Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara Ikan Mati
Dengung bor dari kejauhan merayap masuk ke gudang, getarannya terasa sampai ke tulang. Hwa-young memijat pelipisnya, udara yang lembap dan berbau garam terasa menyesakkan. Di hadapannya, Kapten Yoon berdiri kaku, rahangnya mengeras.
"Rantai besi," desis Hwa-young, lebih pada dirinya sendiri. Itu bukan sekadar solusi logistik. Itu adalah deklarasi perang dari Matriarch Kang. Sebuah pernyataan kejam, permanen, dan hampir tanpa celah. "Wanita tua itu tidak bodoh. Dia tahu gudang ini adalah jantung kita, titik penyeberangan tercepat untuk bijih besi dan Garam. Dia akan mencekik kita di sini."
"Yang Mulia, kita kehabisan waktu!" desak Kapten Yoon, tangannya tanpa sadar mencengkeram gagang pedangnya. "Mereka menggunakan perahu-perahu besar, bersembunyi di balik kabut pagi. Jika kita biarkan, fajar nanti sungai ini sudah jadi benteng pribadi keluarga Kang."
Hwa-young menggeleng pelan, rasa frustrasi menggerogoti ketenangannya. "Menyerang langsung adalah bunuh diri. Kapal patroli Kang ada di mana-mana seperti lalat di atas bangkai. Kita akan terekspos. Gudang ini, jaringan Garam Sora, kau ... semuanya akan hilang dalam sekejap." Ini bukan sekadar gudang. Ini adalah warisan perlawanan ibunya, dibangun dari keringat dan darah orang-orang yang terbuang. Kehilangan tempat ini sama saja dengan membiarkan arwah ibunya mati untuk kedua kalinya.
Sora, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya pucat pasi di bawah cahaya lentera yang remang. "Pangeran Mahkota. Kita harus menghubunginya. Hanya otoritas kerajaan yang bisa menghentikan ini. Perintah penangguhan pengeboran dengan alasan mengganggu navigasi komersial."
"Kurir tercepat butuh dua jam untuk sampai ke Istana Timur, dan dua jam lagi untuk kembali," balas Hwa-young getir. "Dalam empat jam, rantai itu sudah mengikat leher kita. Lagi pula, Kang sudah mengendus kurirku yang biasa. Mengirim pesan terbuka sama saja dengan menyerahkan kepalaku di atas piring perak." Kilasan ingatan tentang kurir terakhirnya yang ditemukan mengambang di sungai membuat perutnya mual.
"Lalu bagaimana?!" suara Kapten Yoon meninggi, putus asa. "Kita butuh Yi Seon!"
Hening sejenak, hanya suara pengeboran yang terus menggerogoti saraf mereka. Hwa-young memejamkan mata, mencari jawaban di dalam benaknya. Bukan jawaban dari strategi militer, tapi dari bisikan ibunya di masa lalu. Ibunya selalu berkata, kekuatan terbesar datang dari mereka yang dianggap paling lemah, yang diabaikan oleh penguasa.
Matanya terbuka, menatap Sora dengan tajam. "Serikat Penangkap Ikan."
Sora tersentak. "Sudah saya aktifkan, Yang Mulia. Mereka serikat kecil di muara sungai, selalu luput dari radar kantor pajak Kang karena pendapatan mereka yang tak menentu. Mereka membenci Kang lebih dari apa pun."
"Bagus," kata Hwa-young, secercah harapan muncul. "Mereka akan jadi jalur komunikasi kita. Perahu kecil mereka bisa menyelinap lewat perairan dangkal yang dihindari patroli Kang seperti wabah."
"Tapi ... sandi? Kecepatan? Mereka hanya nelayan, Yang Mulia," Sora ragu.
"Mereka membaca arus sungai lebih baik dari kurir mana pun yang pernah kita miliki," potong Hwa-young, nadanya tegas. "Kita pakai sandi yang hanya mereka yang mengerti. Nama-nama ikan. Sora, hubungi penghubungmu. Sekarang. Pesan ini harus sampai di Istana Timur kurang dari satu jam."
Sora mengangguk mantap. "Paman Baek. Dia yang tercepat. Dia sudah hafal sandi ikan kita di luar kepala."
