Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Aroma Teh Dan Tatapan Yang Tak Biasa
Udara pagi di Arjuno Resort terasa seperti pelukan lembut dari alam. Langit mulai biru sempurna, dan kabut tipis di atas kebun teh perlahan terangkat. Dari arah danau buatan, suara air memantul ke udara, berpadu dengan kicau burung dan desiran angin yang menyentuh dedaunan hijau muda.
Liora dan Bulan melangkah keluar dari paviliun mereka dengan semangat yang bertolak belakang tapi saling melengkapi: Liora dengan kamera di leher dan kacamata hitam besar yang membuatnya tampak seperti influencer pariwisata; sementara Bulan — dengan kemeja putih, celana panjang krem, sneakers putih, dan rambut bergelombang yang jatuh natural — memancarkan ketenangan yang memikat.
“Gue sumpah, tempat ini terlalu cantik buat gak diabadikan,” kata Liora sambil memotret pemandangan di sekeliling.
Klik. Klik. Klik.
Setiap sudut ia tangkap: daun teh yang berembun, refleksi langit di danau, bahkan kucing yang duduk santai di pinggir jembatan kayu.
“Li, kucingnya bahkan gak minta difoto,” ujar Bulan geli.
“Semua yang estetik harus diabadikan!” jawab Liora mantap. “Nih, liat, angle-nya cakep banget—eh, Bul, lo ke situ dikit, biar gue ambil candid lo!”
“Liora,” kata Bulan sambil nyengir, “kalo lo bilang candid tapi lo suruh gue pose, itu bukan candid.”
“Definisi fleksibel, Bul.”
“Definisi lo sendiri maksudnya.”
Tawa mereka pecah di udara. Beberapa pengunjung lain menoleh sekilas, tapi tak lama kembali larut dalam aktivitas masing-masing. Bulan lalu melangkah ke sisi lain jalan setapak, tempat kebun teh terbentang luas, tertata seperti garis-garis simetris yang memanjakan mata.
Ia berhenti di sana. Menatap pemandangan hijau itu lama, membiarkan angin menyentuh wajahnya. Ada ketenangan aneh di dadanya — sesuatu yang menenangkan, tapi juga membuatnya ingin bernapas lebih dalam.
Sambil membuka tablet kecil dari tasnya, Bulan mulai mencatat sesuatu.
“Kalau sistem pengelolaan data tamu resort ini dikoneksikan langsung sama hospitality platform, mereka bisa optimasi 20% dari operational cost…”
Jemarinya bergerak cepat di layar, matanya fokus, tapi bibirnya tersenyum kecil. Ia tidak sadar bahwa dalam diam, caranya menatap dunia — pelan, penuh rasa syukur — sedang memantulkan cahaya yang berbeda.
*
Di sisi lain kebun, sekitar seratus meter dari sana, dua pria sedang berdiri di antara barisan teh.
Bhumi Jayendra mengenakan kemeja abu muda yang digulung sampai siku, dan celana kain gelap yang sedikit berdebu. Di tangannya, ada map laporan harian dari kepala kebun. Sementara di sebelahnya, Papa Bagas memegang topi bundar dan bicara santai dengan pekerja.
Bhumi baru saja ingin mencatat sesuatu ketika matanya — seolah dipandu oleh naluri yang halus — menoleh ke arah resort. Sekilas, ia melihat dua sosok perempuan di dekat area danau.
Satu dengan gaya flamboyan yang sibuk mengangkat kamera, satunya lagi… berdiri tenang di pinggir kebun, rambutnya tersapu angin, wajahnya menghadap cahaya.
Sosok itu.
Bhumi berhenti menulis. Sekujur tubuhnya menegang ringan, tapi bukan karena terkejut — lebih seperti seseorang yang tiba-tiba menemukan sesuatu yang sudah lama dicari tanpa sadar.
“Bhumi?” panggil Papa Bagas. “Ada yang salah dengan datanya?”
“Enggak, Pa…” jawab Bhumi pelan. “Cuma… Cuma lihat sesuatu.”
Ia menurunkan mapnya, menatap lagi ke arah resort. Cahaya matahari jatuh di wajah perempuan itu, menyoroti rambutnya yang kecokelatan di bawah sinar lembut.
Angin membuat helai-helai rambutnya bergerak perlahan, seperti adegan dari film yang terlalu nyata.
Rembulan Adreyna.
Nama itu langsung muncul di kepalanya, seolah otaknya lebih cepat dari logikanya sendiri.
“Pa, aku ke area resort sebentar,” ucapnya cepat.
Papa Bagas meliriknya. “Kenapa? Ada tamu?”
