NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Bad Boy / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:31.9k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

31. Jujur Pada Sahabat

“Ray, gue turun di deket halte depan aja,” ucap Alendra pelan dari balik helmnya. Suaranya tertelan angin pagi, tapi cukup jelas untuk membuat Rayven melirik lewat kaca spion kecil di motornya.

“Kenapa di situ? Kan sekolah masih agak jauh?” tanyanya, masih fokus pada jalanan yang mulai ramai oleh kendaraan siswa dan pekerja.

Alendra menarik napas pelan. “Gue gak mau anak-anak sekolah tau kita berangkat bareng. Lo kan… famous banget, Ray. Gue bisa jadi sasaran fans lo.”

Rayven nyaris tertawa kecil, tapi bibirnya hanya menegang, menahan reaksi. “Gue gak peduli soal itu, Len. Mereka cuma suka gara-gara gue sering main di pertandingan. Gak penting.”

“Tetep aja,” balas Alendra cepat, “buat mereka itu penting. Gue gak mau jadi bahan gosip.”

Rayven terdiam sesaat. Ia tahu Alendra punya alasan yang lebih dalam dari sekadar takut gosip. Ada rasa canggung, mungkin juga luka yang belum sembuh dari kejadian semalam. Angin pagi yang tadinya terasa menenangkan kini berubah jadi dingin menusuk.

“Tapi nanti lo capek, Len. Gimana kalau lo kecapean? Gue gak mau lo kenapa-kenapa, apalagi…” ia sempat menelan ludah, menurunkan sedikit nada suaranya, “…apalagi lo lagi hamil.”

Kata itu keluar begitu saja, dan sesaat setelahnya, Rayven menyesal. Ia bisa merasakan tubuh Alendra di belakangnya menegang. Tangannya yang semula memegang jaket Rayven pelan-pelan dilepaskan.

“Ray…” suaranya pelan, nyaris tertelan suara angin. “Jangan bahas itu di luar.”

Rayven menggigit bibirnya, merasa bersalah. “Maaf, gue cuma—”

“Udah,” potong Alendra cepat. “Tolong turunin gue di halte depan.”

Rayven tak menjawab lagi. Ia hanya mengangguk kecil, lalu menepi di dekat halte yang ia maksud. Jalanan masih sepi di sekitar situ, hanya beberapa anak sekolah yang berjalan sambil tertawa kecil. Begitu motor berhenti, Alendra segera turun tanpa bicara banyak.

Ia melepas helm dan menyerahkannya kembali. “Makasih udah nganter. Lo hati-hati di jalan.”

Rayven menerima helm itu tanpa berkata-kata. Matanya mengikuti setiap gerak Alendra—dari caranya menepuk-nepuk rok seragamnya agar rapi, hingga langkahnya yang perlahan menjauh.

“Len,” panggil Rayven akhirnya, sedikit mencondongkan tubuh dari atas motor.

Alendra menoleh sebentar. “Kenapa?”

“Apa… gue masih boleh anterin Lo pulang ke rumah sekalian gue mau ajak Lo ke dokter kandungan nanti?” tanya Rayven hati-hati.

Pertanyaan itu membuat Alendra terdiam. "Gue nanti harus kerja, Rayven."

"Lo libur dulu boleh? Biar kita cek kandungan Lo dulu?" Tanya Rayven lagi.

Alendra menatap Rayven cukup lama. Tatapan itu bukan sekadar ragu, tapi juga penuh tekanan. Seolah kalimat yang baru saja diucapkan Rayven membuat dinding pertahanannya retak perlahan.

“Ray… jangan gitu,” ucapnya akhirnya, suaranya terdengar serak. “Gue gak bisa libur seenaknya. Lagian... Gue gak kenapa-kenapa kok."

"Tapi tetep aja Lo harus periksa, Len. Untuk masalah kafe sama keluarga Lo nanti gue yang izin. Ibu Lo bilang selama ini lo belum periksa kandungan kan. Kita harus tetap periksa, gue mau tau keadaan anak kita dalam perut Lo itu."

