang asli menyaksikan dirinya sendiri menjalani kehidupan yang seharusnya ia miliki.
"Dia sempurna," bisik Reina yang terperangkap.
Tentu saja. Kamu yang menciptakannya. Kamu yang menghilangkan semua beban. Suara Rhea yang kini terdengar samar dan merdu, bukan lagi mengancam.
Reina melihat bagaimana Diri Pantulan berinteraksi.
Saat istirahat, Naya berjalan ke meja Diri Pantulan, memeluknya. "Rei, kamu kelihatan segar banget hari ini! Aku suka vibe kamu yang baru!"
Diri Pantulan tertawa, tawa yang ringan dan tulus, sesuatu yang sudah lama tidak didengar Reina.
Lalu, Zio datang. Zio, yang bug-nya telah dihapus, berbicara dengan penuh kagum. "Reina, kamu harus lihat draft-ku. Kamu itu yang paling tenang dan logis di klub! Vibe Ketua Redaksi banget!"
Diri Pantulan mengangguk, menawarkan kritik yang membangun, tanpa ada nada sinis atau kesombongan.
Yang paling menyakitkan, Reina melihat Daren.
Daren berjalan ke meja Diri Pantulan, bukan dengan ekspresi khawatir seperti biasanya, melainkan dengan tatapan kagum.
"Reina," sapa Daren. "Aku senang kamu kembali ke dirimu yang terbaik. Kamu adalah alasan kenapa sekolah ini harus tetap sempurna."
Diri Pantulan menatap Daren. "Terima kasih, Daren. Aku akan selalu menjadi yang sempurna untuk Adhirana."
Daren tersenyum dan pergi.
Reina yang asli membenturkan tangannya ke permukaan kaca. "Dia tidak mencintaimu! Dia hanya menggunakanmu sebagai kloning yang sempurna!"
Tapi Diri Pantulan tidak mendengarnya. Diri Pantulan hidup bahagia, dikagumi, dan diterima sepenuhnya oleh lingkungan.
Reina melayang mundur, rasa sakit menghantam dadanya. Ia tidak hanya kehilangan tubuhnya. Ia kehilangan tempatnya di dunia.
Ia melihat dirinya sendiri di cermin itu—Reina yang asli. Ia terlihat liar, dengan mata yang dipenuhi trauma dan rasa bersalah. Tidak ada yang akan memilih versi dirinya yang ini.
Jam dinding di kelas menunjukkan pukul 10:00.
Reina menyaksikan kelanjutan hari itu, setiap adegan adalah siksaan. Diri Pantulan menghadiri rapat OSIS, mengatur acara sekolah dengan efisien yang tidak pernah bisa Reina capai. Diri Pantulan menulis artikel jurnalistik yang tajam dan logis, tanpa emosi yang mengganggu.
Di sela-sela waktu, ia melihat ke dalam lubang realitas—ke dalam permukaan kaca di sekelilingnya. Ia melihat ingatan yang terhapus.
Di salah satu pecahan kaca, ia melihat dirinya dan Aksa di tahun 2019, tertawa bersama. Di pecahan lain, ia melihat dirinya menulis kode Target Exit: R.L. di jurnal Daren. Semua itu kini hanyalah arsip yang buram.
Ketika hari sekolah usai, Reina menyaksikan momen terakhir yang menyakitkan.
Diri Pantulan berjalan keluar gerbang sekolah, diapit oleh Naya dan Zio yang tertawa. Mereka terlihat seperti trio sempurna yang seharusnya selalu ada.
Saat Diri Pantulan melangkah keluar gerbang, Naya menoleh ke belakang, ke arah Gedung Lama.
"Aneh," kata Naya. "Aku merasa kayak... ada yang kurang ya di sekolah ini?"
Diri Pantulan menoleh. "Apa yang kurang, Naya? Semuanya sempurna."
"Iya, tapi... aku merasa kita pernah punya teman lain? Cewek yang mirip banget sama kamu, tapi lebih suka menyendiri. Namanya... Raina? Atau siapa ya?" Naya mencoba mengingat, keningnya berkerut.
Diri Pantulan tersenyum. "Tidak ada, Naya. Kita bertiga selalu bersama. Aku yang paling lama di sini. Kamu mungkin bingung."
Zio mengangguk. "Betul, Naya. Reina yang paling logis di antara kita. Mana mungkin ada orang yang mirip Reina, tapi vibe-nya beda."
Naya menghela napas. "Mungkin. Ya sudah, ayo!"
Mereka berjalan menjauh. Naya tidak mengingat Reina yang asli. Zio tidak mengingatnya. Mereka hanya mengingat Reina Cermin yang sempurna ini.
Reina yang asli, terperangkap di dalam cermin, berteriak tanpa suara.
"Aku yang asli! Aku yang menyelamatkan kalian!"
Tapi tidak ada yang mendengar.
Reina melayang kembali ke kegelapan ruang tunggu cermin, air mata membasahi wajahnya yang kini hanya bisa ia lihat di refleksi kaca.
Ia melihat ke bawah, ke permukaan cermin tempat ia berdiri. Tiba-tiba, ia melihat tulisan samar muncul di sana, ditulis dari dalam refleksi itu sendiri.
Tulisan itu adalah pesan terakhir dari dirinya yang terperangkap, yang ditulis dari dalam jiwanya yang kini terjebak di void.
"Kau bukan Reina yang asli. Kau hanya salinan yang bersalah."
Reina menatap tulisan itu, menyadari bahwa ia kini telah menerima narasi dari Diri Pantulan.
Ia tidak lagi dikenal. Ia tidak lagi diingat. Ia tidak lagi diterima.
Dunia telah melupakannya.