“Cuma mau cek fasilitas pengunjung.” Nada suaranya tenang, tapi langkahnya sudah bergerak lebih cepat dari biasa.
Papa Bagas tersenyum kecil, tidak menahan. Anaknya jarang sespontan itu — dan mungkin, dalam hati ayah itu tahu, ada alasan lain di balik langkah yang tergesa.
*
Sementara itu, di tepi danau, Liora masih belum berhenti heboh.
“Bulan! Lihat nih! Gue dapet angle di mana daun tehnya kayak lukisan!”
“Li, itu daun teh, bukan Monet,” sahut Bulan tanpa menoleh.
“Monet siapa? Influencer baru?”
“Pelukis, Li.”
“Oalah.”
Bulan tertawa kecil, sementara Liora tiba-tiba mendekat dan memotret Bulan diam-diam dari samping.
Klik!
“Liora!”
“Candid asli tuh! Dan lo keliatan cakep banget. Kayak tokoh utama drakor versi corporate.”
“Lo tuh selalu lebay.”
“Lebay tapi jujur!”
Bulan hanya menggeleng, tapi senyumnya lembut — karena dalam diam, ia tahu: hari ini memang terasa berbeda. Terang. Ringan. Dan entah kenapa, sedikit… hangat di dada.
Dari kejauhan, Bhumi berhenti di jalan batu di sisi danau. Matanya tidak pernah lepas dari pemandangan itu: dua perempuan tertawa, dan satu di antaranya — perempuan yang kini duduk di bangku kayu, menatap layar tablet kecil di tangannya — membuat seluruh alam di sekitarnya terasa berhenti bergerak.
Ia tidak tahu kenapa langkahnya terhenti, atau kenapa udara tiba-tiba terasa lebih berat tapi juga lebih jernih di paru-parunya.
Yang ia tahu, di antara aroma teh muda dan sinar matahari pagi itu, ada sesuatu yang berubah — dan mungkin, tanpa ia sadari, itu adalah awal dari segalanya.
**
Langit sudah mulai berwarna biru sempurna ketika Liora dan Bulan berjalan menyusuri jalur papan kayu yang membentang di antara kebun teh dan danau. Papan kayu itu memanjang, melengkung halus mengikuti kontur tanah, dikelilingi pohon-pohon kecil yang tumbuh di tepi jalur. Di setiap batang pohon terpasang lampu kaca kecil berbentuk lentera yang memantulkan cahaya hangat keemasan — bahkan di siang hari, bayangannya masih tampak indah, seolah seluruh jalur itu dibuat untuk menyambut senja.
Udara di sana lembut, berembus dari arah gunung Arjuno, membawa aroma teh muda yang baru dipetik. Liora berjalan duluan sambil merekam instastory tanpa berhenti, sementara Bulan berjalan lebih pelan di belakangnya, langkahnya tenang, matanya menatap sekeliling dengan kagum.
“Li, ini cantik banget,” kata Bulan pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh angin.
Liora menoleh sambil tersenyum lebar. “Kan aku bilang juga apa! Tempat ini tuh definisi sempurna antara healing dan aesthetic.”
“Gue pikir lo cuma lebay kayak biasa.”
“Lebay yang berfaedah, Bul. Nih, lo berdiri situ deh — background teh-nya bagus banget. Gue fotoin!”
Bulan tertawa pelan, akhirnya nurut juga. Ia berdiri di tepi papan kayu, di antara dua pohon kecil. Angin meniup rambutnya pelan, dan cahaya matahari jatuh tepat di wajahnya — hangat, lembut, menyorot garis lembut di matanya.
Klik.
Liora melihat hasil fotonya di kamera, matanya membulat. “ASTAGA, ini kayak potret iklan parfum mahal! Sumpah, kalo gue cowok, gue udah jatuh cinta sama lo detik ini juga!”
“Liora!” seru Bulan sambil tertawa kecil, pipinya memerah samar.
“Apa? Gue jujur aja! Gila, Bul, lo natural banget. Angin aja kayaknya kerja sama sama lo buat bikin momen bagus.”
“Lo tuh bisa gak ngomong normal lima menit aja?”
“Enggak bisa, soalnya dunia lagi butuh apresiasi atas visual secantik ini.”
Suara tawa mereka pecah di antara daun teh. Beberapa pekerja kebun yang lewat ikut tersenyum melihat dua perempuan muda itu — satu heboh, satu tenang, tapi keduanya membawa semacam cahaya sendiri ke tempat itu.