Alendra terdiam. Kalimat terakhir Rayven menggema begitu jelas di kepalanya—“anak kita.” Dua kata sederhana yang mampu mengguncang seluruh benteng yang ia bangun selama ini.

Ia menatap Rayven dengan sorot mata tak terbaca. Di satu sisi, ia tahu Rayven tulus. Tapi di sisi lain, hatinya masih dipenuhi ketakutan: tentang reaksi masa depan mereka, dan pandangan dunia di sekeliling mereka.

“Ray, jangan ngomong kayak gitu di sini,” ujarnya akhirnya, menatap sekeliling dengan cemas. Beberapa orang sudah mulai melintas di dekat halte tempat mereka berhenti tadi. “Kalau ada yang dengar, bisa berabe.”

Rayven menatapnya serius, tanpa sedikit pun melunak. “Gue gak peduli, Len. Gue gak bakal biarin lo jalan sendiri di situasi kayak gini.”

Alendra menghela napas dalam, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Oke, nanti gue ke dokter kandungan. Kalau gitu gue masuk ke dalam sekolah dulu. Lo hati-hati dan thank u buat tebengannya ke sekolah."

Rayven masih diam di atas motor, matanya mengikuti setiap langkah Alendra yang mulai menjauh. Helaan napasnya berat, dan jemarinya yang masih menggenggam helm terasa dingin. Ia ingin memanggil nama gadis itu lagi, tapi suara itu tertelan di tenggorokan—ada sesuatu yang menahan, semacam rasa takut kehilangan yang perlahan mencekik.

Sementara itu, Alendra berjalan cepat menuju gerbang sekolah. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah menahan kakinya untuk tidak maju. Ia bisa merasakan tatapan beberapa siswa yang lewat, mungkin hanya sekadar penasaran, tapi tetap saja membuat jantungnya berdebar tak karuan. Seolah semua orang tahu apa yang sedang ia sembunyikan.

Begitu melewati gerbang, ia menarik napas panjang dan berusaha tersenyum seperti biasa. Teman-temannya menyapa, dan ia membalas seadanya. Tapi dalam pikirannya, kalimat Rayven terus menggema—"anak kita." Dua kata itu bukan cuma sebuah pengakuan, tapi juga janji. Janji yang entah bisa ia genggam atau justru akan menghancurkannya nanti.

---

Rayven masuk ke dalam markas dengan langkah berat dan wajah lelah. Suara pintu kayu yang berderit disambut dengan aroma khas ruangan itu—bau rokok bercampur kopi instan dan sedikit debu dari sofa yang sudah lama tak dibersihkan. Ia langsung menjatuhkan diri di kursi panjang di samping Darren, sang ketua geng yang sedang bermain jenga bersama Aksa, Julian, Kenzo, Alvaro, dan Axel.

“Ini dia, bintang utamanya baru nongol!” seru Kenzo dengan nada berlebihan, seolah sedang jadi pembawa acara talk show. Ia berdiri sambil menepuk tangan pelan, membuat yang lain menoleh.

Rayven hanya mendesah pelan. “Tolong banget, Kenzo, gue gak ada tenaga buat di becandain lo hari ini.”

Axel menutup pintu kulkas kecil di pojok ruangan, lalu melempar kaleng minuman dingin ke arah Rayven. “Tangkap tuh, buat nyegerin kepala lo. Lo dari mana aja? Dari kemarin gak nongol, gak kasih kabar. Lo tahu kan, Darren hampir nyuruh Aksa buat nyari lo?”

Aksa yang sedari tadi diam hanya mengangkat alis dan menatap Rayven dengan ekspresi datar namun tajam. “Kalau lo ngilang lagi, gue gak bakal nyari. Gue bakal anggap lo udah mati di got,” ucapnya tenang tapi tegas.

