Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda dari Langit
Pagi di rumah besar Pak Samingan terasa lebih sunyi dari biasanya.
Burung-burung di pohon mangga depan rumah masih ribut, tapi suasana di dalam rumah justru dingin kayak air kolam waktu subuh.
Bu Wiji sibuk di dapur, masak sayur lodeh, sementara Pak Samingan duduk di teras sambil baca koran lama yang dari tadi belum dibalik-balik halamannya.
Arifbol keluar dari kamar, pakai sarung dan kaos putih, rambutnya agak acak-acakan. Tapi wajahnya kelihatan tenang, beda dari kemarin malam.
Ia baru selesai sholat Dhuha.
Di tangannya ada mushaf kecil — mushaf yang selalu dia baca habis shubuh dan maghrib, hadiah dari almarhum kakeknya dulu.
“Pak…” katanya pelan.
“Heh, wes tangi to, Le. Rene, duduk bareng Bapak,” jawab Pak Samingan.
Arifbol duduk di sampingnya, menatap halaman kosong.
“Aku semalem ora biso turu, Pak. Kepikiran omongan njenengan.”
“Iyo, Bapak ngerti. Wong sing duwe ati pasti mikir.”
Pak Samingan menurunkan koran, menatap anaknya dengan senyum tipis.
“Kowe kepikiran soal Rara lan Fitri, to?”
Arifbol mengangguk. “Iyo, Pak. Aku bingung. Aku ora pengin nyakiti salah siji, tapi aku uga ora pengin mung mikir salah siji.”
Pak Samingan menghela napas panjang.
“Le, wong lanang kuwi kudu wani njupuk keputusan. Tapi keputusan sing bener kuwi dudu sing nguntungke awakmu, tapi sing nyenengke Gusti.”
Arifbol diam, lalu berkata pelan,
“Makane aku pengin njaluk petunjuk, Pak. Aku pengin ngerti, iki ujian utowo pertanda.”
Setelah sarapan, Arifbol keluar naik motor tua kesayangannya — Supra X 2007 yang udah diservis berkali-kali tapi tetap jadi andalan.
Ia menuju masjid kecil di pinggir sawah, tempat biasa dia ngaji bareng anak-anak kampung.
Udara Nganjuk pagi itu sejuk, sawah hijau berkilau kena sinar matahari.
Sesampainya di masjid, anak-anak kecil langsung nyapa.
“Mas Bol! Mas Bol teko!”
“Hehehe, iya, iya, sabar. Ayo ngaji sek!”
Selesai ngajarin surat Al-Mulk, Arifbol duduk sendirian di pojok serambi.
Dia buka mushafnya lagi, lalu membaca ayat pelan-pelan.
Tiba-tiba pandangannya jatuh ke satu ayat yang bikin dia diam lama:
“…Dan jika kamu berlaku adil di antara mereka, maka itu lebih baik bagimu.”
Tangannya berhenti di halaman itu.
Wajahnya menegang, lalu perlahan tersenyum getir.
“Adil, ya… Gusti ora nyuruh gampang, tapi Gusti nyuruh adil.”
Sore harinya, Arifbol pulang dengan hati lebih ringan.
Bu Wiji lagi nyapu halaman waktu dia datang.
“Lho, kok cerah banget wajahmu, Le?”
“Hehehe, ora opo-opo, Bu. Cuma… kayaknya Gusti mulai nuduhno arah.”
“Alhamdulillah. Tapi ojo kesusu, Le. Hati manusia kuwi rapuh. Jangan sampai keputusanmu malah melukai.”
“Iyo, Bu. Aku ngerti.”
Sambil bantu nyapu, Arifbol cerita sedikit.
“Aku mikir, Bu… nek cinta kuwi tulus, mestine iso nglindungi, dudu ngrebut. Tapi aku ora yakin aku iso adil nek dua-duane tetep di sisiku.”
Bu Wiji berhenti nyapu, menatap anaknya serius tapi lembut.
“Le, kadang adil kuwi dudu soal jumlah, tapi soal rasa. Nek hatimu jujur lan niatmu apik, Gusti bakal nuntun dalane.”
Arifbol mengangguk pelan. “Iyo, Bu. Aku bakal mikir tenanan. Aku ora pengin Rara utawa Fitri ngrasakke salah milih.”
Sementara itu di kontrakan, Rara lagi duduk bengong di kursi plastik depan rumah.
Andika, adiknya, datang bawa pisang goreng.
“Mbak, kok bengong wae? Pisang goreng lho, anget!”
“Hehe, iya, Dik. Makasih.”
Andika duduk di sebelahnya, nyengir.
“Mas Arifbol maneh, to?”
