NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:398
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31 - Arus yang Dibangunkan Pasai

Hutan dataran tinggi masih diselimuti kabut tipis ketika Pasai berdiri tegak di tengah celah pepohonan.

Di hadapannya, seekor macan tutul besar, setinggi dada lelaki dewasa, mendesis rendah.

Taringnya panjang, rahangnya menganga, dan bulu punggungnya berdiri seperti bilah-bilah tajam.

Pasai tidak mundur.

Ia hanya sedikit membungkuk, menurunkan pusat gravitasi, kedua tangan direntangkan dengan telapak terbuka postur yang mengundang, sekaligus memancing.

Macan tutul itu mengitari Pasai setengah lingkaran, langkahnya ringan namun terukur.

Matanya mengikuti gerakan pernapasan Pasai, mencari celah, menunggu kesalahan sekecil apa pun.

Pasai tidak bergerak.

Ia hanya mengikuti ritme hewan itu…

sampai ekor macan mengetuk tanah pelan tanda serangan akan dilepas.

Dalam sekejap, macan itu melonjak ke samping, mengitari Pasai, lalu menyerang dari arah belakang tepat seperti yang Pasai inginkan.

Begitu cakaran itu siap menghantam punggungnya,

Pasai menjatuhkan diri ke posisi rendah.

Timing-nya sempurna.

Dua tangan cepat seperti perangkap, menangkap kedua kaki belakang macan.

Kaki belakang adalah sumber lompatan dan tenaga dorong.

Begitu Pasai memegangnya, kekuatan macan ambruk seketika.

“Haah!”

Dengan sekali putaran pinggang, Pasai melempar tubuh besar itu ke samping.

Macan tutul itu terpental, menghantam batang pohon dengan suara berat, dedaunan berjatuhan.

Hewan itu menggeram, bangkit dengan gemetar.

Matanya kini bukan lagi amarah… tetapi kewaspadaan.

Ia menilai ulang.

Pasai berdiri tanpa menunjukkan niat membunuh.

Tidak ada ancaman di mata itu hanya ketegasan yang tidak bergoyang.

Macan itu merendahkan tubuhnya sedikit, lalu perlahan mundur.

Mengakui kekalahan.

Memilih keselamatan daripada cedera yang tidak di inginkan.

Dalam hitungan detik, hewan berbintik itu menghilang ke dalam semak-semak, meninggalkan Pasai sendirian di antara kabut pagi.

Pasai menarik napas panjang.

“Pergilah,” gumamnya pelan.

“Aku hanya lewat.”

Pasai menepuk debu halus dari telapak tangannya, napasnya masih teratur meski baru saja menghadap predator yang bagi kebanyakan orang sudah cukup untuk merenggut nyawa.

“Macan tutul…” gumamnya lirih, hampir mengejek.

“Tak seberapa dibanding harimau yang pernah kuhadapi.”

Ia berkata itu bukan untuk sombong melainkan untuk tugas yang kerjakan tanpa buang tenaga dan waktu.

Meresapi kenyataan bahwa ancaman tadi bukan apa-apa dibanding kengerian yang pernah ia lewati bertahun-tahun lalu.

Pasai berjalan menyusuri jalan setapak yang menurun lembut, ditemani angin dataran tinggi yang membawa aroma tanah basah.

Beberapa ranting patah menandai bahwa hewan-hewan liar sering melintas di jalur ini.

Tidak heran warga Desa Yaka menghindari daerah ini; kabar tentang macan tutul yang berkeliaran sudah cukup membuat mereka enggan mendekat.

“Kalau begini, wajar saja mereka tak berani memperbaiki longsor,” gumam Pasai.

Tak lama kemudian, ia mendengar suara air… atau lebih tepatnya, suara yang seharusnya ada, namun hilang. Yang tersisa hanya bunyi angin yang menghantam dinding tanah.

Ia mempercepat langkah.

Benar saja.

Di depan sana, sungai yang seharusnya mengalir sepanjang tahun kini terhenti seperti umur yang dipotong paksa.

Air hanya menggenang tipis di balik tumpukan tanah besar yang longsor dan menutup jalur aliran.

Ranting-ranting, bongkahan tanah liat, dan akar pohon yang tercabut menumpuk seperti benteng liar.

Pasai menghela napas panjang.

“Pantas saja… desa Yaka kekurangan air bersih.”

Ia menapakkan kaki ke atas tumpukan tanah itu, memeriksa kemiringan dan kekokohannya.

Longsor ini tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menghentikan aliran sungai kecil sepenuhnya.