“Thanks atas perhatiannya,” sahut Rayven setengah lesu, membuka kaleng minuman dan meneguknya cepat. “Gue cuma… ada urusan keluarga aja.”

Julian, yang sedang rebahan di karpet sambil memainkan ponsel, mendongak dengan senyum miring. “Urusan keluarga? Atau urusan cewek?”

“Jul, lo bisa gak sehari aja gak mikir soal cewek?” timpal Alvaro, dengan nada datar tapi jelas. Ia sedang merapikan potongan jenga yang hampir jatuh, seolah lebih peduli pada keseimbangan balok kayu daripada percakapan mereka.

Julian hanya tertawa. “Gue realistik aja, Al. Nih orang udah dua hari ngilang, balik-balik mukanya kayak habis mikirin utang nikah.”

Rayven menatap Julian tajam, tapi diam. Ia tak ingin meladeni candaan itu, karena untuk pertama kalinya, kalimat Julian terasa terlalu dekat dengan kenyataan.

Darren yang sedari tadi tenang akhirnya bersuara. “Ray.” Suaranya dalam dan tenang, tapi penuh makna. “Lo tahu kita gak masalah kalau lo sibuk, tapi jangan kayak gini. Anak-anak mulai khawatir.”

Rayven menatap Darren lama. Ada rasa hormat di sana—Darren bukan cuma ketua mereka, tapi juga seseorang yang selalu jadi tempat pulang ketika semuanya berantakan.

“Ada masalah, Ray?” lanjut Darren. “Lo kelihatan gak baik.”

Rayven meletakkan kalengnya di meja, menunduk lama sebelum akhirnya berucap pelan, “Gue… bikin masalah besar, Ren.”

Ruangan mendadak hening. Bahkan Kenzo yang biasanya paling cerewet kini ikut menatap serius.

“Masalah sebesar apa, bro?” tanya Axel, kini duduk di sandaran sofa, nada suaranya berubah.

Rayven menarik napas panjang, tangannya meremas ujung celana jeansnya. “Gue merusak anak gadis… dia hamil.”

Kata itu jatuh begitu saja—dan seperti ledakan kecil, semuanya terdiam. Tak ada yang langsung merespons. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan terdengar di ruangan itu.

Julian yang paling cepat bereaksi. “Lo becanda, kan?” tanyanya sambil tertawa kecil, tapi tawanya segera mereda ketika melihat wajah Rayven yang sama sekali tidak menampilkan ekspresi bercanda.

“Gue gak bercanda, Jul,” sahut Rayven lirih.

“Anj—,” Kenzo nyaris memaki tapi segera menutup mulutnya sendiri. “Lo… serius? Lo yakin itu anak lo?”

Aksa menatap Rayven tajam. “Gue gak percaya lo seceroboh itu, Ray. Lo tahu kan ini bukan hal yang bisa lo mainin?”

Rayven menatap balik Aksa, suaranya bergetar tapi tegas. “Gue tahu. Dan iya, gue yakin itu anak gue. Gue gak kabur, Aks. Gue bakal tanggung jawab.”

Aksa menghela napas panjang, berdiri, dan berjalan pelan ke arah jendela. “Lo sadar gak, ini bisa ngubah hidup lo total?” katanya dengan nada berat.

“Gue tahu,” balas Rayven cepat. “Gue gak nyesel. Gue cuma takut… kalau dia harus nanggung semuanya sendirian. Bokapnya dia udah tahu, dan malam tadi dia manggil gue ke rumah. Gue kira gue bakal dibunuh.”

Darren menatap Rayven lama. “Tapi lo gak lari?”

Rayven menggeleng. “Enggak. Gue bilang ke dia gue mau tanggung jawab. Gue gak tahu gimana caranya, tapi gue gak mau ninggalin dia.”

Kenzo bersiul pelan. “Anj— lo gila, tapi… berani juga lo.”