Rara pura-pura kaget. “Lho, kok ngerti?”
“Lha wong Mbak Rara nek mikir Mas Bol, wajahmu langsung koyok radio rusak — antara senyum karo sedih,” godanya.
Rara ngakak kecil. “Iso ae, kowe, Dik.”
Tapi dalam hatinya, Rara tahu adiknya bener. Ia terus kepikiran keputusan keluarga Arifbol.
Antara siap dan tidak, antara ingin dan takut.
“Dik…”
“Hah?”
“Menurut kamu, nek Mbak Rara kudu milih antara cinta karo keikhlasan, pilih sing endi?”
Andika mikir, lalu jawab enteng,
“Pilih sing ndadekno tenang, Mbak. Soale nek tenang, berarti Gusti setuju.”
Rara terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi langsung nyantol di hati.
Ia memandangi langit sore, lalu tersenyum kecil.
“Makasih, Dik. Mbak ngerti sekarang.”
Malamnya, Bu Wiji nyamperin kamar Arifbol yang sedang baca.
“Le, ibu mikir, besok coba undang Rara lan Fitri kesini maneh. Biar kalian bertiga ngomong langsung, ojo kakean mikir dewe-dewe.”
“Iyo, Bu. Aku siap. Aku pengin ngomong jujur karo mereka.”
Bu Wiji tersenyum puas.
“Nah, ngono to. Wong lanang sing tanggung jawab kuwi sing iso ngomong tenanan. Ojo ngambang terus, engko malah tambah ribet.”
Arifbol tertawa kecil. “Hehehe, iyo, Bu. Mugo-mugo Gusti nguwehi aku kekuatan.”
Malam semakin larut. Arifbol keluar ke halaman, duduk di kursi bambu depan rumah.
Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah.
Ia menatap bintang di langit dan bergumam pelan:
“Rara, Fitri… salah siji mungkin bakal terluka. Tapi aku pengin pilih dengan jujur, bukan karena takut, tapi karena cinta yang bener.”
Ia menutup mata, mengusap wajah, lalu tersenyum lirih.
“Mugo-mugo sesok aku iso ngomong tanpa nyakitin siapapun.”
Pagi itu, rumah Pak Samingan kembali ramai.
Bu Wiji sudah dari subuh sibuk di dapur — bikin teh manis, goreng tempe, dan bikin nasi pecel khas Nganjuk yang sambelnya pedesnya pas.
Sementara Pak Samingan duduk di kursi rotan depan ruang tamu, sibuk nyiapin kata sambutan seolah mau rapat perusahaan.
“Ji, iki lho aku wes mikir, nek ngomong karo bocah-bocah iku kudu tenang, ojo kaget-kaget. Soale nek langsung to the point, iso-iso nangis kabeh,” katanya serius.
“Heh, Sam, iki urusan cinta, dudu tender proyek. Sing penting ojo ngrusuhi,” sahut Bu Wiji, sambil ngelap tangan dari minyak goreng.
Tak lama, suara motor terdengar dari luar pagar.
“Brummm…”
Rara turun dari motor, bawa map kecil dan senyum yang setengah gugup.
Fitri datang lima menit kemudian, pakai baju hijau muda dan jilbab putih. Dua-duanya saling sapa dengan canggung tapi tetap sopan.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam. Lho, ayu-ayu kabeh saiki!” ujar Bu Wiji sambil terkekeh.
Mereka berdua masuk ke ruang tamu, duduk berdampingan.
Rara melirik Fitri, Fitri melirik Rara, lalu dua-duanya senyum tipis yang lebih mirip “ya ampun, kita satu situasi lagi nih.”
Beberapa menit kemudian, Arifbol keluar dari kamarnya.
Dia pakai kemeja putih bersih, rambut disisir rapi, tapi wajahnya tetap ada gurat gugupnya.
Tangannya megang mushaf kecil — yang semalam dia baca di serambi masjid.
“Assalamualaikum,” katanya pelan.
“Waalaikumsalam,” jawab semua serempak.
Pak Samingan batuk kecil, tanda pembuka acara.
“Jadi gini, Le, bocah loro iki wis tak undang maneh, koyok saran ibumu. Saiki waktumu ngomong jujur. Ojo takut, ojo mikir aneh-aneh.”
Arifbol menatap bapaknya, lalu mengangguk pelan.
“Iyo, Pak.”
Ia berbalik menatap Rara dan Fitri.
Wajahnya kelihatan sungguh-sungguh — bukan malu-malu, tapi beneran niat ngomong dari hati.
“Aku wis mikir sak semene dina iki. Aku ngaji, aku sholat, aku nyoba takon Gusti lewat doa. Jawabane jelas, tapi ora gampang.”
