Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Satu
“Selamat tinggal, Mas,” ucap Yuni lirih.
Mobil perlahan melaju keluar dari halaman. Yuni masih berharap Azka akan mengejarnya. Namun, harapan tinggallah harapan. Dia memang tak pernah akan menjadi prioritas walaupun tanpa wanita lain.
Di dalam mobil, Yuni menatap lurus ke depan. Napasnya berat, matanya kabur oleh air mata yang tak henti mengalir. Ia berusaha menahan isak, tapi suaranya pecah juga. Nathan menatap ibunya dengan bingung.
“Bunda nangis, ya?” tanya Nathan. Suara kecil itu seperti pisau yang menembus jantungnya.
Yuni menggeleng pelan, berusaha tersenyum di tengah hancurnya hati. “Nggak, Nak. Bunda cuma capek.”
Nathan memiringkan kepala. “Bunda capek karena Ayah marahin Bunda?”
Yuni terdiam. Anak sekecil itu pun tahu ada sesuatu yang salah. Ia mengusap pipi Nathan lembut. “Ayah nggak marahin Bunda, Sayang. Kita cuma … lagi nggak baik-baik aja.”
“Bunda sama Ayah berantem, ya?” tanya Nathan lagi. Pertanyaan itu membuat Yuni menahan napas.
Ia menggigit bibir, lalu menjawab pelan, “Kadang orang dewasa memang bisa salah, Nak. Tapi nanti, semuanya akan baik-baik aja.”
Nathan mengangguk, meski jelas ia tak sepenuhnya mengerti. Ia kembali memeluk tas mainannya, memandang keluar jendela. Sementara itu, Yuni menatap ke luar, matanya kosong. Jalanan ia lewati kini terasa makin asing. Setiap gedung, setiap lampu, terasa seperti saksi yang tahu betapa hancurnya ia saat ini.
Begitu sampai di bandara, langit sudah gelap. Yuni turun dari mobil tanpa banyak bicara. Sopir menawarkan bantuan membawa koper, tapi ia menolak. “Biar aku aja, Pak.”
Ia menuntun Nathan menuju pintu keberangkatan. Di setiap langkah, hatinya seperti ditarik mundur oleh kenangan. Setiap suara pengumuman penerbangan, langkah kaki orang-orang yang terburu-buru, tawa penumpang lain, semuanya terasa jauh. Dunia terus berjalan, sementara hidupnya terasa berhenti di titik itu.
Ketika duduk di ruang tunggu, Yuni baru sadar betapa gemetar tangannya. Ia memeluk Nathan erat, seolah anak itu satu-satunya hal yang masih membuatnya kuat.
“Bunda kenapa sedih?” tanya Nathan lagi, menatap wajah ibunya yang sembab.
“Bunda nggak sedih,” bohongnya pelan. “Bunda cuma kangen.”
“Kangen siapa, Bunda?”
Yuni terdiam lama. Matanya menerawang jauh ke arah landasan. “Kangen sama diri Bunda yang dulu.”
Nathan tak mengerti, tapi ia hanya mengangguk dan menyandarkan kepala di bahu ibunya. “Nanti Bunda bisa ketemu lagi sama yang dikangenin itu, ya?”
Yuni tersenyum kecil. “Semoga.”
Yuni berdiri setelah operator meminta penumpang naik ke pesawat, menggandeng tangan Nathan. Di setiap langkah menuju pintu keberangkatan, ada bagian dari dirinya yang tertinggal. Tapi dia tahu, kalau ia menoleh sekali lagi, mungkin ia takkan bisa melangkah lagi.
Di dalam pesawat, Yuni duduk di dekat jendela. Lampu-lampu kota tampak redup di bawah sana, seperti titik-titik kecil yang perlahan menghilang saat pesawat naik semakin tinggi. Ia memejamkan mata, tapi air matanya terus mengalir.
Nathan sudah tertidur di pangkuannya. Wajah polos anak itu menjadi satu-satunya ketenangan di tengah badai yang mengamuk di dalam dirinya.
Namun setiap kali ia mencoba menutup mata, bayangan kamar itu muncul lagi. Dinding penuh foto-foto Amanda. Senyum perempuan yang dulu ia panggil “sahabat”, tapi kini menjadi wajah yang menandai kehancuran hidupnya.
Yuni memejamkan mata lebih kuat, mencoba mengusir bayangan itu. Tapi semakin ia berusaha, semakin jelas pula wajah itu dalam ingatannya. Amanda berdiri di tengah dinding, dengan senyum lembut di setiap foto. Senyum yang dulu ia kagumi, kini menjadi senyum yang menusuk.
“Amanda …,” bisik Yuni pelan, nyaris tanpa suara. “Kenapa harus kamu?”
Ia masih ingat bagaimana dulu mereka tertawa bersama, berbagi cerita, saling mendukung. Amanda tahu semua tentangnya.
Namun, yang lebih menyakitkan, bukan hanya tentang Amanda. Tapi karena Yuni sadar jika Azka sangat mencintai sahabatnya itu.
Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa dalam cinta itu. Foto-foto yang ditempel rapi di dinding, bingkai yang dipoles, senyum yang dipandang dengan penuh kerinduan. Itu bukan cinta sesaat. Itu cinta yang dalam dan nyata.
Dan Yuni makin sadar dirinya tak pernah punya tempat di sana. Ia mungkin istri pertama, tapi bukan cinta pertama. Bahkan mungkin bukan cinta sama sekali.
Air mata menetes lagi. Ia mengusapnya cepat, takut Nathan terbangun. Tapi semakin ia menahan, semakin deras air mata itu jatuh.
Ia menggigit bibir, menahan isak yang nyaris pecah. Dalam kepalanya, suara Azka terus bergema.
“Amanda tak salah, aku yang salah. Dia nggak tahu kalau aku udah nikah .…”
“Jangan salahin dia, Yun .…”
Setiap kalimat itu terasa seperti tamparan. Bahkan di saat dia merasakan sakit yang teramat dalam, Azka masih melindungi wanita itu. Masih menempatkannya di atas segalanya. Bukan membujuk dirinya, tapi pria masih terus membela Amanda. Takut jika wanitanya disalahkan dan disakiti.
Seharusnya Yuni benar-benar sadar, ia sudah kalah, bahkan sebelum berperang.
Pesawat mulai berguncang pelan, tanda memasuki awan tebal. Lampu kabin diredupkan. Suara mesin pesawat bergemuruh, menenggelamkan suara tangis yang tak sanggup ia bendung lagi. Ia menunduk, memeluk Nathan lebih erat.
“Apa salahku, Tuhan?” bisik Yuni lirih. “Aku cuma ingin dicintai suamiku sendiri.”
Tak ada jawaban. Hanya suara mesin pesawat yang berderu, dan tetesan air mata yang jatuh di rambut Nathan.
"Apa salah selama ini bertahan? Berharap cinta itu akan hadir dihati suamiku. Aku hanya mencoba mempertahankan milikku."
Beberapa jam kemudian, pesawat mendarat di kota tempat tinggalnya. Udara malam di luar terasa dingin. Bandara tidak terlalu ramai. Yuni berjalan pelan di antara penumpang lain, menggandeng Nathan yang masih mengantuk. Di wajahnya tersisa lelah yang dalam, bukan hanya lelah fisik, tapi lebih dari itu, lelah jiwa.
Begitu keluar dari pintu kedatangan, udara kota menyambutnya dengan aroma yang akrab.
Ia naik taksi menuju rumah tempat tingalnya. Rumah kecil di pinggir kota, sederhana tapi penuh kenangan. Saat taksi berhenti di depan pagar, Yuni hanya berdiri lama, menatap rumah itu.
Saat pertama menikah hingga tahun kedua, dia merasa bahagia. Walau tahu pria itu tak mencintainya, tapi masih terlihat tanggung jawab sebagai suami. Semua berubah memasuki tahun ketiga. Ternyata karena kehadiran Amanda.
Nathan menarik tangannya. “Bunda, kita udah sampai?”
Yuni mengangguk. “Iya, Sayang. Kita udah sampai.”
Malam itu, setelah Nathan tidur, Yuni duduk di teras sendirian. Hujan kembali turun, menetes pelan di atap seng. Ia memeluk lutut, menatap kosong ke arah jalan yang sepi. Di dalam kepalanya, wajah Azka terus muncul.
Wajah lelaki yang ia cintai tanpa syarat. Wajah yang sekarang hanya menyisakan luka.
Ia tahu, Azka pasti hancur juga. Ia tahu betapa pria itu mencintai Amanda. Bahkan saat Amanda pergi, Azka sudah seperti kehilangan separuh hidupnya.
Dan kini, setelah Yuni pergi, mungkin yang tersisa dari Azka hanyalah kehancuran. Yuni menunduk, menatap ujung jarinya yang gemetar.
Sakit di dadanya begitu nyata, seperti ada yang merobek pelan-pelan dari dalam.Ia mencintai Azka. Rasa itu masih ada. Tapi, ia juga tahu cinta saja tak cukup kalau tak ada kejujuran.
“Apakah aku harus menyerah, Mas?” bisiknya pelan. “Atau masih ada yang bisa diselamatkan dari semua ini?” Pertanyaan itu melayang di udara malam yang dingin, tanpa jawaban.
Yuni memejamkan mata, membiarkan air mata terakhirnya jatuh. Di kejauhan, suara petir menggema. Langit tampak muram, seolah ikut menahan sesuatu yang tak bisa diucapkan.
Dan di tengah kesunyian itu, Yuni sadar satu hal, hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Namun di dalam hati kecilnya, masih ada bisikan lembut yang bertanya, "Apakah ini benar-benar akhir, atau hanya jeda sebelum segalanya berubah?"
nah loh....kmu cndirian 🤣🤣🤣🤣😡😡😡
jdi yg slh tu Azka tau kadal buduk itu😡😡😡😡