Jika dibiarkan lebih lama, air bisa meluap ke sisi berbeda, menenggelamkan ladang-ladang kecil di desa Yaka.

Pasai berdiri di puncak gundukan itu, memandangi air yang seharusnya mengalir turun menuju desa dan lembah.

Ia mengepalkan tangan.

“Harus dibuka… sebelum menjadi bahaya yang lebih besar.”

Pasai berdiri di tepi tebing sungai kecil yang kini berubah menjadi kolam besar tak bergerak.

Air tampak tertahan oleh gundukan tanah longsor yang menutup seluruh aliran, membentuk dinding lumpur, akar, dan batu setinggi dada orang dewasa.

Embun pagi menempel di kulitnya, dan suara alam dataran tinggi bergema pelan.

Namun ia bisa merasakan tekanan air dari balik tumpukan itu

keras, berat, dan sedikit saja salah… bisa memecah deras seperti hewan liar yang lepas dari kandangnya.

“Desa Yaka bener bener mengalami kesulitan…” gumamnya lirih.

“Bendungan mati.”

Ia memeriksa tanah longsor itu, menepuk-nepuk sisi miringnya.

Tidak bisa dihancurkan sekaligus

air akan menerjang, menghanyutkan dirinya dan semua yang ada di hilir.

Harus dibuka perlahan.

Harus cerdas, bukan hanya kuat.

Pasai menanamkan kedua kakinya di dasar sungai kecil yang hanya setinggi perut.

Air yang tertahan terasa dingin, tapi ia fokus pada batu terbesar yang terjebak di tengah tumpukan.

“Ini yang menahan arusnya…”

Ia meraih batu itu dengan kedua tangan.

Urat lengannya menegang, bahunya bergetar, dan tubuhnya sekuat logam di bawah kulit.

Tanah mulai runtuh sedikit.

Air merembes dari sela-selanya pertanda tekanan mulai mencari jalan keluar.

Pasai menggeram rendah.

Ia angkat batu itu setengah jengkal, memutar perlahan agar air memiliki celah kecil untuk lolos.

“Pelan… kalau terlalu cepat kau akan menerkamku.” ucapnya sambil mengertak gigi

Air mulai menyembur kecil lewat celah itu, membuat bunyi siulan tajam.

Tanah basah tergerus, tapi Pasai menahannya dengan lutut dan bahu.

Ia kendalikan aliran dengan tubuhnya sendiri, seperti pintu air hidup.

Urat-urat di lengan Pasai menegang. Napasnya terhela berat, tapi ia terus menahan batu itu

Begitu tekanan mulai stabil, ia lemparkan batu itu ke sisi sungai.

Batu menghantam tanah dengan dentuman berat.

Air kemudian mengalir deras, namun terkendali, memecah tumpukan longsor sedikit demi sedikit.

Pasai menatap aliran yang kini kembali bergerak, dan menghela napas lega.

“Akhirnya. Desa Yaka tidak lagi kesulitan air.”

Ia menepuk tanah dari tangan dan lengannya, lalu berbalik.

Macan tutul yang tadi ia hadapi sudah tak terlihat, mungkin sudah pergi jauh setelah merasa tak sanggup menandingi manusia yang bisa melempar batu sebesar itu seperti melempar batang kayu.

Pasai tersenyum tipis.

“Macan tutul tidak ada apa-apanya.

Hanya harimau yang membuatku harus berpikir dua kali.”

Dengan itu ia melangkah pergi, meninggalkan sungai yang mulai bernyawa kembali.

“Arus yang tertahan akhirnya pecah, mengeluarkan suara seperti napas panjang bumi yang dilepaskan.” gumam Pasai

Di dalam Desa Yaka, tebing batu melingkar itu menjadi saksi bisu kecemasan.

Orang–orang berjalan mondar-mandir, tak tenang. Wajah mereka memikul satu kekhawatiran yang sama: Pasai, sahabat Yaka yang kini berada di luar, menghadapi macan tutul dan bahaya hutan sendirian.

Seorang nenek bergumam pelan,

“Dia sendirian di luar sana… semoga roh-roh penjaga melindungi dia.”

Belum sempat keresahan mereka mereda, tiba-tiba seseorang berteriak dari dekat tebing batu:

“AIR! AIRNYA KELUAR!!”

Semua orang berhenti. Seketika desa itu penuh langkah kaki yang berlari menuju dinding batu yang membendung aliran sungai.

Benar saja dari celah batu yang sebelumnya kering, kini air muncul, pertama keruh seperti lumpur yang diperas, lalu perlahan berubah jernih.