Rara menggigit bibir bawahnya, sementara Fitri memegang ujung jilbabnya erat-erat.
“Aku sadar, aku ora bisa adil nek aku nyekel loro-lorone. Aku iso ngomong manis, tapi aku ora yakin biso njogo perasaan loro sekaligus.”
Rara menunduk, dadanya terasa berat.
Fitri juga menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca.
“Makane… aku mutuske sesuatu.”
Semua diam. Bahkan kipas angin tua di pojok ruangan pun mendadak bunyinya terasa lebih kenceng.
“Aku pengin milih siji… tapi karo cara sing bener.”
Pak Samingan dan Bu Wiji saling pandang, menahan napas.
Rara menatapnya penuh harap.
Fitri mencoba tersenyum walau pipinya basah.
“Aku ora milih karo emosi. Aku milih karo doa. Aku pengin sing tak nikahi engko bener-bener mergo Gusti, bukan karena kasihan, atau karena takut kehilangan.”
Bu Wiji pelan-pelan bertanya, “Terus… sopo, Le?”
Arifbol menatap dua gadis itu, lalu berkata lirih tapi jelas:
“Aku pengin ngomong langsung ke masing-masing, ora neng kene. Aku pengin bicara empat mata karo Rara, terus karo Fitri. Biar semuanya jujur tanpa tekanan.”
Rara langsung bengong. “Lho, opo ora ribet, Mas?”
“Hehehe, ora, Ra. Aku ora pengin ngomong di depan banyak orang. Aku pengin ngomong dari hati, bukan koyok wawancara,” katanya sambil senyum kecil.
Fitri akhirnya ikut tertawa kecil, walau masih menetes air mata.
“Mas Bol iki aneh tapi jujur, yo.”
Pak Samingan tertawa pelan. “Ya maklum, Le iki anakku. Nek ora aneh, dudu keturunan Samingan!”
Semua tertawa, suasana mencair sebentar.
Tapi tetap terasa deg-degannya.
Sore itu, Rara dipanggil duluan ke taman belakang rumah Pak Samingan.
Suasananya tenang, banyak bunga melati yang baru mekar.
Arifbol duduk di bangku kayu, menatap kolam kecil di depannya.
“Duduk, Ra.”
Rara duduk perlahan, jantungnya deg-degan.
“Aku ngerti iki situasi sing aneh. Tapi aku pengin kowe ngerti dhisek… aku sayang karo kowe.”
Rara langsung menatapnya, kaget.
“Mas…”
“Tapi…” lanjut Arifbol pelan, “Aku uga ngerti, Fitri iku gadis tulus. Aku ora biso pura-pura ora ngerti perasaane. Tapi hati iki, Ra… nek tak tekok i terus-terusan, jawabane tetep bali neng jenengmu.”
Air mata Rara langsung netes.
“Mas…”
“Ra, aku ora sempurna. Aku sakit, kadang kumat, kadang aneh. Tapi nek Gusti ngijinkan, aku pengin kowe tetep di sisiku, ora mergo ngesakne, tapi mergo cinta sing tenanan.”
Rara nutup wajahnya, nangis pelan.
“Aku ra butuh sempurna, Mas. Aku butuh jujur. Aku ora minta banyak, aku cuma pengin bisa nemenin njenengan.”
Arifbol tersenyum lembut, lalu menatap langit.
“Aku wis tenang saiki. Iki jawaban sing tak tunggu seminggu iki.”
Setelah itu, Arifbol berdiri, menatapnya sekali lagi.
“Ra, aku bakal ngomong karo Fitri barang. Tapi nek Gusti bener-bener ngasih petunjuk, aku bakal ngomong karo Bapak-ibu bengi iki.”
Rara mengangguk pelan.
“Aku manut, Mas. Sing penting, jujur lan ora nyakitin siapapun.”
Sore menjelang malam. Fitri datang ganti giliran, juga diajak bicara empat mata.
Malam itu, Rara pulang ke kontrakannya dengan hati yang campur aduk, tapi entah kenapa tenang.
Di atas motor, dia tersenyum sendiri.
“Ya Allah… nek iki memang jalanku, aku siap.”
Di rumah, Andika yang lagi makan mie instan melirik heran.
“Lho, Mbak, kok senyum-senyum?”
“Hehe, enggak, Dik. Cuma lega aja.”
“Wah, mesti Mas Arifbol wes milih Mbak, iki.”
Rara langsung nyengir. “Sssst! Rahasia!”
Andika ngakak. “Yakin! Aku doain beneran!”
Dan malam itu, di langit Nganjuk yang cerah, Rara merasa — apapun hasilnya nanti, dia udah siap nerima dengan ikhlas.