*
Di sisi lain jalur, di antara barisan teh yang lebih tinggi, langkah sepatu kulit terdengar mendekat. Bhumi Jayendra berjalan perlahan, didampingi satu staf resort yang sempat mencoba menjelaskan sesuatu, tapi akhirnya memilih diam ketika menyadari tatapan tajam sang CEO lebih banyak tertuju ke arah lain.
Bhumi beralasan hendak “cek area penginapan,” tapi sebenarnya — bahkan ia sendiri tahu — alasan itu terlalu rapuh untuk menutupi niat yang sesungguhnya.
Dari balik dedaunan teh, pandangannya jatuh ke arah dua sosok yang kini berjalan di atas papan kayu berlampu itu. Dan tepat di tengah sinar matahari yang menembus ranting,
ia melihatnya lagi — Rembulan Adreyna.
Kali ini tanpa jas kerja, tanpa aura profesional, tanpa dinding formalitas yang biasanya melindungi dirinya. Ia tampak sederhana, tapi justru karena kesederhanaan itulah pandangan Bhumi tak bisa lepas. Kemeja putih yang ditiup angin, rambut lembut yang sesekali menutupi pipinya, dan senyum tipis yang muncul setiap kali Liora bicara — semuanya seperti mengaburkan dunia di sekelilingnya.
Bhumi menarik napas pelan, menenangkan diri. Ia menatap jam tangannya, lalu berjalan lebih dekat ke arah jalur kayu. Langkahnya tenang, tapi setiap langkah membawa detak jantung yang sedikit lebih berat dari biasanya.
Liora yang pertama kali sadar. Begitu ia menurunkan kameranya, matanya menangkap sosok tinggi dengan kemeja abu yang datang dari arah kebun.
“Eh… Bul,” katanya sambil menyipitkan mata, “itu bukan…”
Bulan menoleh. Dan seketika langkahnya berhenti.
Di ujung jalur, di antara sinar matahari dan hijau teh, Bhumi Jayendra berdiri — tenang, rapi, dan seolah memang bagian dari tempat itu. Angin meniup lengan kemejanya, dan cahaya menyorot wajahnya yang teduh. Tatapan matanya bertemu dengan milik Bulan.
Hening.
Suara angin dan langkah kaki Liora perlahan memudar di latar belakang. Hanya ada dua pandangan yang bertemu di tengah kebun teh, dan entah kenapa, waktu terasa melambat.
“Selamat pagi,” kata Bhumi akhirnya, suaranya rendah tapi lembut.
Bulan menelan napas pelan. “Selamat pagi, Pak Bhumi.”
Ia masih berusaha menjaga wibawa profesionalnya, tapi ada getaran kecil di suaranya —
bukan gugup, tapi seperti seseorang yang baru menyadari bahwa semesta sedang mempermainkan garis waktu dengan halus.
Bhumi tersenyum sedikit, lebih sebagai refleks daripada niat.
“Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini.”
“Begitu juga saya,” jawab Bulan cepat, mencoba tersenyum tenang. “Kebetulan saya dan Liora lagi libur sehari.”
“Ah,” ucap Bhumi singkat. “Bagus. Resort ini memang dibuat untuk… istirahat dari capeknya dunia.”
Kalimatnya sederhana, tapi caranya mengucap membuat udara di antara mereka sedikit berubah. Liora — yang berdiri beberapa langkah di belakang — menatap dua orang itu bergantian, lalu menyenggol pelan bahu Bulan.
“Eh, Bul,” bisiknya kecil, “Takdir kayaknya lagi serius, deh.”
“Liora.”
“Oke, gue diem.”
Bhumi menatap ke arah danau. “Kalau boleh tahu, bagaimana kesan Anda sejauh ini tentang tempat kami?”
“Tenang,” jawab Bulan, jujur. “Dan… terlalu indah untuk ditinggalkan cepat-cepat.”
Tatapan Bhumi berpindah lagi padanya, lembut tapi intens.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “tinggallah sedikit lebih lama.”
Bulan terdiam. Jantungnya memukul dada pelan, tapi ia menahan diri untuk tetap tersenyum sopan.
“Kalau pekerjaan mengizinkan, saya mau.”
Bhumi mengangguk kecil, ekspresinya sulit ditebak.
“Tentu. Tapi kadang, beberapa hal layak dicuri sedikit waktunya.”
Angin berembus lagi. Daun-daun teh berdesir pelan, dan lampu-lampu kaca kecil di sekitar papan kayu bergetar halus, memantulkan cahaya ke wajah mereka berdua.
Untuk sesaat, dunia di sekitar terasa terlalu sunyi — dan hanya ada satu hal yang pasti:
semesta baru saja menyulam satu benang takdir lagi, di bawah langit Lawang yang penuh cahaya.