Alirannya makin besar, makin deras, hingga akhirnya berubah menjadi aliran sungai kecil yang nyata.

Sorak-sorai meledak.

“Akhirnya! Setelah beberapa musim!”

“Airnya kembali!”

“Kita tidak perlu lagi membawa wadah kulit sapi keluar tembok!”

Kegembiraan menyebar seperti cahaya matahari.

Orang-orang saling berpelukan; beberapa sampai meneteskan air mata.

Selama ini mereka harus keluar tembok, menghadapi mata-mata Lakantara dan binatang buas hanya untuk mengambil sedikit air.

Banyak yang hampir kehilangan nyawa dan semua itu berubah dalam satu hari.

Mereka tahu siapa yang pantas disebutkan dalam doa syukur mereka: Pasai, yang kini entah bagaimana keadaannya.

Di tengah sorak-sorai, Yaka hanya menatap ke arah hutan yang jauh… dadanya sesak.

Dengan suara lirih ia berkata,

“Semoga kau baik-baik saja di luar sana, Pasai…”

Tiga kali bunyi terompet tanduk menggema dari arah hutan luar tebing, panjang, dan lantang.

Semua warga Desa Yaka langsung terdiam.

Lalu seketika berubah menjadi sorak sorai yang pecah seperti air bah.

“Pasai kembali! Pasai selamat!!”

Pintu kayu mirip dinding tebing dibuka perlahan.

Dari balik kabut pagi yang tipis, Pasai muncul dengan tubuh berdebu, pakaian basah hingga lutut, dan napas masih berat, namun matanya tenang.

Tenang seperti orang yang baru saja memenangkan perang dengan alam.

Beberapa warga berlari menghampiri, namun berhenti satu langkah di depannya mereka menautkan kedua telapak tangan di depan dada, hormat penuh rasa terima kasih, bukan hanya pada keberaniannya… tapi pada pengorbanan yang tak diminta siapa pun.

Pasai balas menundukkan kepala sedikit.

Di belakangnya, suara gemericik sungai baru yang dulu mati dan membusuk kini mengalir kembali. Semakin lama semakin deras.

Dari keruh berubah menjadi jernih. Dari mati menjadi hidup.

Seorang ibu tua menangis tersedu sambil berkata,

“Air itu… kami pikir tak akan kembali lagi, Pasai.”

Seorang pemuda menambahkan,

“Kami hidup kembali karena kau.”

Pasai hanya menjawab sambil mengusap lumpur di lengan,

“Air itu bukan milikku. Aku hanya membuka jalan yang tertutup. Alam yang mengurus sisanya.”

Namun semua warga tahu:

Bukan hanya longsor yang ia hadapi…

Bukan hanya batu yang ia singkirkan…

Ada macan tutul di luar sana penguasa hutan yang tak seorang pun berani menghadapinya.

Tapi Pasai kembali berdiri di tengah desa, hidup, tegak, dan membawa sungai itu pulang bersama dirinya.

Pasai duduk bersila di atas batu besar di tengah balai desa, napasnya masih teratur meski tubuhnya basah oleh percikan lumpur sungai.

Di sampingnya, Rasi Yaka sahabat lamanya menatapnya dengan campuran kagum dan rasa syukur yang sulit disembunyikan.

“Pasai…” Rasi Yaka menghela napas panjang, seolah baru sekarang bebannya terangkat.

“Aku… kami semua berhutang banyak padamu. Air sungai yang kembali mengalir… itu menyelamatkan desa penduduk dalam tebing.”

Pasai hanya tersenyum kecil, tidak mencari pujian.

Tapi sorot matanya masih menyimpan sisa adrenalin dari pertarungan dan kerja kerasnya.

Rasi memandang lebih lama, menilai perubahan sahabatnya itu.

“Di luar sana ternyata dunia keras, ya…,” gumamnya.

“Aku tak menyangka tubuhmu bisa menjadi sekokoh ini dan keberanianmu” ia menggeleng pelan “seperti harimau yang tak takut siapapun.”

Pasai terkekeh pelan.

“Tidak sekuat itu juga, Rasi.

Tapi untuk menyingkirkan longsor dan menghadapi seekor macan tutul… rasanya itu belum seberapa dari apa yang pernah menungguku di luar sana.”

Rasi memegang bahu sahabatnya, menggenggam erat sebagai tanda hormat yang tulus.

“Yang terpenting, kau kembali,” katanya.

“Dan air sungai kembali hidup. Yaka kembali bernapas.”