Hwa-young meraih kuas dan secarik kertas. Tangannya bergerak cepat, menulis dengan sandi Anggrek Merah yang telah dimodifikasi, sebuah bahasa rahasia antara dirinya, Yi Seon, dan Jenderal Kim.
‘Kang pasang rantai di titik Bijih Besi. Gunakan Pasal 12 Hukum Navigasi. Segera. Prioritaskan ini di atas persidangan palsu itu.’
Dia menggulungnya, menyegelnya dengan lilin Chungmae, dan menyerahkannya pada Sora. "Pastikan Paman Baek menyembunyikannya di lambung perahu. Jika terpojok, buang pesannya. Nyawanya lebih berharga."
Mereka bergegas keluar menuju dermaga tersembunyi. Di sana, seorang lelaki tua kurus kering dengan kulit legam terbakar matahari sedang menyiapkan perahunya. Paman Baek. Kerutan di wajahnya seperti peta sungai itu sendiri, tapi matanya berkilat tajam.
"Paman Baek, darurat," ujar Sora, menyerahkan gulungan itu. "Untuk Istana Timur. Hanya untuk mata Jenderal Kim atau Pangeran Mahkota."
Paman Baek menerima gulungan itu dengan tangan yang mantap. "Paham, Nona Sora. Jika arusnya bersahabat, lima puluh menit."
"Arus sedang bersahabat," sela Hwa-young, melangkah mendekat. "Tapi patroli Kang tidak."
Paman Baek mengangguk. "Saya akan lewat jalur air dangkal di belakang Pulau Ikan Mati. Tak ada patroli yang berani ke sana."
Pulau Ikan Mati. Nama itu memicu ingatan yang ingin ia kubur dalam-dalam, malam lima tahun lalu, penyergapan brutal, kurir ayahnya yang setia tewas dengan puluhan anak panah di punggungnya. Pelakunya? Matriarch Kang.
"Tunggu!" seru Hwa-young, suaranya parau. "Jangan lewat sana."
Paman Baek menatapnya bingung. "Tapi Yang Mulia, itu rute teraman."
"Tidak lagi," desis Hwa-young. "Kang pernah memakai jalur itu untuk penyergapan. Dia tahu persis, tepat pukul sebelas malam, air surut akan memaksa perahu mana pun untuk melambat. Dia akan menempatkan orang-orangnya di sana, menunggu."
Sora menatapnya ngeri. "Bagaimana Anda tahu?"
"Kenangan buruk," jawab Hwa-young singkat, mengabaikan pertanyaan itu. "Paman Baek, ambil rute yang paling mustahil. Rute yang dulu digunakan pedagang rempah-rempah selundupan. Lewat kanal lumpur."
Paman Baek menggeleng tak percaya. "Kanal lumpur? Itu jebakan alam, Yang Mulia! Perahu bisa terjebak selamanya."
"Tepat," sahut Hwa-young. "Dan karena itulah, Kang tidak akan pernah menduga kita sebodoh itu. Ambil rute itu. Jangan berhenti untuk apa pun. Jika kau lihat patroli, lempar pesannya. Utamakan keselamatanmu."
Pria tua itu menatap Hwa-young lekat, sorot matanya berubah dari bingung menjadi penuh hormat. "Saya mengerti, Yang Mulia. Risiko ini akan saya ambil. Demi Kekaisaran."
Tanpa berkata-kata lagi, Paman Baek menyelipkan gulungan itu ke dalam kompartemen rahasia di lambung perahunya, menutupinya dengan jaring ikan, lalu melompat ke perahunya. Dengan beberapa kayuhan kuat, ia lenyap ditelan kegelapan.
Di dalam gudang, ketegangan semakin mencekik. Suara pengeboran terasa semakin dekat, semakin keras, seolah mengejek penantian mereka.
"Apa dia akan berhasil?" tanya Kapten Yoon, suaranya serak.
"Dia harus," jawab Hwa-young, duduk di atas sebuah karung kosong, berusaha menenangkan napasnya. "Jika tidak, riwayat gudang ini tamat."
Sora mondar-mandir seperti binatang terkurung. "Kita harus siapkan pertahanan. Jika Kang tahu kita panik, "
"Tidak perlu," potong Hwa-young. "Fokus Kang bukan pada gudang ini. Fokusnya adalah komunikasi. Dia tahu jalur informasi adalah nyawa Chungmae."