Langit Lawang siang itu berwarna biru lembut. Matahari bersinar hangat tapi tidak menyengat, memantulkan kilau ke permukaan danau buatan di sisi timur resort. Angin membawa aroma campuran teh melati dan tanah lembab, membuat udara terasa seperti napas segar yang tak ingin dilepaskan.
Setelah berbincang sebentar di jalur papan kayu, Bhumi sempat menoleh ke arah danau dan berkata, “Kalau tidak keberatan, saya ingin mengundang Anda berdua minum teh di lounge luar. Tempatnya tidak jauh dari sini.”
Liora langsung menatap Bulan dengan mata berbinar. “Teh gratis dari pemilik resort? Gue sih gak nolak.”
Bulan menatapnya setengah geli. “Li…”
Bhumi menahan senyum kecil yang nyaris tak terlihat. “Kalau begitu, mari.”
**
Lounge outdoor Arjuno Resort terletak di sisi barat, di bawah deretan pohon pinus dan pohon kiara payung yang menjulang tinggi . Kursi rotan berwarna krem tertata rapi menghadap danau, sementara meja kayu kotak di tengahnya dihiasi vas kecil berisi bunga camelia putih. Di ujung area, aroma teh yang baru diseduh menguar lembut dari teko porselen putih di atas nampan.
Mereka duduk di meja paling dekat dengan air. Liora memilih kursi paling pinggir, dengan alasan “biar kena cahaya bagus buat foto”, tapi kenyataannya — posisi itu paling pas buat ngeliatin dua orang di depannya tanpa terlalu mencolok.
Bhumi duduk di seberang Bulan, seperti posisi yang memang diatur oleh semesta.
Di antara mereka, hanya ada meja kotak, tiga cangkir teh, dan suara alam yang menenangkan.
“Resort ini punya view yang luar biasa,” ujar Bulan membuka percakapan, suaranya lembut tapi jelas.
Bhumi menatapnya pelan sebelum menyesap teh. “Terima kasih. Kami memang ingin tempat ini jadi ruang tenang untuk siapa pun yang datang. Bukan hanya tempat menginap.”
“Dan berhasil,” jawab Bulan jujur. “Rasanya kayak... dunia berhenti sebentar.”
Bhumi menatap wajahnya, ekspresinya tetap tenang tapi matanya seperti menelusuri setiap kata yang keluar dari bibir itu.
“Kalimat yang menarik,” katanya. “Kalau dunia memang berhenti, apa Anda mau tetap di sini?”
Bulan sempat terpaku. Ia tidak yakin apakah itu pertanyaan retoris atau sekadar percakapan ringan — tapi nada suara Bhumi terdengar terlalu tenang untuk dianggap biasa.
“Kalau waktu dan kerjaan mengizinkan,” katanya akhirnya, bibirnya membentuk senyum kecil. “Tapi saya gak bisa diam terlalu lama. Dunia saya keburu menuntut saya balik kerja.”
Bhumi menatap teh di tangannya sejenak, lalu kembali menatap Bulan.
“Saya juga begitu. Kadang kita terlalu sibuk mengatur kehidupan kita, sampai lupa menikmati liburan.”
Suasana hening sejenak. Angin berembus dari arah kebun teh, membawa aroma melati dan sedikit rasa hangat yang sulit dijelaskan. Liora yang duduk di samping mereka nyeruput tehnya pelan, menahan diri buat gak ikut senyum lebar.
Dari tempatnya duduk, dia bisa melihat cara Bhumi memandang Bulan — bukan tatapan antar rekan bisnis, tapi sesuatu yang lebih... pelan, dan penuh perhatian. Dan cara Bulan membalasnya, dengan sedikit gugup tapi tetap menjaga elegansinya, bikin Liora merasa kayak lagi nonton film romansa versi korporat.
“Tehnya enak banget,” ujar Bulan akhirnya, mencoba memecah keheningan lembut di antara mereka.
Bhumi mengangguk kecil. “Itu campuran teh melati dari kebun keluarga saya. Papa saya masih meracik sendiri komposisinya.”
“Serius?” tanya Bulan dengan mata sedikit melebar.
Bhumi menatapnya dan tersenyum samar. “Saya tidak pernah bercanda soal teh.”
Liora sampai hampir tersedak teh sendiri mendengar nada kalem itu. Ia menahan tawa, pura-pura sibuk dengan kameranya, sementara dalam hati teriak, ‘Ya Tuhan, ini flirting versi CEO dingin beneran beda levelnya
Bulan hanya tertawa pelan, nadanya sedikit menurun. “Kedengarannya... teh ini punya cerita sendiri.”
