Amelia ,seorang janda yang diceraikan dan diusir oleh suaminya tanpa di beri uang sepeserpun kecuali hanya baju yang menempel di badan ,saat di usir dari rumah keadaan hujan ,sehingga anaknya yang masih berusia 3 tahun demam tinggi ,Reva merasa bingung karena dia tidak punya saudara atau teman yang bisa diminta tolong karena dia sebatang kara dikota itu ,hingga datang seorang pria yang bernama Devan Dirgantara datang akan memberikan pengobatan untuk anaknya ,dan kebetulan dia dari apotik membawa parasetamol ,dan obat itu akan di berikan pada Reva ,dengan syarat ,dia harus mau menikah dengannya hari itu juga ,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasehat untuk Viona .
Sejak kejadian di pantry, suasana kantor berubah drastis. Bukan hanya karena Viona dipindahkan ke Surabaya tanpa ampun, tapi karena kebenaran yang terungkap mengguncang fondasi gosip yang selama ini dibangun atas Amelia. Kini, setiap langkahnya tak lagi disertai bisikan-bisikan merendahkan, melainkan tatapan ,dan sapaan hormat,dan bahkan rasa malu dari mereka yang pernah ikut menyebarkan fitnah.
Amelia tak langsung merasa nyaman. Trauma dari penghinaan Viona masih membekas seperti luka terbuka. Tapi Devan, dengan keteguhannya yang tenang, menjadi perisai hidup yang tak pernah goyah. Ia tak hanya melindungi Amelia dari luar, tapi juga membangun kembali kepercayaan dirinya dari dalam.
Pagi itu, Amelia datang lebih awal seperti biasa. Namun kali ini, Devan sudah menunggunya di depan pintu kantornya, membawa dua cangkir kopi hangat dan senyum yang membuat jantungnya berdebar,seperti pertama kali mereka bertemu , dan sebelum mereka menikah diam-diam demi menjaga profesionalisme Amelia di tempat kerja.
“Kamu nggak perlu datang sepagi ini,sayang” kata Devan sambil menyerahkan kopi favorit Amelia,latte dengan sedikit gula.
“Tapi aku ingin menyelesaikan laporan merger sebelum rapat siang,” jawab Amelia, matanya bersinar dengan tekad yang tak pernah padam.
Devan mengangguk, lalu membukakan pintu ruang kerjanya. “Aku percaya kamu bisa. Tapi ingat, kamu bukan mesin. Istirahat kalau perlu,kamu jangan terlalu memaksakan diri .”
Amelia tersenyum. “Kamu selalu tahu kapan aku memaksakan diri.”
“Karena aku mengenalmu lebih dari siapa pun,sayang,” jawabnya lembut, lalu mencium keningnya sebelum berjalan ke ruangannya sendiri.
Di ruang kerja, Amelia duduk dan membuka laptop. Tapi sebelum mulai, ia menatap cermin kecil di samping meja,bekas kismis di lehernya sudah memudar, tapi ia tak lagi berusaha menutupinya. Justru, ia merasa bangga. Itu bukan tanda nista, tapi bukti cinta yang nyata.
***
Sementara itu, di lantai bawah, suasana berbeda. Viona duduk sendirian di ruang kecil yang disediakan untuk karyawan yang sedang menyelesaikan administrasi pemindahan. Tangannya gemetar saat memasukkan berkas ke dalam kardus. Ia tak menyangka semuanya berakhir begini. Ia yang selalu merasa paling layak, paling berpendidikan, paling pantas dipercaya,kini dihina oleh orang yang selama ini ia anggap “hanya janda lulusan SMA”.
Tapi di tengah rasa malu dan marah, ada suara kecil di hatinya yang mulai berbisik: (Apa yang kulakukan benar? )
Ia mengingat wajah Amelia,tenang, tak membela diri dengan emosi, hanya dengan kebenaran. Dan Devan yang selama ini ia kagumi diam-diam sebagai sosok pemimpin ideal, ternyata telah memilih perempuan yang justru ia remehkan.
“Mungkin , aku memang salah,” gumamnya pelan.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Amelia berdiri di sana, membawa secangkir teh hangat.
Viona terkejut. “Kamu…?”
“Kamu belum sarapan, kan?” tanya Amelia, lalu meletakkan teh di meja kecil di samping kardus Viona.
“Apa maumu?” tanya Viona, waspada.
“Bukan mau apa-apa. Aku hanya ingin kamu tahu ! aku tak pernah membencimu. Bahkan saat kamu menyakitiku, aku tahu itu datang dari rasa tak amanmu sendiri.”
Viona menunduk. Air matanya hampir jatuh, tapi ia menahannya.
“Mas Devan memang bisa memecatmu. Tapi aku minta dia memberimu kesempatan. Surabaya bukan akhir. Itu awal baru. Di sana, kamu bisa membuktikan siapa dirimu,bukan lewat gosip, tapi lewat kerja.”
Viona terdiam lama. Lalu, pelan-pelan, ia mengangguk. “Terima kasih.”