Tiba-tiba, seorang penjaga berlari masuk, terengah-engah. "Sinyal! Dari jaringan nelayan! Sandi Ikan Kod!"
Hwa-young dan Sora sontak berdiri. "Ikan Kod?" tanya Hwa-young.
Sora menelan ludah, wajahnya memucat. "Itu sandi darurat. Artinya ... penyergapan!"
"Di mana?!"
"Dekat Kanal Lumpur! Patroli Kang menyamar sebagai pedagang teh!"
Hwa-young mengumpat dalam hati. "Wanita licik itu ... dia pasti mencium pergerakan aneh di sana."
"Apa Paman Baek tertangkap?" tanya Sora panik.
"Belum pasti! Sinyal berikutnya ... Ikan Pari!" seru penjaga itu lagi.
Sora memejamkan mata, berusaha mengingat. "Ikan Pari ... artinya ... berhasil lolos, meninggalkan jejak palsu."
Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Hwa-young. "Dia berhasil. Dia pasti melempar sesuatu untuk mengalihkan perhatian mereka, seperti yang kuinstruksikan."
"Tapi pesannya? Apa sampai?"
"Kita tunggu," kata Hwa-young. "Jika sampai, Jenderal Kim akan membalas dengan sandi Burung Laut."
Menit-menit berikutnya terasa seperti selamanya. Suara pengeboran di luar seolah menjadi detak jantung dari malapetaka yang mendekat.
Lima belas menit kemudian.
Swiiit! Swiiit!
Suara peluit nyaring dan khas menembus udara malam.
Kapten Yoon yang berjaga di pintu berbalik dengan wajah berseri. "Sinyal Burung Laut! Itu Jenderal Kim! Berhasil!"
Hwa-young merasakan beban berat terangkat dari pundaknya. ‘Dua belas malam, Pasukan Darat tiba. Penangguhan segera berlaku. Siapkan pertahanan.’
"Dua belas malam!" seru Hwa-young. "Yi Seon bergerak cepat! Dia menggunakan Pasal 12. Dia membeli kita waktu!"
Sora mengepalkan tinjunya. "Kita mengalahkan Kang dalam kecepatan!"
"Ya," kata Hwa-young, tetapi tatapannya masih waspada. "Sora, kirim pesan baru ke seluruh jaringan. Peringatkan mereka. Kang sudah tahu soal Kanal Lumpur. Dia akan membalas."
Sora mengangguk. "Saya akan perintahkan mereka pindah rute."
"Tidak," kata Hwa-young, matanya menyipit dingin. "Justru sebaliknya. Kang mengira kita akan lari. Kita akan gunakan Kanal Lumpur itu sebagai jebakan. Kita akan sengaja meninggalkan umpan di sana, pesan palsu. Sementara dia sibuk, kita akan mulai operasi bijih besi yang sesungguhnya."
Belum selesai ia bicara, Kapten Yoon berteriak dari pintu.
"Yang Mulia! Pergerakan! Kapal patroli Kang! Mereka menuju kemari!"
Hwa-young dan Sora bergegas ke jendela. Tiga kapal patroli, jauh lebih besar dan lebih cepat dari perahu nelayan, membelah air dengan buas, langsung menuju gudang mereka.
"Mereka melanggar perintah penangguhan!" seru Sora.
"Mereka tidak datang untuk mengebor," desis Hwa-young, matanya memantulkan cahaya obor dari kapal-kapal itu. "Mereka datang untuk memotong lidah kita. Mereka tahu Paman Baek lolos, dan mereka tahu kita ada di sini."
SYUUT! THUD!
Sebuah panah api menancap di dinding kayu gudang.
"Mereka mau membakar kita hidup-hidup!"
"Kapten Yoon, kau dan anak buahmu mundur lewat terowongan rahasia!" perintah Hwa-young. "Tunggu pasukan Yi Seon!"
"Lalu Anda?!"
"Aku akan memberi mereka pengalihan," kata Hwa-young. Matanya tertuju pada tumpukan karung berisi sisa rempah-rempah sitaan di sudut gudang. "Sora, obor!"
Tanpa bertanya, Sora menyambar obor dari dinding dan memberikannya.
Hwa-young berlari ke tumpukan karung itu dan tanpa ragu melemparkan obornya. Api langsung menyambar, melepaskan asap pedas yang tebal dan menyesakkan.