“Gue gak punya pilihan, Ken,” jawab Rayven pelan. “Gue merasa dia beda dari yang lain.”

Kata-kata itu membuat ruangan kembali hening. Tak ada yang bisa membantah. Mereka tahu Rayven bukan tipe yang asal bicara kalau soal perasaan.

Darren akhirnya menepuk bahunya pelan. “Kalau itu keputusan lo, kita dukung. Tapi lo harus tahu, mulai sekarang semuanya bakal lebih berat.”

Axel mengangguk setuju. “Yap. Lo udah bukan cuma mikirin lo sendiri, bro. Lo bakal mikirin dua orang lagi sekarang.”

“Bahkan tiga,” celetuk Kenzo sambil tersenyum miring, “soalnya Darren pasti bakal ngurusin lo juga.”

Semua tertawa kecil, dan untuk sesaat suasana mencair. Tapi di balik tawa itu, mereka semua tahu—masalah ini bukan hal ringan.

“Rencana lo apa sekarang?” tanya Alvaro yang sejak tadi diam. Suaranya lembut, tapi mengandung nada serius.

Rayven menatap meja di depannya. “Gue mau temenin dia ke dokter minggu ini. Bokapnya udah tahu dan kayaknya… mereka masih pikirin soal pernikahan.”

Julian membelalak. “Pernikahan? Gila, lo masih SMA, bro!”

Rayven hanya tersenyum hambar. “Gue tahu. Tapi kalau itu satu-satunya cara biar nama dia gak hancur, gue bakal lakuin.”

Darren bersandar di kursinya, memandangi Rayven lama. “Gue gak bakal larang lo, tapi gue cuma mau bilang satu hal, Ray—tanggung jawab itu bukan cuma tentang nikah atau ngaku. Lo harus siap ngorbanin hal-hal yang dulu lo pikir penting.”

Rayven menatap balik dengan mata yang lelah tapi yakin. “Gue udah siap.”

Darren mengangguk pelan. “Oke. Kalau gitu, kita bakal bantu lo semampu kita.”

Kenzo langsung menepuk meja. “Setuju! Kalo perlu, gue bantu jadi badut di nikahan lo.”

“Lo aja dulu cari cewek yang tahan sama lo,” sindir Axel.

“Wah, gue banyak yang tahan, bro. Mereka yang gak tahan sama dompet gue,” balas Kenzo cepat, membuat semuanya tertawa lagi.

Tawa itu ringan, tapi di baliknya ada kesadaran yang sama—mereka bukan lagi sekadar anak-anak nakal yang nongkrong di markas setiap sore. Hari ini, salah satu dari mereka sudah benar-benar melangkah ke dunia yang lebih nyata.

---

"Dianya itu siapa, Ray?"

1
ilham gaming
nasehat papa Damian bagus
Favmatcha_girl
Lhaa baru kenalan
Favmatcha_girl
gak galak kamu ven
Favmatcha_girl
sama orang lahh
Favmatcha_girl
ketuanya aja kaget
Favmatcha_girl
bukan sakit tapi mulai jatuh cinta🤭
Favmatcha_girl
lagi bahagia dia Nay😌
Favmatcha_girl
Jauh sekali perumpamaan nua
Favmatcha_girl
untung aja gak kenapa-kenapa
Favmatcha_girl
hahh betul, aku dukung kamu
Favmatcha_girl
kayaknya enggak deh Ven, pikiran kamu aja
Favmatcha_girl
cie udah mulai jatuh cinta 🤭
Favmatcha_girl
yahhh zonk
Favmatcha_girl
jemput aja udah, kasihan kalau pakai sepeda mulu
Favmatcha_girl
jangan banyak-banyak pikiran Len😌
Favmatcha_girl
aminn
Favmatcha_girl
tobat Lo Ray?🤔
Favmatcha_girl
biasanya cowok gitu Ven🤭
Favmatcha_girl
sweet amat😍
Favmatcha_girl
Asekk aku kamu🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!