Di luar balai, suara riuh warga masih terdengar suara orang-orang yang hidup kembali setelah musim panjang penuh kekeringan dan ketakutan.

Dan di tengah semua itu, Pasai hanya duduk tenang, sederhana namun jelas: ia kini menjadi salah satu pilar kekuatan yang tak tergantikan bagi desa Yaka.

Keesokan paginya, udara di Desa Yaka masih lembap oleh embun yang menggantung di celah-celah batu tebing melingkar.

Pasai berdiri di depan pintu gerbang, hanya membawa kantong kecil berisi ramuan kering dan berbekalan yang dibutuhkan.

Rasi Yaka menghampirinya dengan langkah berat.

“Pasai… kau sungguh ingin pergi hari ini?” suaranya bergetar menahan perasaan.

Pasai tersenyum tipis. “Aku harus melanjutkan perjalanan, Rasi.

Wasiat gurumu guru kita belum selesai.

Selama Ranu Lahu belum kutemukan, langkahku tak boleh berhenti.”

Rasi Yaka menatap tubuh Pasai yang kini jauh berbeda dari saat terakhir ia melihat sahabatnya sebelum kabur dari tembok Lakantara.

Kini bahunya lebih lebar, gurat otot di lengannya seperti akar pohon tua, dan tatapan matanya membawa keyakinan yang hanya dimiliki orang yang pernah melawan maut lebih dari sekali.

“Aku tidak menyangka dunia luar bisa menempa tubuhmu jadi seperti batu karang,” ucap Rasi Yaka sambil menepuk dada Pasai pelan.

“Dan hatimu… seperti harimau yang tidak pernah tunduk.”

Pasai tertawa kecil. “Justru karena itu aku harus terus berjalan.

Kalau aku tinggal terlalu lama, aku bisa tidak lulus menjadi gelar Rasi.”

“Kau benar. Dan semoga dalam perjalananmu akan menemui beliau untuk mendapat cahaya harapan" ucap Rasi Yaka sebelum berpisah.

Untuk sesaat, keduanya diam. Hanya suara air sungai yang kembali mengalir berkat Pasai mengisi pagi itu.

Suara yang akan selalu membuat warga Yaka mengingat jasanya.

Akhirnya Rasi Yaka menautkan kedua tapak tangannya beserta beberapa warga lainnya, salam penghormatan tertinggi kepada Pasai.

“Semoga jejakmu tidak hilang oleh kabut,” katanya lirih.

“Dan semoga jejak Ranu Lahu menuntunku,” jawab Pasai.

Pasai kemudian melangkah keluar dari gerbang.

Ia tidak menoleh lagi.

Angin pagi menyibakkan rambutnya, membawa aroma tanah basah dan petualangan baru.

Desa Yaka menyaksikannya pergi sosok kecil di antara pepohonan, menuju dunia luas yang menunggu.

Pasai sudah berjalan cukup jauh dari Desa Yaka.

Jejak langkahnya tertinggal di tanah lembap, sementara angin pegunungan rendah membawa aroma lumut dan batang basah.

Ia menoleh sekali hanya sekali ke arah dinding tebing, yang kini tinggal siluet kecil di belakang sana.

Dalam hatinya masih tersisa rasa hangat yang jarang ia rasakan:

“Siapa sangka… di dalam desa kecil itu, keyakinan berbeda bisa hidup berdampingan.

Tidak ada teriakan, tidak ada saling menolak.

Semua berjalan harmonis… semua karena Rasi Yaka.”

Ia teringat percakapan semalam, saat Rasi Yaka menepuk bahunya dengan bangga, menyebutnya seperti

“tebing yang tumbuh dari dunia luar keras, kokoh, namun melindungi.”

Pasai menghela napas panjang.

Ia tahu waktunya di Desa Yaka sudah selesai.

Sekarang hanya satu tujuan:

Menjalankan wasiat gurunya, Rasi P’rana.

Mencari Ranu Lahu, sang penerima wahyu yang membangun peradaban.

Rute di depannya tidak pasti.

Hutan semakin rapat, kabut mulai turun tipis-tipis, suara burung liar bergema di kejauhan.

Tapi Pasai melangkah tanpa ragu.

“Guru… aku akan menemukan orang itu. Apa pun yang menungguku di depan.”

Ia mempererat anyaman tali di pinggulnya, memastikan bekal kecilnya tidak terjatuh.

Langkahnya mantap.

Dunia luar kembali membentang luas, penuh bahaya dan keajaiban.

Dan dengan itu, perjalanan besar Pasai menuju rahasia Ranu Lahu pun dimulai.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!