"Keluar! Sekarang!"
Kapten Yoon dan anak buahnya menghilang ke dalam pintu rahasia di lantai. Sora menyusul, sempat menoleh ke belakang. "Yang Mulia! Cepat!"
BRAKK!
Pintu utama gudang didobrak. Para pengawal Kang menyerbu masuk, dipimpin oleh seorang letnan berwajah bengis.
"Putri Mahkota! Menyerah!"
Hwa-young berdiri tenang di tengah kobaran api yang mulai menjalar. "Terlambat," jawabnya dingin, sebelum berbalik dan berlari menuju terowongan. Dia melompat masuk tepat saat beberapa anak panah melesat melewati kepalanya.
Kapten Yoon segera menutup pintu batu itu, mengunci mereka dalam kegelapan yang pekat. Di atas, suara teriakan dan derak api terdengar samar.
"Kita aman," bisik Sora.
"Untuk sekarang," balas Hwa-young.
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari luar terowongan, dari arah sungai. Bukan suara api.
"Mereka tahu ada terowongan di sini!" kata Kapten Yoon panik.
"Tidak mungkin," kata Hwa-young. Namun kemudian, sebuah kesadaran mengerikan menghantamnya. "Mereka tidak mencari terowongan," desisnya. "Mereka mencari Paman Baek. Wanita tua itu ... dia tidak menyerang gudang. Dia menyerang jaringannya."
Dari luar, suara letnan Kang terdengar berteriak melalui pengeras suara. "Periksa semua perahu nelayan! Siapa pun yang berafiliasi dengan serikat Ikan Kod, tangkap! Hancurkan jaringan komunikasi Putri Mahkota sebelum fajar!"
Mereka saling pandang dalam kegelapan. Kang tidak hanya membalas, dia melakukan pembersihan.
"Kita harus keluar dan memperingatkan mereka!" kata Hwa-young.
Mereka bergegas menyusuri terowongan. Tiba-tiba, suara ledakan keras mengguncang lorong itu, diikuti ledakan-ledakan lain.
"Itu ... suara perahu nelayan yang dibakar!" bisik Sora ngeri. "Dia tidak hanya menangkap mereka, dia menghancurkan armada mereka!"
Mereka sampai di ujung terowongan. Hwa-young mendorong pintu rahasia yang tersembunyi di balik semak belukar. Pemandangan di depan mereka adalah neraka. Kapal-kapal patroli Kang membakar perahu-perahu nelayan yang tak berdaya satu per satu.
"Kita harus mengirim pesan!" seru Hwa-young putus asa.
"Bagaimana caranya, Yang Mulia?! Semua jalur sungai dikendalikan Kang!"
Hwa-young menatap ke arah Ibukota yang temaram. Hanya ada satu jalan tersisa. Jalan yang paling kotor dan paling berbahaya. "Jalur darat. Lewat pasar gelap di Distrik Tiga."
"Itu sarang bandit dan mata-mata!" protes Kapten Yoon.
"Dan itu satu-satunya tempat yang tidak dikuasai Kang," kata Hwa-young tegas. "Sora, kau yang pergi. Menyamarlah. Jenderal Kim harus tahu Kang akan mengalihkan serangannya ke jalur darat."
"Saya siap, Yang Mulia."
Tiba-tiba, Kapten Yoon menunjuk. "Yang Mulia! Mereka menemukan pintu keluar kita!"
Dua kapal patroli berbalik arah, sorot lampu mereka menyapu area persembunyian mereka.
"Sora, pergi sekarang! Jangan menoleh!" perintah Hwa-young.
Sora mengangguk, lalu melesat ke dalam kegelapan.
Hwa-young dan Kapten Yoon membanting pintu terowongan hingga tertutup, menguncinya dari dalam. Mereka terjebak.
Hening.
Lalu, terdengar langkah kaki berat di luar pintu batu. Suara kerikil yang terinjak.
KRRSSK ... KRRSSK...
Langkah-langkah itu berhenti tepat di depan pintu rahasia mereka.
Kemudian, sebuah suara rendah dan dingin terdengar dari sisi lain batu, begitu dekat seolah berbisik di telinga mereka.
"Aku tahu kau di dalam, Putri Mahkota."
TOK. TOK. TOK.
Suara ketukan di pintu batu itu terdengar seperti lonceng kematian.