Amelia tersenyum. “Jangan terima kasih. Cukup jangan ulangi kesalahan yang sama. Karena perempuan seharusnya saling mengangkat, bukan menjatuhkan.”
Sebelum pergi, Amelia berhenti di ambang pintu. “Oh ya,suamiku memang CEO. Tapi aku tetap kerja lembur, tetap begadang demi laporan, tetap menangis diam-diam saat stres. Aku bukan istri yang cuma duduk manis. Aku istri yang berjuang,di rumah dan di kantor.”
Lalu ia pergi, meninggalkan Viona yang akhirnya menangis,bukan karena malu, tapi karena sadar betapa piciknya selama ini.
***
Di hari yang sama, rapat merger berlangsung. Amelia mempresentasikan laporannya dengan percaya diri, suaranya tegas, datanya akurat, argumennya logis. Semua mata tertuju padanya,bukan karena ia istri bos, tapi karena ia memang layak.
Setelah rapat, rekan-rekannya satu per satu mendatanginya.
“Maaf, Amelia, kami selama ini salah menilaimu,” kata Rani, salah satu staf senior yang dulu sering ikut menggosip.
Amelia mengangguk. “Aku mengerti. Tapi mulai sekarang, mari fokus pada kerja, bukan pada kehidupan pribadi orang lain.”
“Iya ,Tapi Kamu luar biasa,” tambah Rani, tulus.
Di ruangannya, Devan menyaksikan semuanya dari balik kaca transparan. Hatinya membengkak dengan bangga. Ia tak pernah meragukan Amelia, tapi melihat istrinya berdiri tegak di tengah badai,itu membuat cintanya semakin dalam.
Malam itu, mereka pulang bersama. Mobil melaju pelan di jalanan Jakarta yang mulai sepi. Amelia bersandar di bahu Devan, lelah tapi damai.
“Kamu tahu,” katanya pelan, “dulu aku takut orang kantor tahu aku menikahimu, karena aku takut orang bilang aku naik pangkat karena suami. Tapi sekarang… aku sadar, cinta yang sejati tak perlu disembunyikan. Justru, ia harus diperlihatkan,sebagai kekuatan, bukan kelemahan.”
Devan menggenggam tangannya. “Dan aku tak pernah malu mengakui kamu. Karena kamu bukan hanya istriku,kamu adalah mitra hidupku. Di kantor, di rumah, di mana pun.”
Amelia tersenyum, lalu menoleh ke jendela. Di luar, lampu kota berkedip seperti bintang-bintang kecil yang menemani mereka pulang.
Esok harinya, Amelia datang ke kantor dengan blazer yang sama,tapi kali ini, kerahnya sedikit dibuka. Bekas kismis di lehernya tak lagi disembunyikan. Ia berjalan tegak, kepala tegak, senyum tenang.
Rekan-rekannya menyapanya dengan hormat. Bahkan, beberapa mulai memanggilnya “Bu Amelia”,bukan karena jabatan, tapi karena rasa hormat yang tulus.
Di pantry, ia bertemu Rani yang sedang membuat kopi.
“Mau kopi juga?” tanya Rani.
“Tentu,” jawab Amelia.
Mereka duduk berdua, ngobrol ringan tentang proyek baru. Tak ada jarak. Tak ada prasangka.
Dan di ujung koridor, Devan tersenyum melihat istrinya akhirnya diterima,bukan karena siapa suaminya, tapi karena siapa dirinya.
***
Beberapa minggu kemudian, surat kabar bisnis terkemuka menurunkan laporan khusus: #Amelia Wijaya: Dari Janda Muda Menjadi Arsitek Kesuksesan Merger Terbesar Tahun Ini.# Artikel itu menyoroti perjalanan Amelia,lulusan SMA yang tak menyerah, yang kuliah sambil kerja, yang membesarkan anaknya sendirian, lalu bertemu cinta sejati yang tak memandang latar belakang, tapi melihat nilai di dalam dirinya.
Di akhir artikel, tertulis kutipan Amelia:
#Aku bukan simpanan. Aku bukan mainan. Aku perempuan yang bekerja keras, mencintai dengan tulus, dan tak pernah meminta belas kasihan,hanya kesempatan.#
Devan membaca artikel itu di meja sarapan, lalu menatap Amelia yang sedang menyuapi anak mereka.
“Kamu jadi legenda, sayang,” katanya.
Amelia tertawa kecil. “Aku cuma jadi diriku sendiri.”
Dan di balik setiap luka yang terlihat,
ada suami yang siap menjadi perisai.
Di balik setiap bisikan jahat,
ada cinta yang tak pernah goyah.
Dan di balik perempuan yang berdiri tegak hari ini,
ada ribuan malam ia menangis diam-diam
tapi tetap bangkit saat fajar tiba.
sudah bucin
nunggu Devan junior...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
malam pertama nya
apakah Devan akan ketagihan dan bucin akut... hanya author yg tau...