“Setiap racikan punya memorinya,” jawab Bhumi tenang. “Mungkin itu sebabnya teh jarang terasa sama kalau diseduh oleh orang berbeda.”
Bulan memutar cangkir di tangannya, matanya menatap cairan keemasan di dalamnya.
“Mungkin juga karena orang yang menyeduhnya tahu caranya membuat orang lain nyaman,” ujarnya lirih.
Bhumi menatapnya. Untuk sesaat, dunia benar-benar hening. Angin berhenti, waktu berhenti, bahkan suara Liora yang sibuk di samping pun hilang entah ke mana. Hanya ada dua orang — yang sama-sama belum tahu kenapa pandangan mereka terasa seperti percakapan paling jujur yang pernah ada.
“Pak Bhumi,” suara Liora tiba-tiba terdengar, memecah keheningan.
Bhumi menoleh sedikit, Bulan pun ikut tersadar dari lamunannya.
“Kalau boleh tahu,” lanjut Liora sambil menyandarkan dagu di tangan, “Bapak sering banget ke sini, ya?”
Bhumi menatap sekeliling sejenak — ke arah hamparan teh, ke danau yang memantulkan langit biru, lalu kembali pada dua tamunya.
“Saat kerjaan lagi gak terlalu banyak,” ujarnya tenang, “saya memang sering ke sini. Rumah orang tua saya tidak jauh dari area resort ini, masih di sekitar perkebunan teh.”
Bulan mengangkat alis pelan, sedikit terkejut. “Jadi kebun ini juga bagian dari keluarga Anda?”
Bhumi mengangguk kecil. “Sudah dikelola turun-temurun. Papa yang sekarang mengurus langsung, tapi saya sesekali membantu saat sempat pulang.”
Liora bersandar, matanya membesar sedikit. “Wah, pantesan Bapak keliatan cocok banget sama suasana sini… kayak satu kesatuan gitu.”
Bhumi tersenyum samar, menatap arah kebun. “Mungkin karena saya tumbuh dari sini.”
“Pantes aja,” gumam Liora setengah berbisik tapi cukup terdengar. “Auranya tuh kayak... pemilik tempatnya datang, angin pun sopan.”
Bulan menatap sahabatnya geli. “Liora.”
“Apa? Gue cuma bilang fakta.” jawab Liora cepat.
Bhumi menatap Liora sejenak lalu mengalihkan pandangannya kembali ke Bulan, senyum kecil di ujung bibirnya belum benar-benar hilang.
Mereka bertiga berbincang sebentar lagi — ringan, tapi menyenangkan. Tentang kebun teh, tentang ide hospitality yang Bulan lemparkan, dan sedikit tentang bagaimana Bhumi melihat dunia kerja sebagai sesuatu yang “bernapas, bukan berlari.”
Setiap kali Bulan bicara, Bhumi mendengarkan dengan perhatian penuh, sementara setiap kali Bhumi menjawab, Bulan memandangnya dengan rasa ingin tahu yang tenang.
Dan di sisi meja, Liora hanya duduk dengan dagu di tangan, senyum kecil tak pernah hilang dari wajahnya. Ia tidak bicara banyak — hanya sesekali ikut menimpali percakapan — karena sejujurnya, ia terlalu sibuk memperhatikan dua orang di depannya.
Bagaimana mereka saling memandang tanpa sadar, bagaimana tawa kecil mereka menyatu dengan suara daun teh yang berdesir, dan bagaimana sesuatu yang lembut sekali mulai tumbuh di antara mereka, pelan… tapi pasti.
Kemudian sambil tersenyum, Liora mulai meminum tehnya dengan pelan tapi hikmat. Menyimpan memori setiap adegan yang ditimbulkan oleh dua orang yang ada didepannya itu.
*
Ketika teh mereka akhirnya habis, Bhumi menatap Bulan sebentar, lalu berkata dengan nada datar yang entah kenapa terdengar seperti janji.
“Terima kasih sudah meluangkan waktu. Mungkin lain kali, kita bisa lanjut berbicara… tanpa pekerjaan di antara kita.”
Bulan menatapnya, kaget kecil tapi tidak bisa menahan senyum.
“Kalau Tuhan mengizinkan dan kerjaan gak banyak,” jawabnya pelan.
Liora di sampingnya langsung menutupi mulut dengan tangan.
‘Tuhan, ini kayaknya kamu gak cuma ngizinin — kamu nge-ship mereka keras banget,’ batinnya, menahan tawa sekaligus haru.
**
tbc